로그인Carissa is a beautiful college girl who has long liked Dylan, her brother's best friend. Dylan is Raihan's best friend and Carissa's brother. He also likes Carissa and accepts his family's matchmaking, even though at first it was only to save the company. However, over time, he genuinely develops feelings for Carissa.
더 보기Aku tidak percaya, ternyata tubuh mertuaku jauh lebih nikmat daripada istriku sendiri. Malam ini, akhirnya aku bisa melepaskan hasratku dengan Mama Siska, ibu mertuaku sendiri.
"Enak banget Ma, semakin lama rasanya semakin nikmat." Aku tidak berhenti menggoyang mertuaku di atas kasur. "Kamu juga sangat perkasa Raka, Mama sampai kewalahan. Kamu memang luar biasa, ayo Raka bikin Mama puas!" Desahnya, badannya bergetar. "Siap Ma, akan kubuat Mama puas. Kita main sampai pagi Ma, Mama mau kan aku goyang sampai pagi?" "Mau banget Raka, Mama pasrah apapun yang kamu lakukan." Istriku berselingkuh dengan pria lain, maka dari itu aku membalasnya, berhubungan dengan Ibunya.**
Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan simfoni yang seharusnya menenangkan. Tapi tidak untukku. Aku terjaga di atas ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berantakan, seperti hujan yang mengguyur tanpa henti. Seharusnya di sebelahku ada istriku yang menemaniku, di saat cuaca dingin begini aku hanya bisa memeluk guling. Aku sudah membayangkan bisa bercinta semalaman dengan istriku, padahal baru beberapa hari saja kita resmi menjadi suami-istri. Memang di saat malam pertama pernikahan kita, aku sudah bercinta dengannya semalaman suntuk tanpa henti. Sekarang benda pusaka ku ingin memuntahkan lahar panas nya, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Aku punya nafsu yang tinggi, apalagi cuaca dingin begini, semakin besar keinginanku untuk bercinta. Ponsel di tanganku masih menyala, menampilkan pesan suara dari Tiara. "Sayang, jangan lupa makan ya. Mama pasti bakal perhatian sama kamu, jadi gak usah khawatir." Suara Tiara terdengar lembut, tapi ada sesuatu yang terasa jauh. Aku menarik napas panjang sebelum membalas. "Iya, hati-hati di sana." Setelah hampir seminggu Tiara pergi dinas ke luar kota. Awalnya, aku pikir tidak masalah tinggal sendiri di apartemen. Tapi dia bersikeras agar aku tinggal di rumah orang tuanya. "Biar Mama bisa nemenin kamu. Lagian, kamu belum terlalu akrab sama Mama, kan?" Dan di sinilah aku sekarang. Di rumah yang bukan rumahku, di bawah atap yang sama dengan seorang wanita yang… semakin sulit untuk tidak kupikirkan. Bu Siska. Bukan ibu kandung Tiara, tapi ibu tirinya—dan itu seharusnya tidak membuat perbedaan. Tapi, entah kenapa, aku mulai melihatnya dengan cara yang tidak seharusnya. Ibu Siska terlihat sangat cantik, badannya seperti gitar spanyol, kulitnya putih mulus dan senyumnya itu rasanya mengajak untuk berbuat maksiat. Aku menggeliat di tempat tidur, mencoba mengabaikan kegelisahan pikiran kotor yang mulai merayapi pikiranku. Tapi rasa lapar memaksa aku keluar kamar. Langkahku di lorong terasa lebih berat dari biasanya, mungkin karena pikiranku yang tidak tenang. Begitu tiba di dapur, aku langsung melihatnya. Bu Siska. Ia berdiri di dekat meja makan, hanya mengenakan gaun tidur satin berwarna biru muda. Kain halus itu membalut tubuhnya dengan pas, menyoroti lekukan yang masih terjaga di usianya yang menginjak 42 tahun. Bahunya terbuka sedikit, memperlihatkan kulitnya yang masih kencang dan mulus, seperti wanita yang jauh lebih muda dari usianya. Rambut hitamnya tergerai santai, memberi kesan liar namun tetap elegan. Mataku tertuju pada buah dadanya yang lumayan montok, saat dia menata piring rasanya buah dadanya akan tumpah. Aku buru-buru mengalihkan pandangan, tapi terlambat. Ada sesuatu yang menancap di benakku. Sesuatu yang mengusik. Astaga, ini ibu mertuamu sendiri, Raka. Fokus. Namun sebelum aku bisa merapikan pikiranku, ia menoleh dan tersenyum. Senyum yang lembut, tapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat. "Raka, ayo makan dulu," ajaknya dengan suara yang hampir seperti bisikan. Aku mengangguk dan duduk di meja makan. Dia menuangkan sup hangat ke dalam mangkukku, aroma rempah dan jahe menguar, menyebarkan kehangatan di ruangan yang terasa semakin sempit. Entah kenapa rasanya Bu Siska, seperti sengaja menempelkan buah dadanya pada wajahku. Hingga tercium aroma parfum dan body lotion nya, yang membuat pedang pusaka ku berdenyut-denyut. "Tiara pasti sering masakin kamu, ya?" tanyanya, matanya menatapku lebih lama dari seharusnya dan dia meremas buah dadanya sendiri seperti sengaja. Aku menelan ludah. Senyum itu… tidak seperti senyum ibu mertua pada menantunya. Kenapa juga dia harus meremas buah dadanya sendiri di depanku. "Iya, Ma—eh, Bu," jawabku, buru-buru memperbaiki panggilan. Mama Siska terkekeh pelan, suara tawanya renyah, hampir seperti godaan. "Mama aja nggak apa-apa. Toh, kamu memang anak Mama sekarang." Aku ikut tertawa kecil, mencoba tetap tenang. Tapi saat aku hendak mengambil sendok, tangannya tanpa sengaja menyentuh tanganku lagi. Sekilas, itu mungkin hanya kebetulan. Tapi kehangatan yang tertinggal di kulitku bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Aku meneguk air putih, mencoba menenangkan diri. Setelah makan, aku beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan. Saat aku hendak kembali ke kamar, suara Mama Siska menghentikan langkahku. "Raka," panggilnya pelan. Aku menoleh. Ia berdiri di lorong, bersandar di kusen pintu kamarnya, satu tangan terangkat menyentuh kayu, tubuhnya sedikit miring. Gaun tidurnya tampak lebih pendek daripada tadi, memperlihatkan pahanya yang mulus di bawah cahaya redup. Aku menahan napas. "Kalau butuh sesuatu… jangan ragu panggil Mama, ya?" Dia mengedipkan mata sambil mengigit bibirnya. Suaranya begitu lembut, hampir seperti bisikan di telinga. Seakan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan lebih dari sekadar kata-kata. Aku hanya bisa mengangguk. "I-iya, Ma." Ia tersenyum tipis, sebelum masuk ke kamarnya dan menutup pintu perlahan. Aku diam di tempat, jantungku berdegup lebih cepat dari seharusnya. Tidak. Ini pasti cuma pikiranku saja. Tapi saat aku berbalik, mataku tak sengaja menangkap pantulan di kaca jendela ruang tamu. Pintu kamar Mama Siska belum benar-benar tertutup. Masih sedikit terbuka… cukup untuk kulihat sepasang mata yang mengawasiku dari celah itu. Aku merinding. Aku segera berbaring di kasur, menarik selimut dan berharap segera pagi. Tapi ternyata aku tidak bisa tidur, pikiranku terbayang wajah Mama Siska apalagi saat dia meremas buah dadanya. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuat gairahku naik. Seketika benda pusaka ku langsung mengeras, sampai terlihat jelas di dalam celanaku. "Ssshhh aaahhhh...." Tiba-tiba terdengar suara aneh, aku turun dari ranjang dan mencari sumber suara itu. Aku membuka pintu dan ternyata pintu kamar Mama Siska masih terbuka, suara itu semakin terdengar jelas. Sekarang aku tau jika itu suara Mama Siska, dia sedang mendesah membuat kerongkonganku mendadak kering. Aku berjalan secara perlahan, sampai berada di depan kamar Mama Siska. Aku mengintip di balik tembok melihat ke dalam kamarnya dan betapa terkejutnya aku, melihat Mama Siska berbaring tanpa sehelai benangpun. Tangan kirinya membelai lembah terlarang nya, dan tangan kanannya meremas buah dadanya. "Ahhh enak Raka, terus sayang.... !" Nafasku terasa sesak, mungkin aku salah dengar. Jantungku berdebar kencang, rasanya udara semakin panas dan keringat menetes di dahi ku. Di tambah lagi benda pusaka ku malah makin keras, apalagi melihat tubuh Mama Siska yang aduhai. "Masuk Raka, jangan ngintip!" Aku semakin terkejut, rupanya Mama Siska tau jika aku sedang ngintip. Akhirnya aku menampakan diri, aku berdiri sambil menatap Mama Siska yang masih berbaring telentang dengan begitu menggoda. "Kamu gak bisa tidur ya? Ayo sini tidur sama Mama!" Aku harus melawan antara nafsu dan status. Dia mertua ku, tidak mungkin jika aku mengkhianati istriku sendiri. Tapi nafsu mengalahkan segalanya, aku tidak peduli yang jelas malam ini harus di lampiaskan. Aku sudah tidak kuat menahannya, dalam beberapa hari ini. Sedangkan di depan mataku, terdapat kenikmatan surgawi yang sudah menantang ku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya, aku butuh pelampiasan. "Raka...... Raka.... Raka.... !" Suara itu semakin terdengar jelas, hingga aku membuka mataku. "Tokkk.... Tokkkk.... Tokkkk... Raka... Raka... Bangun!" Itu suara Mama Siska, ternyata semuanya hanya mimpi. "I-iya Ma, aku sudah bangun." Jawabku gelagapan. "Mama tunggu di meja makan ya?" "Iya Ma," Aku segera berlari ke kamar mandi. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuatku bangun kesiangan.Carissa's POV I wondered if Dylan had ever imagined such a simple life—flowers on the table, small laughs in the living room, light conversations without the shadow of secrets?Until finally, I sat down on the sofa, writing again in my diary. I wrote about Dylan, about how one small sentence from him could change the feeling in my chest. About how I learned to love not from grand promises, but from the small presence he gave me.The writing stopped when I heard the key turn in the lock. My heart pounded. Dylan rarely came home early, but this time was different.He walked in slowly, setting his bag on the table. His face was serious, but there was a sense of determination in his eyes.“What’s wrong?” I asked.He sat beside me, looked down for a moment, and then said, “I can’t promise I can tell you everything now. But I don’t want you to continue to feel like a stranger in my life.”I was stunned. Those words were more profound than anything he had ever said before.“Dylan…” my voic
Carissa's POV A small smile appeared on his lips, a smile I’d rarely seen lately. A smile that made me want to believe that whatever he was hiding, I could bear it with him.We finished our meal in a warmer silence. Afterward, Dylan reached for my hand across the table, his grip tightening. There were no additional words, just a touch that spoke louder than anything else.I let the silence envelop us, feeling that perhaps this was his way of showing love, even in secret, even in fear.His hand remained in mine as he took a deep breath. For a moment, I thought he would return to his usual silence. But then, he loosened his grip, looked down, and then looked up hesitantly.“I was thinking,” he said, his voice heavy. “About my work.”I raised an eyebrow, trying to suppress my surprise. Dylan rarely talked about his work directly. Usually, it was just a brief, necessary answer.I waited without interrupting. “Sometimes…” he paused, his finger tapping lightly on the table surface, “…some
Carissa's POV I paused for a moment in front of the door, feeling the cool air from the slowly rotating fan. My heart felt as if I had just found something I had been searching for.“Welcome,” a woman’s soft voice greeted me. She stood behind the counter, wearing a simple cream-colored apron. Her smile was friendly, her eyes serene.I nodded slowly.“Hello. The flowers are beautiful.”“Please take a look around. If anything catches your eye, let me know.”I walked slowly, down the small aisle between the shelves. My eyes moved from one flower to another. There was something serene about the room. It was as if the world outside had stopped for a moment, replaced by a mix of colors and fragrances.My hand stopped on a white rose. Its petals were tight and soft. I imagined it on the table in the living room. But I felt hesitant, roses were too formal, too full of symbols I might not be ready to embrace.I shifted, and my eyes fell on a sunflower. The yellow was so bright, the stem sturd
Carissa's POVI just smiled faintly, staring at my reflection in the mirror in front of me. My hair was wet, sticking to my skin. The faint circles under my eyes were becoming more visible.“But your hair is nice,” she said again, “thick, easy to manage. It’s just a bit dry at the end. You straighten it often.”I turned my head slightly.“Rarely. I tie it up more often. Sometimes I forget to use vitamins.”“Yeah, that’s normal. Most people do that. We’ll give it vitamins to make it softer. It’s a shame to let your hair dry out if it’s long.”I took a deep breath.“Yes, you can. Thanks.”There was a moment of silence. I felt strange because I usually don't like to talk much during treatments. But there was something about the
Carissa's POVDylan left early today. The shirt he’d ironed the night before still clung to his shoulders, his hair neatly combed, his face focused. I could only watch from the dining table as he sipped his coffee, his steps occasionally hurried as if something were chasing him.“I’ll go now,” he said curtly.I nodded, trying to hide my mixed feelings. “Be careful, okay?”He paused briefly in front of the door, looking at me as if wanting to add something. But then he just smiled faintly, then left. The door closed softly, leaving a long silence.I sat in the chair for a long time, staring at his coffee cup, still faintly steaming. There was a part of me that wanted to chase him, hug him from behind, tell him I could be his home anytime. But there was also a part that chose to remain silent, to let Dylan have his space.Since Raiha
Carissa's POVI woke up later than usual. The bed was still warm beside me, a sign that Dylan hadn't moved long ago. From the kitchen came faint sounds, plates touching, spoons scraping against glasses. I smiled slightly, got up, and walked over.Dylan was pouring hot water into two cups. His back was straight, but his movements were slow, as if he was careful not to make a loud noise.“It’s rare for you to go first,” I said, sitting down in the chair.He glanced over briefly, a faint smile appearing. “Take turns. You looked tired last night.”I chuckled. “I’m not that strong. Talking a lot, laughing a lot, can actually make you tired.”“Seems,” he replied briefly, then placed the cup in front of me. The aroma of tea wafted warmly. I stared at the steam rising, feeling a comfortable, if slightly awkward, sil
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
댓글