Share

Om, I Love You!!
Om, I Love You!!
Penulis: UmiLovi

Storm

2 Januari 2008

Langit masih saja menumpahkan seluruh isinya. Hujan, angin dan petir yang tak berhenti sejak sore. Jalanan sepi, basah oleh air hujan yang menggenang di beberapa bagian jalan yang berlubang.

Sebuah mobil berhenti tepat di sebuah bangunan bertingkat. Seseorang membuka pintu mobil di kursi penumpang, melebarkan payungnya dan turun. Usai memastikan di sekelilingnya sepi, ia mengulurkan tangan pada seseorang di dalam mobil. Lama tangannya terulur sebelum kemudian sebuah tangan kecil meraihnya, mendekat dan turun juga dari mobil hitam itu.

"Tunggu di sini, ya, Mami akan segera kembali," ucap wanita itu sambil tetap memayungi gadis kecil tadi.

Gadis kecil itu mengangguk, wanita paruh baya tadi  melepas genggamannya dan memberikan payungnya pada gadis itu.

Buru-buru ia masuk kembali ke dalam mobil. Meninggalkan gadis mungil berjaket biru itu sendiri di tengah hujan yang masih turun dengan deras. Gadis itu tak paham mengapa ditinggalkan di tempat ini, yang ia tahu sekarang ia merasa dingin. Sepatunya basah oleh cipratan air hujan. Sekelilingnya gelap, ia menoleh pada rumah di belakangnya yang terang oleh temaram lampu.

Ia masih menunggu, meski tak paham sudah berapa lama ia berdiri di pinggir jalan itu. Bersama dengan derasnya hujan dan petir yang tak membuatnya takut sedikit pun. Ia menoleh lagi pada rumah bertingkat di belakangnya. Sepertinya hangat berada di sana, dan ia mulai mengantuk. Kembali ia menatap jalanan yang masih sepi, maminya tak kunjung datang menjemput.

"Hallo, sedang apa hujan-hujanan di sini?? Di mana orang tuamu??"

Gadis itu tersentak, ia menoleh cepat. Seorang perempuan setengah tua sudah berdiri di belakangnya dengan membawa payung besar. Ia tak menjawab.

"Siapa namamu?" lanjut wanita itu halus, gadis itu masih diam tak menjawab.

Seorang perempuan datang lagi, yang ini lebih tua. Ia menatap gadis itu iba.

"Mau Ibu buatkan coklat hangat di dalam??" ucap perempuan yang baru datang itu pelan, berjongkok dan menepuk bahu gadis itu lembut.

Gadis itu mengangguk, ia tersenyum senang. Sudah lama ia berdiri di pinggir jalan, kakinya lelah. Tangannya dingin membeku. Ia ingin segelas coklat hangat.

Tangan perempuan itu terlulur untuk menggandeng tangan mungil yang kedinginan itu. Perlahan mereka semua masuk, diiringi suara petir yang bergemuruh dan hujan yang tak kunjung berhenti.

Sementara di seberang jalan tak jauh dari sana, mobil SUV hitam yang tadinya menurunkan gadis kecil itu mulai melaju perlahan. Seorang wanita yang berada di dalam mobil menangis meraung-raung, sementara sang supir terus melajukan mobilnya tanpa berhenti lagi.

Esok paginya.

"Panti Asuhan Pelita Kasih"

Seorang wanita paruh baya mendekap syalnya lebih erat. Ibu Rahmi, kepala panti asuhan yang sudah 15 tahun membuka panti asuhan yatim piatu. Di hadapannya berdiri seorang wanita yang menjadi tangan kanannya, Ibu Shila, demikian anak anak panti asuhan itu memanggilnya.

Ibu Rahmi berusia 40 tahun, ia mengabdikan hidupnya di panti asuhan yang ia dirikan sejak masih muda. Ibu Rahmi pernah menikah, akan tetapi suami dan anaknya meninggal karena kecelakaan. Sejak hidup sendiri, ia mulai mengasuh beberapa anak terlantar yang hidup di jalanan untuk mengusir sepi dan rindu pada suami dan anaknya.

Ibu Shila, berusia 35 tahun. Ia bekerja pada ibu Rahmi sejak awal mula panti asuhan di buka. Ibu Shila tak pernah menikah, ia mengabdikan hidupnya untuk panti asuhan dan anak anak terlantar yang ia sayangi sepenuh hati.

"Apa anak itu sudah bangun?" tanya Bu Rahmi memecah sunyi.

Bu Shila menggeleng, ia menunduk sedih. "Baru kali ini ada anak menyedihkan seperti dia, selama 15 tahun saya mengabdi, hanya dia yang sengaja dibuang di saat usianya sedang lucu-lucunya," sahut Bu Shila pelan.

Ibu Rahmi kembali merapatkan syalnya, hatinya sakit bila mengingat kejadian semalam. Gadis mungil itu sangat cantik, pakaiannya bagus, tapi mengapa ia di buang??

"Kita tunggu sampai dia bangun, nanti kita coba tanya mengapa dia ada di jalanan."

"Ibuk, anak itu kabur!!" teriak suara anak kecil dari luar ruangan, Bu Rahmi dan Bu Shila tersentak. Buru-buru mereka berhambur keluar.

Benar saja, gadis itu berlari membuka pintu. Bu Rahmi dan Bu Shila mengejar di belakangnya. Cepat sekali gadis itu berlari dan kemudian berhenti tepat di pinggir jalan. Ia berdiri di sana. Tak lagi bergerak.

Bu Rahmi dan Bu Shila berhenti sambil mengatur nafas mereka yang kembang kempis di usia yang tak lagi muda. Mereka berdua saling bertatapan, memandang gadis itu sedih.

Bu Shila mendekat, berjongkok di sebelah gadis itu.

"Siapa nama kamu?" tanyanya halus.

Gadis itu menoleh, tapi tak menjawab. Ia membuang muka lagi dan mengawasi jalanan yang ramai mobil lalu lalang. Berharap mobil yang ia kenal datang dan menjemputnya.

"Kamu sedang menunggu siapa? Ayah??" lanjut Bu Shila, gadis itu menggeleng.

"Mamamu?"

Gadis itu menolehi Bu Shila, matanya berkaca kaca. Mulutnya terkatup rapat.

Bu Rahmi mendekat, ia mengelus pundak gadis mungil itu. Mencoba menenangkannya.

"Tidak apa-apa, nanti mamamu pasti datang menjemput, kita tunggu di dalam, yuk!" ucap Bu Rahmi halus.

Gadis itu menolehi Bu Shila dan Bu Rahmi bergantian. Lalu menunduk sedih, air matanya menetes.

"Mami ..." desisnya lirih. Ia rindu maminya. Wanita yang meninggalkannya sendirian di tempat asing ini.

"Hallo, Bu Rahmi ... Bu Shila!" sapa suara di kejauhan, mereka semua menoleh.

Seorang anak laki-laki sudah  berdiri di belakang mereka.

"Hai, Haris, sudah mau berangkat sekolah??" sapa Bu Rahmi ramah.

Anak laki-laki bernama Haris itu mengangguk dan tersenyum. "Iya, ini hari pertama masuk sekolah usai libur semester kemarin," sahutnya riang.

Haris menolehi gadis di belakang Bu Rahmi dan Bu Shila yang berdiri mematung.

"Siapa itu? Anak baru??" tanya Haris, tersenyum manis pada gadis mungil itu.

"Ahhh iya, tapi entahlah. Semalam seseorang meninggalkannya di sini," sahut Bu Rahmi sopan.

Haris mendekat, berdiri tepat di depan gadis itu. Merogoh saku jaketnya dan memberikan sebungkus permen.

"Hai, siapa namamu??" tanyanya ramah.

Gadis kecil itu meraih permen yang Haris ulurkan, lalu berbalik memandang jalanan lagi. Haris mengawasinya iba.

"Haris, c'mon!! Kamu sudah telat!" teriak sebuah suara di kejauhan.

" Iya, Ayah!!" sahut Haris sambil melambaikan tangan pada ayahnya yang sudah bersiap masuk ke dalam mobil.

"Bu Rahmi, Bu Shila, sampai nanti!" pamit Haris sopan, berlalu pelan dan melambai pada gadis kecil yang mengawasinya.

"Yuk, masuk, Ibu bikinin coklat panas di dalam, yuk!" Bu Rahmi mulai merayu, gadis itu menolehinya lalu menurut. Ia suka coklat panas.

*********************

Seminggu berlalu.

Setiap pagi dan sore gadis mungil itu selalu berdiri di pinggil jalan di depan panti asuhan. Ia masih menunggu maminya datang menjemput.

"Hai, Brisya!" sapa sebuah suara.

Gadis itu menoleh, namanya memang Brisya. Bu Rahmi dan Bu Shila mengetahui namanya dari bordiran nama di jaket yang ia pakai saat pertama kali ditemukan. Ia juga memakai kalung berliontin huruf B. Hal itu membuat mereka semakin yakin nama gadis itu adalah Brisya.

"Sedang menunggu lagi?" lanjut Haris yang sudah berdiri di sampingnya.

Brisya kecil tak menjawab. Ia tidak sekalipun membuka mulut sejak tiba di panti.

Haris duduk di samping Brisya. "Kamu mau permen?" tawar Haris sambil mengulurkan sebungkus permen.

Brisya mengawasi Haris dan mengambil permen itu ragu.

"Ambil saja, kamu suka permen coklat, kan?" lanjut Haris riang.

Brisya diam tak menjawab, ia memungut permen di tangan Haris cepat dan berbalik.

"Kamu suka bermain apa? Aku temani, yuk!" tawar Haris lagi. Brisya meliriknya.

"Besok sepulang sekolah, aku belikan boneka barbie ya, kamu suka barbie?"

Brisya mengawasinya cepat, ia punya banyak boneka barbie di rumah.

"Baiklah, besok aku belikan. Tapi setelah itu kamu harus janji, jangan berdiri sendirian lagi di sini, bermain saja di dalam dengan yang lain, oke?" pinta Haris bernegosiasi.

Brisya diam tak menjawab, ia ingin pulang. Ia hanya tahu bahwa maminya akan datang menjemput, entah kapan.

"Aku ingin sekali punya adik perempuan, beruntung ada kamu, jadi aku nggak kesepian lagi di rumah," cetus Haris pelan.

Brisya mengawasinya lalu melirik rumah besar di samping panti asuhan tempatnya berdiri.

"Iya, itu rumahku, tapi hanya ada aku dan ayah di rumah, sepi banget! Harusnya kamu senang di Panti karena punya banyak teman," ucap Haris saat melihat Brisya melirik rumahnya. Ruko yang ia tempati berdua dengan ayahnya.

"Kamu sudah makan??" tanya Haris pelan, Brisya menggeleng.

"Eh, akhirnya kamu merespon," pekik Haris senang.

"Aku temani makan di Panti, yuk! Bu Rahmi pasti masak enak hari ini," lanjut Haris menarik tangan Brisya cepat, dan entah mengapa Brisya si gadis mungil itu menurut. Ia mengikuti Haris masuk ke dalam panti. Berbaur dengan anak-anak lain yang asyik bermain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status