Share

Sweet As You

Dwiharis Bibrata, 14 tahun. Hidup berdua dengan ayahnya di sebuah ruko berlantai dua. Orang tuanya bercerai sejak Haris masih kelas 3 Sekolah Dasar, mama dan kakaknya pergi meninggalkan Haris dan ayahnya berdua di ruko. Selama bertahun-tahun Haris hidup tanpa sosok seorang ibu, ia belajar untuk mandiri dan kuat. Terlebih rumahnya berdampingan dengan Panti Asuhan, sehingga setiap hari ia bertemu dengan anak-anak yang hidupnya lebih menyedihkan darinya.

Haris mengidap Ombrophobia atau phobia pada hujan. Mungkin karena trauma yang ia alami saat itu. Ayah dan mamanya bertengkar hebat tepat saat hujan dan petir bersahutan. Esok paginya, ia tak lagi menemui mama dan kakaknya di rumah. Ada luka yang ia simpan sendiri dan tidak bisa ia bagi dengan siapapun. Haris terlihat kuat, terlihat selalu ceria. Namun, saat turun hujan, ia selalu menangis sendirian di dalam kamarnya, berkeringat dingin dan ketakutan. Hujan selalu membuatnya takut kehilangan. Bertahun-tahun Haris mencoba untuk menghadapi traumanya, akan tetapi tidak pernah bisa. Ia menghadapi phobianya seorang diri.

"Haris, bisa tolong antarkan makanan ini ke Panti?" sebuah suara mengagetkan Haris yang sedang termenung menatap buku bacaannya.

Haris menoleh, ayahnya sudah berdiri di pintu kamarnya yang terbuka. Pria yang baru beranjak ABG itu berdiri, mendekat dan meraih kresek yang ayahnya bawa.

"Sepertinya mau hujan, jangan lupa bawa payung, ya!" perintah Pak Brata, ayah Haris, pelan.

Haris terdiam, ia menolehi jendela kamarnya. Benar, di luar mendung dan gelap.

"Ayah saja deh yang antar, Haris mau belajar."

"Ah, cuma sebentar, udah buruan sebelum makanannya dingin!" potong Pak Brata cepat, lalu berlalu dari kamar putranya.

Haris diam terpaku, ia memandang kresek hitam di tangannya. Ragu akankah pergi atau duduk lagi di kursinya. Haris memejamkan mata galau. Ia menarik nafasnya dalam, dan menghembuskan pelan. Buru-buru ia meraih jaketnya dan setengah berlari turun dari lantai dua ruko.

Di luar sudah mulai berangin, Haris mendongak mengawasi awan hitam yang bergelayut di langit. Ia mempercepat langkahnya. Suasana hatinya memburuk bila melihat mendung, ia benci hujan.

Lekas Haris membuka pintu Panti dan melongok ke dalam. Ia mencari Bu Shila atau Bu Rahmi atau siapapun, yang bisa ia titipi makanan ini agar ia bisa segera pulang. Namun, tak ada satu orang pun yang ia jumpai di dalam Panti.

Haris melangkah masuk, ia mengawasi setiap ruangan yang sepi. 'Ke mana mereka??' batinnya heran.

Lamat-lamat Haris mendengar suara anak-anak kecil di ruang belakang. Sepertinya mereka sedang bernyanyi. Haris mempercepat langkahnya.

Benar saja, semua anak-anak berkumpul di Aula. Begitu melihat Haris membuka pintu, semua terdiam dan memandangnya.

Bu Shila berdiri, tersenyum dan mendekat.

"Ada apa Haris??" tanyanya halus.

Haris terhenyak, lalu menyodorkan kresek hitam yang ia bawa.

"Apa ini?? Oh, makanan, terima kasih banyak," ucap Bu Shila halus.

Haris mengangguk. "Sama-sama, Bu Shila, saya permisi dulu," pamit Haris sebelum kemudian berlalu.

Secepat kilat Haris berbalik, setengah berlari ia keluar dari Panti. Di luar mulai terdengar suara petir, dada Haris berdegup kencang mendengarnya. Ia membuka pintu depan Panti dan berlari. Namun, larinya terhenti saat melihat gadis kecil yang ia kenal berdiri mematung di pinggir jalan.

Brisya.

Haris menghembuskan nafasnya kesal, kenapa ia harus melihat Brisya di saat ia sendiri harus cepat pulang. Brisya menolehinya. Cukup lama mereka saling bertatapan.

"Kenapa kamu di sini? Sebentar lagi hujan badai, masuk gih!!" perintah Haris menguatkan hatinya yang mulai ketakutan.

Brisya membuang muka, ia menatap jalanan di depannya.

Blarrr.

Haris memejamkan matanya cepat, matanya mulai panas dan memerah. Petir.

Lekas Haris menarik tangan Brisya agar mengikutinya dan membawa teman kecilnya pulang. Percuma menyuruh Brisya masuk ke dalam Panti, dan memanggil Bu Shila hanya akan membuang waktu. Ia takut hujan keburu turun.

"Loh, Haris? Ini siapa?" tanya Pak Brata heran, melihat gadis kecil berdiri di belakang Haris dan membuntutinya.

Haris menolehi Brisya yang mengekor di belakangnya dan mendengus.

"Tolong telefon Bu Shila, Yah, bilang Brisya ada di sini," sahut Haris lesu, lalu naik ke lantai 2 menuju kamarnya. Brisya masih membuntutinya pelan.

Saat Haris membuka pintu kamarnya, hujan mulai turun di luar. Jendela kamarnya berembun. Sesekali kilat dan petir bersahutan.

Mata Haris mulai panas lagi, dadanya bergemuruh sedih. Ia benci hujan. Rasanya ia ingin pindah ke negara yang tidak memiliki musim hujan. Pelan, ia beringsut naik ke tempat tidur, ia mulai meringkuk menahan air matanya seperti hari-hari dengan hujan sebelumnya.

Brisya kecil masuk ke dalam kamar Haris yang hangat. Ia menolehi semua isi kamar Haris yang gelap. Memicingkan mata mencari sosok yang tadi mengajaknya ke sini. Brisya menemukan Haris meringkuk di tempat tidur, separuh badannya tertutupi oleh selimut. Brisya mendekat, ia terbelalak melihat laki-laki yang ia kenal itu menangis.

Brisya penasaran kenapa temannya itu menangis??? Apa Brisya berbuat salah? Mami biasanya akan menangis bila Brisya melakukan kesalahan.

Ragu tangan mungil Brisya menyentuh kepala Haris, mengusap rambutnya halus. Haris yang fokus menulikan telinga sontak tersentak, ia mendongak dan menemukan Brisya berdiri di samping tempat tidurnya. Haris lupa belum menutup pintu kamarnya tadi.

"Maafin, Briy, Kakak," ucap Brisya sedih, sambil tetap mengelus rambut Haris seperti yang selalu maminya lakukan saat Brisya sedih.

Haris beranjak duduk, ia kaget mendengar Brisya bersuara. Selama ini Brisya selalu diam membisu. Gadis kecil itu tidak pernah bicara dengan siapapun.

Pelan, Haris menarik tangan kecil Brisya. "Bukan salah kamu, Briy, maaf sudah membuat kamu ikut bersedih," cetus Haris mengusap air matanya dan berusaha tersenyum.

Brisya mengawasi Haris dan ikut tersenyum.

2 jam berlalu, hujan masih belum berhenti di luar. Haris duduk bersandar di sisi tempat tidurnya. Sementara Brisya berdiri mematung di jendela, mengawasi jalanan yang sepi dan mulai banjir.

Haris ingat cerita Bu Shila bahwa Brisya ditemukan sendirian di depan Panti saat sedang terjadi badai. Entah apa yang Brisya rasakan, mungkin ia rindu orang tuanya, mungkin juga ia sedih melihat hujan karena ia dibuang saat hujan badai. Haris jadi merasa penderitaannya tidak ada apa-apanya dibanding Brisya kecil. Brisya harus hidup sebatang kara, dibuang dan tidak memiliki orang tua.

Pelan Haris beranjak dari duduknya, ia mendekat ke arah jendela. Brisya menolehinya dan tersenyum. Haris sangat sedih melihat senyum itu. Anak enam tahun seusia Brisya harus menanggung semuanya sendiri.

"Briy, kenapa selama ini kamu gak pernah bicara?" tanya Haris penasaran.

"Briy pengen pulang, Kakak," sahut Brisya lirih, memandang hujan dari balik jendela.

Haris membuang nafasnya sesak, andai ia bisa membantu menemukan di mana orang tua Brisya.

"Briy, kangen mamanya, ya?" tanya Haris sedih, seolah-olah ia sedang bertanya pada dirinya sendiri.

Brisya diam tak menjawab, ia masih mematung.

Toktoktok.

"Haris, Bu Shila mau menjemput anak itu, " panggil Pak Brata di balik pintu.

"Iya, Ayah, Brisya ada di sini," sahut Haris cepat, menolehi Brisya yang masih diam mematung.

Tak lama pintu kamar Haris dibuka, Bu Shila masuk dengan tergopoh-gopoh. Lalu menarik Brisya agar mendekat ke arahnya.

"Maaf ya, Haris, jadi merepotkanmu, lain kali tidak akan terjadi lagi."

"Tidak apa-apa, Bu Shila, saya suka Brisya di sini," potong Haris cepat, Brisya mengawasinya sambil tetap digandeng Bu Shila.

"Baik, maaf sekali lagi. Pak Brata, saya pamit dulu." Bu Shila membungkuk sopan dan menggandeng Brisya pergi.

Haris tersenyum dan melambaikan tangan pada Brisya. Bu Shila terlonjak kaget saat Brisya membalas lambaian tangan itu. Ia penasaran apa yang terjadi dengan gadis kecil yang ia temukan 3 minggu lalu ini. Mengapa ia menjadi lebih akrab dengan Haris, dibanding dengan dia yang setiap malam tidur bersamanya?

Di balik jendela, Haris mengawasi Bu Shila dan Brisya yang berjalan tergopoh-gopoh di bawah payung. Andai Brisya kecil adalah adiknya, mungkin ia tidak akan sesedih ini melihat hujan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status