Segera Brisya mengusap matanya yang masih mengantuk, di sekelilingnya banyak mobil-mobil terparkir. Di mana dia sekarang?Ragu Brisya menarik tas ransel kecilnya dan menyisir rambutnya yang kusut dengan jari jemarinya.Haris membuka pintu mobil, lalu mengitarinya dan membukakan pintu mobil untuk Brisya.Sambil mengamati sekitarnya, Brisya turun dari mobil Haris. "Di mana ini?" tanyanya bingung.Tanpa menjelaskan apapun, Haris hanya tersenyum dan menggandeng tangan Brisya agar mengikutinya.FunDream ParkBrisya membaca sebuah nama di sebuah Tugu besar saat keluar dari tempat parkir."Taman bermain?" tanya Brisya lagi girang, ia menolehi Haris dengan berbinar.Haris mengangguk dan tetap menggandeng Brisya ke loket yang penuh dengan orang-orang mengantri untuk membeli tiket."Kamu senang?" tanya Haris mengawasi Brisya yang masih takjub memperhatikan sekelilingnya, ada desir hangat dan bahagia saat Haris melihat ekspresi Brisya yang berbinar-binar bahagia.Brisya hanya meringis dan mengan
Haris mencuci wajahnya yang terasa berat oleh debu dan keringat setelah seharian terkena terik matahari. Ia terpaku mengawasi bayangannya sendiri di cermin. Hampir saja tadi ia lepas kontrol. Beruntung mereka terselamatkan di saat yang tepat. Entah apa yang terjadi bila saja mereka masih ada di ferris wheel tadi lebih lama, Haris takut ia tak bisa menahan diri. Dengan cepat Haris menarik tisu di samping wastafel dan mengusap wajahnya yang basah. Ia harus segera mengajak Brisya pulang. Begitu sampai di teras foodcourt, Haris tidak lagi mendapati Brisya di tempat duduk mereka tadi. 'Ke mana bocah itu!' desisnya bingung sambil mengawasi sekitarnya dengan gelisah. Ia mengamati setiap perempuan berkaos putih yang ada di sekelilingnya. Tapi ia tak menemukan Brisya. "Sial!!" decak Haris kesal. Harusnya tadi ia tak meninggalkan Brisya sendirian. Brisya bersikukuh ingin melihat kembang api, dia pasti kabur untuk melihatnya. Buru-buru Haris beranjak, semoga Brisya masih belum jauh. Tapi m
02.00 dini hari.Brisya masih belum bisa menutup mata. Seharian ini perasaannya campur aduk mulai dari ketakutan karena Aji, bahagia karena Haris lalu berakhir kecewa padanya.Tadi siang, ia amat sangat bahagia bisa bermain dan menikmati hari Sabtunya di Taman Bermain yang belum pernah sekalipun ia datangi. Ia bahkan sempat berpikir tidak ingin kembali ke Panti dan menginap saja di kota agar esok hari mereka bisa bermain lagi. Namun sejak Brisya tersesat tadi, ia merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Baru kali itu ia merasa sangat takut kehilangan seseorang, setelah terakhir kali ia kehilangan jati diri dan masa kecilnya. Kini Haris seperti candu baginya, ia terus ingin berada di dekatnya dan ingin selalu tertawa bersamanya.Dan wanita anggun itu, tunangannya, sudah berhasil membuat Brisya cemburu hingga tak bisa tidur malam ini. Wanita itu cantik sekali, tingginya hampir menyamai tinggi Haris. Rambutnya ikal dan panjang, wajahnya full make-up dan bajunya sangat elegan.Apalah Bri
Haris mengawasi kalender di dinding dengan tatapan nanar. Tadinya ia berniat untuk mabuk lagi malam ini, akan tetapi urung ia lakukan saat dirinya sadar bahwa besok ia akan mulai membuka kantor Biro Arsitek. Tiga orang staf akan mulai ngantor besok pagi, salah satunya adalah Brisya. Bila Haris mabuk malam ini, bisa dipastikan besok ia tidak akan bisa bangun pagi. Kembali Haris memasukkan botol alkoholnya ke dalam laci yang tersimpan di kolong tempat tidurnya. Di sanalah tempat teraman bagi Haris untuk menyimpan semua botol-botol favoritnya itu. Bergegas ia kemudian naik ke tempat tidur, memasang alarm di ponselnya dan memejamkan mata. Ia ingin pagi segera datang agar bisa bertemu Brisya. Ia sudah rindu melihat senyuman dan tawa gadis itu. Seulas senyuman lantas tersungging di wajah Haris, bahkan membayangkan Brisya saja sudah membuatnya bahagia, entah bagaimana rasanya bila bisa memiliki gadis itu di rumah ini. Memeluk gadis itu kapan saja ia mau, menggodanya, menciumnya ... hmmm ...
Begitu Brisya pergi meninggalkannya, Haris memejamkan matanya dengan sedih. Ia mengusap wajahnya berkali-kali karena kesal dengan keadaan ini. Harus bahkan tak lagi merasakan lapar yang sedari pagi ia tahan. Merasa frustasi sendiri, Haris akhirnya beranjak dari kursinya dan naik ke lantai atas. Ia sempat melirik jam tangannya, masih ada 1 jam lagi waktu untuk beristirahat. Ia ingin menyesap sedikit saja alkoholnya. Sepertinya peningnya akan hilang. "Honey, kamu nggak makan?" tanya Vega dari meja makan.Sekils Haris menoleh pada Vega yang sedang menikmati sepiring spageti lantas menggelengkan kepala dengan suntuk. Ia lebih memilih untuk menikmati waktunya di kamar sendirian. "Aku bikinin lagi ya, Honey? Kamu suka pedas, kan? Aku bikinin saus yang ekstra pedas buat kamu."Teriakan Vega tak membuat Haris bergeming, Haris terus berlalu dan tak sekalipun menyahut, ia kemudian menutup pintu kamar dan membuka laci di bawah tempat tidurnya. Sepertinya satu sloki saja cukup untuk meredakan
Sudah dua hari ini Brisya mengurung diri. Ia bahkan tak sekalipun keluar kamar untuk makan dan tak mengijinkan siapapun masuk ke kamarnya selain Bu Shila. Bahkan Aji yang menunggu sampai sore pun tak berhasil merayu Brisya untuk membuka pintu kamarnya. Brisya lebih memilih untuk tidur dan tidak membuka mata. Ia kesal bila harus bangun dan menerima kenyataan bahwa Haris tidaklah sebaik yang ia pikirkan. Hari ini Aji masih mencoba merayu Brisya membuka pintu kamar untuknya. Kata Bu Shila, semalam Brisya bahkan tidak mau makan. Entah masalah apa yang Brisya hadapi, Aji masih penasaran. Ketika bertanya pada Bu Shila, beliau pun tak paham. Aji mengawasi pintu kamar Brisya yang tertutup rapat, ia sendiri masih betah duduk berselonjor di depan kamar. Sudah hampir setengah hari ia lewati dengan duduk di sana. Ia merindukan Brisya, sebulan meninggalkannya membuat Aji hampir gila. Dan kini saat Brisya sudah berada di hadapannya, ia masih saja tak bisa bertemu gadis itu. "Briy, makan, yuk! Ak
Brisya mematut bayangannya di cermin, pagi sekali ia sudah bangun untuk bersiap ke kantor Haris. Semalam ia sudah memutuskan untuk mengundurkan diri. Lebih baik ia menjauh dan tidak lagi bertemu dengan Haris agar perasaannya kembali normal seperti dulu.Untuk bahan skripsinya, Brisya akan merevisi dan mengajukan lagi judul lain pada dosen pembimbingnya. Ini semua agar Brisya tidak lagi berinteraksi dengan Haris. Lagi pula Aji pasti akan murka bila tahu Brisya dekat dengan laki-laki lain selain dirinya. Jadi keputusan Brisya sudah bulat. Ia akan berpamitan pada Haris hari ini. Saat sampai di kantor, masih belum ada seorang pun yang datang. Brisya sengaja datang lebih pagi agar ia bisa segera bertemu dengan Haris sebelum teman-temannya datang. Hingga beberapa menit kemudian, Frans dan Vico datang.Dan sampai siang, Haris tak kunjung turun. Brisya yang menunggu dengan gelisah jadi semakin berpikir buruk. Apa Haris dan tunangannya itu sedang bermesraan lagi?Tiba jam makan siang, Frans d
Wajah Aji menegang, rahangnya mengeras sempurna. Matanya memerah penuh emosi namun ia menahannya. "Jangan marah, ya ..." pinta Brisya memohon, ia menggenggam tangan Aji lebih erat."Kamu masih bisa magang di tempat papaku, kenapa harus magang sama orang, sih!" "Aku nggak mau ngerepotin kamu, Ji. Sudah cukup selama ini kamu ngasi segalanya buat aku," tukas Brisya hati-hati, salah ucap sedikit bisa saja Aji meledak. Aji menarik tangannya dari genggaman Brisya, lantas mengusap wajah dan rambutnya dengan kesal. Ia merasa tak berguna. Bahkan untuk hal kecil saja ia tak mampu membantu Brisya. "Aku cuma butuh support kamu sekarang, aku udah nggak bisa mundur lagi, Ji," pinta Brisya lirih, mengawasi Aji dengan harap-harap cemas."Aku ngerasa nggak berguna, Briy. Percuma rasanya ada aku kalo kamu masih minta bantuan orang itu." "Dia bukan orang, mendiang papanya om Haris dulu donatur tetap di Panti ini. Jadi mungkin dia pengin melanjutkan kebaikan papanya dengan membantu anak-anak di Pant