Home / Romansa / Om-Om Pilihan Papa / 11. Jebakan Itu, Memakanku

Share

11. Jebakan Itu, Memakanku

Author: Resa Anisa
last update Last Updated: 2024-11-24 20:00:33

"TOLOOOOOOOONG!"

Om Bian membekap mulutku sekenanya. Benar-benar sekenanya. Bahkan karena itu aku hampir saja tidak bisa bernapas.

"Ikuti saya."

"Enggak! Lepasin gue!"

"IKUTI SAYA, NALA!"

"Enggak mau, lepasin gue." Dan begitu saja, Om Bian mengambil ponsel yang tersembunyi di dalam dadaku dan meleparnya.

Sialan!

Dia tahu dimana ponsel itu kusembunyikan dan dia dengan tega melempar barang tersebut ke tembok sampai hancur tidak berbentuk.

"HP GUE ANJIR!"

"Saya akan tanggung jawab."

"Dada gue
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Om-Om Pilihan Papa   45. Never

    "Kenapa sih lo harus jemput gue segala Om? Gue kan enggak akan kabur kemana-mana, sekalipun gue nginep di rumah Indy." "Kamu harus selalu ada di dalam pengawasan saya. Itu titah yang diberikan Papa Haryn. Jadi kamu enggak boleh membantah, Nala. Main boleh tapi ada waktunya." "Ck! seharian ini gue udah capek kerja, lihat tangan gue, kasar-kasar sekarang karena harus cuciin mulu barang-barang. Gue cuma mau main." "Besok bisa main lagi, kalau kamu libur. Saya temenin, memang mau kemana kamu ini?" "Sama lo? Ogah, sorry banget ya Om. Gue tuh masih waras. Pakek banget. Main sama lo enggak akan ada asik-asiknya sama sekali." Aku memalingkan wajah menatap jendela mobil dengan keadaan cemberut. Lagian, main sama orang yang tidak sefrekuensi itu malah membuatku capek dan membuang-buang energi secara percuma. "Mending aku diem sendiri di kamar seharian dari pada harus main sama Om Bian." "Ya sudah, its up to you, Nala." Setelah itu, aku terdiam. Bukannya tak ingin mendebat dan memarah

  • Om-Om Pilihan Papa   44. Kecurigaan

    Setelah menangis, bagai bayi yang ditinggal lama oleh ibunya, Om Bian buru-buru membawaku menjauh dari pusat keramaian, agar tidak menjadi bahan tontonan orang-orang. Di sisi lain, tak lupa aku juga mengoceh tak terima. "Kenapa Papa harus sok baik!? Biasanya juga dia enggak kayak gitu. Gue sering dianggap gak ada, gak diacuhkan, Gue kayak makhluk enggak kasat mata buat Papa, tapi kenapa sekarang dia sok iya banget?" "Kamu tuh ya, bener-bener bikin orang lain serba salah tahu. Diperlakukan baik salah, enggak diperlakukan dengan baik pun salah juga." Om Bian menggelengkan kepala, lelaki itu melepaskan tanganku yang sejak tadi dicengkramnya, kini kami sudah berada di dalam sebuah ruangan. "Kasian Pak Haryn, Nala. Bisa enggak kamu tuh lebih peduli sama beliau?" "Tapi kan aneh banget! Dari kemarin sikap Papa tuh aneh banget." Dengan mata yang basah, aku menatap Om Bian lamat. "Enggak ada yang kalian berdua sembunyiin kan dari gue?" "Apa yang harus kami sembunyikan dari kamu, Nala? Kam

  • Om-Om Pilihan Papa   43. Karena Papa

    Seperti biasa, usai sarapan, pagi ini, aku pun mandi, berganti pakaian dan pergi ke perusahaan sebagai OG. Tak nyaman? Tentu. Aku loh yang biasa foya-foya tidak jelas ini tiba-tiba harus membersihkan lantai perusahaan, mencuci gelas-gelas dan wadah bekas serta disuruh untuk membelikan ini serta itu. Tapi di sisi lain, aku mulai merasa ... ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Memikirkan berdiam diri di rumah seharian dalam keadaan kepala yang penuh dengan berbagai macam pemikiran bukanlah hal yang nyaman. Dan yang paling penting dari semua ini adalah, aku malas bertemu lagi dengan Papa. Biarkan kalau dia memang mau berangkat lagi sekarang. Aku enggak akan peduli pada orang jahat yang sudah menghancurkan hidupku. "Ini." Aku menyimpan kopi-kopi yang dipesan oleh orang-orang dalam satu divisi. "Delapan ya, kembaliannya, silahkan." "Ambil aja, enggak apa." Aku menatap uang lima ribu di tangan, dulu, uang segini bukan apa-apa buatku, recehan, tapi anehnya sekarang, aku ... merasa in

  • Om-Om Pilihan Papa   42. Lo Impoten?

    Kami berdua makan dalam diam, tak saling bersuara sama sekali. Seolah tengah tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Papa besok udah berangkat lagi kan?" "Gue enggak peduli," ujarku setengah kesal, sejujurnya aku ingin tahu apa yang Papa lakukan sampai bolak-balik keluar negeri begitu. "Saya dalam waktu dekat akan ada tugas ke luar negara juga jadi, kamu harus pintar-pintar jaga diri ya Nala?" Aku menaikan bahu, tanpa dia minta, aku akan jaga diri. Toh selama ini pun juga begitu. "Jangan lupa kasih uang aja, biar gue bisa makan." Terdengar jelas dengusan Om Bian saat itu. Aku tidak peduli, di dalam hidup ini, yang aku mau cuma uang, uang dan uang, tiada yang lain. "Lagian kamu bakalan punya uang setelah kamu gajian nanti." "Mana cukup." "Cukupkan engga mau tahu gimana caranya," ujar Om Bian kepadaku. "Jangan lupa, ponsel kamu itu harus terus aktif Nala. Saya enggak mau tahu, kalau saya telepon, kamu harus langsung angkat. Sebagai suami kamu, saya sering banget khawatir sama

  • Om-Om Pilihan Papa   41. Ujian Hidup

    Sejak kembali ke rumah, pikiranku terus saja melayang pada apa yang terjadi antara aku dan Papa tadi siang. Kenapa paruh baya itu banyak sekali membicarakan tentang kematian, seolah dia akan segera mati. Memang bagus sih kalau Papa cepat mati, aku bisa lepas dari lelaki yang selalu mengatur hidupku, harus begitu dan harus begini. Hanya saja tak bisa kupungkiri, mungkin karena Papa sudah ada lama di dalam hidupku, mungkin saja karena Papa adalah Papa ... aku merasakan suatu ketakutan yang tak kasat mata. Ada setitik gangguan di dalam hatiku yang ternyata takut kehilangan sosoknya. Meski Papa sudah terlalu sering mengaturku, meski Papa sudah terlalu sering menyakitiku, tapi tak bisa dipungkiri jika selama ini, dialah yang memberikan aku uang, makan dan fasilitas hidup yang lebih dari kata layak. Di tengah aksiku yang tengah melamun itu, tiba-tiba saja sebuah handuk melayang tepat di wajah. Lembab handuk ini membuatku marah pada sosok laki-laki yang kini berambut basah, berwajah seg

  • Om-Om Pilihan Papa   40. Keanehan

    Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku enggak tahu karena aku enggak punya ponsel sekarang. Ponsel aku yang sebelumnya di lempar sama Om Bian sampai rusak. Aku enggak tahu disembunyiin dima

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status