Di tepi jalan-jalan, banyak ditanami pohon-pohon menjulang tinggi memanjakan mata, seperti pohon pinus yang berfungsi sebagai penyerapan air ketika musim hujan. Di pagi hari udara di daerah pegunungan itu sangat dingin sekali. Udara di sana masih bersih dan segar. Lelaki berhidung bangir itu berdiri di tepi jalan dan ia mengembuskan napas panjang. Satu lolos kata yang keluar dari mulut Rino adalah kata sejuk karena belum banyak bercampur dengan polusi.
Bahkan embun dan kabut masih menutupi hijaunya daun-daun. Suara burung burung yang berkicau terdengar sangat indah bak menyambut kedatangan Rino. Iya, lelaki itu sengaja pergi dari rumah pagi-pagi buta tanpa sepengetahuan sang kakek.
Pemandangan alam yang indah, sejauh mata memandang tampak terdapat gunung yang tinggi, besar, dan biru. senyum lelaki terbit melihat pemandangan pedesaan. Sungguh jauh berbeda dengan di kota. Lalu-lalang kendaraan dan gedung-gedung tinggi. Kini yang Rino lihat sepanjang perjalanan adalah para petani yang ingin pergi ke ladang dan ke sawah.
Hampir satu jam Rino berdiri bergeming. Dia pun kembali masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Lima belas menit berlalu masih baik-baik saja, Rino pun masih asyik mendengarkan musik. Lalu dering ponsel berbunyi, Rino lupa membawa earphone, maka tangan lelaki itu merogoh ponsel di dalam saku celana levisnya. Konsentrasinya pecah.
Tiba-tiba ada seorang perempuan yang memakai sepeda motor dari arah berlawanan membawa keranjang. Maka tabrakan pun tidak bisa dihindari mobil Rino menabrak motor perempuan berkepang dua itu.
Pekikan perempuan itu sontak membuat Rino terkesiap. Maka lelaki tersebut bergegas turun dari mobil. Dia terbelalak saat mendapati telur ayam kampung berantakan di jalan.
"Kamu tanggung jawab!!" sentak perempuan itu sambil berdiri.
"Oh, berapa?" tanya Rino dingin. Lekas dia mengeluarkan beberapa uang dan menyodorkan uang kertas itu kepada perempuan yang ada di hadapannya. Tanpa peduli keadaan gadis bermata cokelat.
Gadis itu mengerutkan dahinya dan hidungnya tampak kembang-kempis.
"Aku tak butuh uangmu. Kamu harus rasakan menjadi aku," tandas perempuan itu.
"Sombong sekali. Kamu nggak mau terima uang? Biasanya cewek hijau kalau lihat uang," sindir Rino.
"Tak semua wanita seperti itu!" hardik perempuan itu.
"Arunika!!"
Suara bariton memanggil nama perempuan berkepang dua yang sedang berdebat. Seorang pemuda tampan dan memakai kaus oblong memakai sepeda motor mendekati mereka.
Perempuan yang kerapkali dipanggil Arunika itu beringsut mundur sembari menatap Rino nyalang. Kemudian pemuda tersebut turun dari motor. Terkejut melihat telur-telur Arunika pecah dan berserakan di jalan. Lantas dia memunguti telur ayam yang masih bagus.
"Ada apa ini?" tanyanya. Nampak wajah pemuda itu khawatir.
"Ada orang sombong masuk ke kampung kita," jawab Arunika menatap nyalang kepada Rino yang berdiri tenang.
"Kamu tak apa-apa?" tanya Irwansyah.
Arunika menggeleng. Dia mengalami luka ringan di bagian kaki dan tangannya. Namun, gadis itu tersenyum tipis menandakan bahwa dia baik-baik saja.
"Terserah penilaian Anda apa? Saya hanya ingin memberikan uang ini sebagai mengakui kesalahan saya," jelas Rino tenang.
Irwansyah mengulas senyum dan menaruh keranjang telur di motornya. "Arunika, biar aku yang mengantar telur ayam ini ke pasar. Dan kamu kembali pulang. Atau mau aku obati lukamu."
"Tapi, Dut. Aku sudah janji mengantarkan ini. Lebih baik kamu pergi kerja saja," elak Arunika yang kerapkali memanggil Irwansyah dengan sebutan Dut. Panggilan tersebut karena pemuda itu memang hobi kentut, maka nama Dut sudah melekat di dirinya dari Arunika.
Persahabatan Arunika dan Irwansyah bak sudah bersahabat sewaktu masih embrio.
Rino berdeham. "Maaf, saya tak punya waktu untuk mendengarkan kalian berucap di sini."
Lelaki itu memberikan uang kepada Irwansyah. Namun, Arunika bergegas meraih uang tersebut ke arah Rino. Gadis itu cerocosnya panjang lebar.
"Aku tak butuh uang dari orang sombong darimu. Kamu harus menjadi penjual telur yang tadi aku maksud." Arunika tegas melontarkan kata-kata itu.
"Apa? Jangan bercanda Nona," balas Rino terkekeh kecil.
"Arunika, lebih baik kamu terima saja," sambung Irwansyah menepuk pundak Arunika.
Namun, gadis itu mengerucutkan bibirnya dan menatap nyalang kepada Rino. Kemudian dia memangkas jarak, lalu Arunika memberikan pelajaran kepada Rino. Telur ayam yang ada di tangannya dia lempar ke baju lelaki yang ada di hadapannya. Baju Rino menjadi kotor.
"Syukurin!!" ucapnya tertawa.
Rino terbelalak saat melihat pakaiannya kotor. Dia mengepalkan kedua tangannya, hendak melawan. Akan tetapi, Irwansyah bergegas menangkupkan kedua tangannya di depan dada memohon maaf kepada Rino karena Arunika sudah berlebihan bersikap seperti itu.
"Kamu harus membayarnya!" sentak Rino langsung masuk ke dalam mobil.
Arunika memeletkan lidah dan menantang Rino. Mobil berwarna hitam itu lekas melaju kencang meninggalkan Arunika dan Irwansyah yang masih berdiri bergeming di tempat.
Lalu Irwansyah melirik Arunika. "Nanti kamu kena marah oleh ibumu."
"Tak apa-apa. Aku yang salah tadi kebut," balas Arunika.
Gadis itu kembali naik ke motor matic dan melanjutkan perjalanannya dengan diikuti oleh Irwansyah dari belakang.
***
Kedatangan Rino disambut hangat oleh sahabatnya bernama Tomi. Mereka meskipun jarang bertemu, tetapi masih sering berkomunikasi. Rino pergi ke kampung Sukasari karena ditawari oleh Tomi untuk menenangkan pikiran dan hati.
Tomi asli pribumi orang Sunda. Layaknya seorang sahabat yang lama tidak bertemu. Mereka berdua berbagi cerita duduk di beranda rumah. Menikmati keindahan pemandangan sawah yang terbentang di depan mata.
"Adem, yah," ujar Rino.
"Iya, kamu menyukainya. Sudah lama tak datang ke sini kamu," urai Tomi.
"Maaf, saya sibuk. Kamu kenapa tak mau ke kota J lagi?" tanya Rino sembari meneguk kopi hitam yang dibuatkan oleh Tomi.
"Aku buka pangkas rambut di sini. Aku nyaman di kampung," balas Tomi mengulas senyum.
"Dan saya pun mau di sini," sambung Rino.
"Serius?" Tomi melirik Rino penuh tanda tanya.
"Iya. Daripada di kota dikejar-kejar wanita yang tebar pesona dan aku tak suka itu," cetus Rino terkekeh kecil.
Mereka berdua pun berdialog hangat sambil menikmati secangkir kopi hitam.
**
Sementara itu di lain tempat.
Plakk!!
Arunika menerima hukuman karena membawa uang sedikit karena telur-telur utuh hanya ada beberapa yang bisa dijual.
Wulandari---ibu Arunika menatap nyalang kepada gadis berkepang dua yang menundukkan wajahnya.
"Kenapa hanya segini? Kamu buang telur ayam kampung itu?!" bentaknya.
"Ambu, maaf. Tadi ada kecelakaan kecil. Untungnya aku tak apa-apa," jawab Arunika.
"Apa? Kamu bilang masih untung? Kita itu rugi. Siapa yang menabrakmu? Cari dia."
Arunika tidak berani menatap mata Wulandari. Dia menelan ludah dan memainkan buku-buku jarinya untuk menilimisir perasaan supaya masih tampak tenang.
Lantas Arunika berani mengangkat wajahnya ketika Wulandari meminta dia untuk memandang mata perempuan paruh baya yang ada di hadapannya.
"Aku ikut sedang ngomong. Bukan sekadar nyanyi. Makanya jawab kalau orang bertanya itu. Siapa yang menabrakmu sampai kita rugi?!"
"Ambu, sudahlah Arunika yang salah. Jangan bawa-bawa orang lain. Karena tadi juga buru-buru," tukas Arunika. Akan tetapi, Wulandari tidak peduli. Arunika harus menemukan Rino. Jika tidak menemukan dalam waktu dua puluh empat jam, maka gadis bermata cokelat itu akan mendapatkan hukuman lebih parah lagi.
"Cepat temukan dia!!" Wulandari memelotot sembari berkacak pinggang.
Lalu Wulandari masuk ke dalam kamar dengan membawa uang hasil penjualan telur. Dia tersenyum iblis saat melirik sekilas kepada Arunika yang masih duduk membeku.
"Cepatt Arunika. Cari dia!!" bentak Wulandari sebelum dia menutup pintu.
"Iya, Ambu." Arunika menghela napas berat dan mulai gontai berjalan keluar rumah. Hari sudah petang dan gadis itu pun harus mencari Rino sampai ketemu.
"Aku harus cari dia di mana?" gumamnya lirih.
PerselisihanKedatangan Rino di kampung Sukasari itu menjadi buah bibir para gadis yang terpesona oleh ketampanan dan kegagahan Rino saat lelaki itu dibawa jalan-jalan ke pasar malam oleh Tomi.Suasana di tempat itu ramai. Riuh orang-orang berjalan lalu-lalang. Bianglala pun menjadi magnet bagi yang baru datang ditambah dengan lampu-lampu warna-warni bak pelangi mengundang decak kagum. Banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya untuk mencari sesuap nasi. Rino menyisir setiap sudut pasar malam yang selalu ada di malam minggu. Dia mengulas senyum saat melihat anak-anak raut wajahnya terpancar sumringah bermain riang karena permainan di pasar malam itu beraneka ragam.Tomi meminta Rino agar menunggunya di dekat bianglala karena Tomi ada kepentingan mendadak panggilan alam. Maka lelaki berhidung bangir itu berdiri bergeming sembari melihat orang-orang berpasangan naik bianglala.Namun, tiba-tiba seseorang meneriakinya maling. Sontak Rino terkesiap d
"Argghhhhhhh, diam. Jangan bohong." Wulandari memelotot sembari memukul lengan Rino oleh sapu. "Hayo, ngaku!!" lanjutnya cerocos.Suara Wulandari yang cempreng membuat Tomi terbangun dan lelaki itu terkesiap terkejut melihat Rino yang sedang dipukuli oleh Wulandari, lekas lelaki itu berlari kecil menjadi penengah meraih sapu yang hendak melayang ke lengan Rino.Rino berdiri bergeming tanpa protes atau pun melawan. Mata lelaki tersebut menajam ke arah Arunika. Sorot tatapannya penuh kebencian. Bisa-bisanya Wulandari menuduh Rino menghamili Arunika.Bahkan Rino tidak mengindahkan ucapan Tomi, dia lebih fokus menatap nyalang Arunika yang menunduk sambil meremas-remas baju. Sampai Tomi menepuk pundak Rino dan lelaki tersebut melirik sekilas kepada sang sahabat."Saya tak menghamili Arunika," ucapnya tegas."Tuh, Ibu Wulandari. Kalau ngomong itu dijaga jangan seperti petasan itu mulut
Punya Saingan“Buka saja,” ucap Sri melempar senyum manis dan rambut pirangnya yang kerap kali dikucir satu, kini digerai. Biasanya pun pakaian Sri kemeja atau kaus serta memakai celana levis atau celan pendek. Namun, kini Rino sedikit tercengang melihat perubahan Sri yang menjadi feminim memakai rok selutut dan baju atasan. Gadis itu baru pulang main dari rumah temannya.Rino mengulum senyum tipis ketika membaca surat undangan tersebut. Inisialnya bukan A nama calon pengantin perempuannya, dia menghela napas lega sembari menatap teduh Sri.“Maksudmu berikan undangan ini apa?” tanya Rino mengernyit.“Om, mau nggak temenin Sri ke undangan sebagai pasangannya,” jawab gadis itu tanpa basa-basi langsung mengajak Rino.Sri kerap kali memanggil Rino dengan sebutan Om, entah kenapa Sri pun merasa nyaman bila berada di dekat Rino dan gara-gara Rino pun gadis tersebut ingin merubah penampilannya. Makanya hari ini penampil
Perjuangan PertamaSri memegangi lengan Rino begitu erat. Gadis itu sesekali berteriak sekencang-kencangnya saking kagetnya melihat penghuni rumah hantu. Meski sudah tahu jika itu manusia yang berpura-pura menjadi manusia, tetapi tetap saja bisa membuat jantung Sri dan Rino mencelos dari tempatnya. Rino memasang wajah datar tidak tampak ketakutan hanya terkejut bila tiba-tiba muncul hantu tanpa muncul di depannya.Tiga puluh menit mereka berdua belum menemukan pintu keluar masih berkeliling mencari pintu karena banyak gangguan dari penghuni rumah hantu itu yang menggoda.Brugh!!Rino seperti menabrak punggung seseorang karena sudah masuk ke area zona gelap, tantangan terakhir agar menemukan pintu keluar.“Argh, siapa kamu?” bentak suara wanita yang sudah tidak asing lagi bagi Rino.“Arunika,” tegur Rino lembut.“Kakak,” sambung Sri sambil tangannya mengibas seakan mencari sosok sang kakak.&l
Pukul sebelas siang. Rino baru turun dari mobil sudah menjadi sorotan orang banyak. Apalagi saat ini Sri menggandeng tangan lelaki itu sambil menampilkan barisan gigi putihnya. Mereka berdua berjalan bersisian memasuki area resepsi pernikahan. Rino memasang wajah semanis mungkin agar Sri bahagia. Hari ini dia benar-benar harus berakting menjadi pacar sehari gadis tersebut.Sri mengajak Rino untuk menaiki panggung pelaminan dan mereka mengucapkan selamat bahagia kepada pasangan pengantin yang berbahagia.“Mateng, nih,” sapa pengantin wanita melempar senyum kepada Sri.“Bukan mateng lagi. Ini namanya rezeki nomplok,” balas Sri terkekeh kecil sembari menggelayut mesra di bahu Rino, menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Sri tidak peduli dengan penilaian orang atau teman-temannya yang penting dapat membawa pasangan tampan dan mapan itu yang ingin ditonjolkan oleh Sri agar teman-temannya tidak mengejek jika gadis itu kelamaan menjadi jomlo
Untungnya Rino dapat menepis serangan dari lawan dan ia memberikan tendangan seribu kepada lelaki itu. "Jangan ganggu dia!!" bentak Rino sembari memelotot.Mereka pun langsung lari terbirit-birit meninggalkan tempat. Rino yang sudah ahli taekwondo, baginya menghadapi para pemuda itu hal mudah yang sulit saat ini adalah merebut hati si gadis bunga desa itu.Arunika melempar senyum kepada Rino dan lelaki berjas hitam itu pun segera menolongnya."Terima kasih," ucap Irwansyah."Sama-sama, ayo saya antar sampai rumah." Rino menjawab seraya melengkungkan senyum manis.**Mereka bertiga turun dari mobil. Di depan rumah bercat abu-abu itu tampak Maria---ibu Irwansyah sedang menyapu teras dan wajahnya mendadak berubah cemas di kala melihat Irwansyah terluka, wanita paruh baya itu menghambur menghampiri."Ada apa ini?" tanya Maria."Bu, kami tadi dihadang oleh pemuda yang jail," jawab Arunika."Ya ampun, mereka nggak ada ka
Matahari baru bergulir dari ufuk timur, tetapi di depan rumah Tomi sudah ada keributan yang mengundang perhatian emak-emak berdaster yang sedang beli sayuran di tukang sayur---pakai gerobak. Mereka memicingkan mata ke arah Rino yang sedang berdebat dengan orang suruhan Raffi yang mengambil mobilnya. Nampak sekali dari sorot mata mereka ada kecewa dan tidak menyangka bahwa yang mereka lihat Rino seperti orang kaya, tetapi faktanya kini yang dilihat lelaki tampan itu bersikukuh dan bersitegang dengan dua lelaki berpakaian rapi dan kemeja hitam. Jelas terdengar suara emak-emak berdaster itu menyindir. "Ternyata mobil sewaan yang dia pakai." "Buat apa wajah tampan. Tapi, nggak ada duitnya." Rino mengembuskan napas panjang mendengar ucapan tetangga Romi yang membicarakannya di depan langsung. "Pak, saya tak mau pulang ke rumah. Silakan ambil saja mobilnya. Tapi, yang jelas ini mobil saya hasil kerja keras saya." Rino menjelaskan. "Maa
Pasca tidak berjualan telur Arunika menjadi pelayan di restoran Padang yang terletak di pusat kota. Ia pulang pergi, berangkat dan pulang bersama dengan Irwansyah. Perjalanan dari tempat kerja ke rumah Arunika jarak tempuhnya satu jam, sedangkan Rino bertahan untuk hidup di kampung tersebut menjadi pedagang pakaian perempuan di pasar. Sisa uang penjualan jamnya itu sebagai modal. Rino menjadi bintang di pasar, banyak gadis maupun janda yang mendekatinya tebar pesona bahkan ada juga yang sering membawakan makanan untuk duda keren itu setiap hari dan itu membuat Rino sebenarnya tidak nyaman. Namun, dia harus bersikap ramah kepada semua pembeli. Lelaki berhidung bangir itu jarang bertemu dengan Arunika karena waktu terbatas. Setiap hari menunggu di depan rumah Arunika, tetapi si gadis pujaan hati selalu pulang malam---pukul sebelas malam bersama Irwansyah. Dia hanya menunggu di sebrang rumah Arunika di bawah pohon rindang yang minim cahaya dan itu tempat yang tepa