Share

Hari Pertama Kerja

Setelah satu minggu mencari mencari pekerjaan di internet, mengirimkan lamaran pekerjaan melalui email, bahkan sampai mengantarkan langsung ke perusahaan terkait, akhirnya Sherly mendapatkan panggilan interview.

“Yes!” Sherly sampai berseru girang bahkan melompat-lompat di atas tempat tidurnya. Bryan tertawa melihat tingkah ibunya itu.

“Sebentar lagi Mama akan kerja, Sayang. Mama bisa beliin banyak barang bagus buat kamu. Mama bisa beliin kamu susu dan mainan yang banyak!” ucap Sherly lantas menciumi balita yang berumur dua tahun itu.

Keesokan harinya…

Pagi-pagi sekali Sherly sudah bangun. Ia mempersiapkan kebutuhan Bryan terlebih dahulu sebelum mempersiapkan kebutuhannya sendiri. Tadi malam Sherly sudah mengobrak-abrik isi lemarinya, ia menemukan beberapa setelan kemeja dan rok yang masih bisa dipakai. Untunglah badan Sherly tidak melar setelah melahirkan, sehingga ia masih bisa memakai pakaian ketika masa kuliah dahulu.

Jadwal interviewnya adalah pukul sepuluh pagi. Pukul delapan paginya, Sherly terlebih dahulu mengantarkan Bryan ke tempat penitipan anak yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Setelah itu, barulah Sherly menggunakan Bus Kota untuk menuju RR Tech, perusahaan tempat ia akan melakukan wawancara.

Karena berdesakan di bus kota, baju Sherly yang sudah ia setrika serapi mungkin jadi sedikit kusut sekali. Wajahnya pun berkeringat hingga make up-nya luntur. Saat tiba di perusahaan itu, Sherly lebih dahulu membersihkan wajahnya di toilet.

“Mau wawancara, ya?” tegur seorang perempuan muda yang lebih dahulu berada di toilet itu.

“Iya, Mbak,” sahut Sherly. Ia memerhatikan kokarde yang melingkar di leher perempuan itu; Diana, RND Departement.

“Tadi pakai apa ke sini?” tanya Diana lagi.

“Pakai …” Sherly meneguk ludahnya, ia sangat malu jika harus mengaku datang menggunakan bus kota.

“Pakai ojek?” tebak Diana.

“Bu-bukan, Mbak. Pakai Bus Kota,” jawab Sherly akhirnya.

“Oh pantesan keringatan. Kemeja lo nyeplak, tuh!” ucap Diana lagi.

Sherly langsung meraba punggungnya sendiri yang ternyata memang basah. Tiba-tiba, Diana melepaskan blazer hitam yang dikenakannya lantas memberikan pada Sherly. “Pakai blazer gue aja,” ujarnya.

Sherly benar-benar tidak menyangka. “Terima kasih banyak ya, Kak. Pokoknya nanti setelah wawancara, blazernya akan saya kembaliin ke Kakak,” balas Sherly.

“Iya,” sahut Diana dingin lantas meninggalkan toilet itu terlebih dahulu.

Sherly pun bergegas mengenakan blazer yang dipinjamkan Diana kemudian menuju ruang HRD untuk melakukan wawancara. Ia sedikit heran karena di ruang tunggu tidak ada siapa-siapa. Apa mungkin hanya dia sendiri yang melamar di perusahaan itu? Atau dia yang salah tanggal?

Saat Sherly sibuk mengecek ponselnya, seseorang justru memanggilnya. “Dengan Mbak Sherly Agatha Siregar?”

“Iya, saya, Mbak,” sahut Sherly.

“Silakan masuk!”

Sherly pun memasuki ruangan HRD tersebut. Ia berhadapan dengan seorang ibu-ibu paruh baya yang parasnya dingin sekali.

“Tamat kuliah tiga tahun yang lalu, tapi kenapa tidak punya pengalaman kerja?” tanya HRD itu saat memeriksa berkas lamaran Sherly.

“Selama tiga tahun belakang, saya kerja freelance, Buk,” jawab Sherly.

“Freelance apa?”

“Penulis lepas.”

“Oohh.” HRD itu tampak manggut-manggut. “Lalu kenapa ingin melamar pekerjaan di sini?”

“Saya ingin meningkatkan kualitas diri dan hidup saya, Buk. Terlebih dengan tuntutan hidup yang kian bertambah, saya merasa perlu suatu pekerjaan yang lebih menjamin finansial dan karir saya,” jawab Sherly.

HRD tersebut menutup berkas lamaran Sherly. “CV kamu bagus, prestasi kamu selama kuliah juga bagus. Tapi sayangnya, kami sudah punya orang yang mengisi bagian kosong di Departement Research and Development. Kalau kamu mau, saya bisa tempatkan kamu di posisi lain,” ucapnya.

“Kalau boleh tahu, bagian apa ya, Buk?” tanya Sherly.

“Jadi sekretaris pribadi CEO perusahaan ini. Kamu kan punya latar belakang sebagai penulis lepas, jadi saya rasa kamu bisa cepat menyesuaikan diri sebagai sekretaris, seperti mengurus surat menyurat, pembukuan, mencatat agenda dan sejenisnya,” terang HRD itu.

Sherly merenung sejenak. Ia sebenarnya tidak ingin menjadi sekretaris, karena tentunya akan sering bepergian dengan sang CEO, tentu hal itu tidak mudah bagi Sherly yang sudah memiliki seorang anak. Tapi, jika menolak pekerjaan itu, Sherly takut tidak mendapatkan pekerjaan lain.

“Saya bersedia, Buk,” ucap Sherly akhirnya.

“Baik.” HRD itu tampak mencatat sesuatu di komputernya. “Kontrak kerja kamu sedang saya siapkan. Nanti akan saya berikan ke kamu. Sekarang, saya akan mengantarkan kamu untuk bertemu CEO dulu,” terangnya.

“Baik, Buk.”

Sherly mengikuti HRD tersebut. Mereka menaiki lift menuju lantai tujuh, lantai paling tinggi dari gedung itu. Lantai tujuh itu tampak berbeda, tampak sunyi dan terasa lebih dingin karena hanya ada satu ruangan, ruangan CEO. Di depan ruangan CEO tersebut ada sebuah meja kecil.

“Ini akan menjadi meja kamu nantinya,” ucap HRD itu pada Sherly. Ia tampak membuang plang nama di atas meja itu. “Nanti akan saya ganti dengan nama kamu,” imbuhnya. Sherly hanya membalas dengan anggukan kepala.

HRD itu menggunakan telepon di atas meja untuk menghubungi sang CEO yang berada di dalam ruangannya. “Saya sudah berada di depan ruangan Bapak. Saya membawa seorang sekretaris baru untuk Bapak,” ucapnya.

“Suruh dia menunggu,” sahut seseorang di balik telepon itu.

“Kamu disuruh menunggu dulu di sini. Maaf ya saya tidak bisa menemani, karena saya masih ada jadwal interview dengan orang lain,” ucap HRD itu.

“Oh, iya, baik, Buk. Terima kasih banyak sebelumnya, Buk.”

Saat Si Ibu HRD sudah raib di balik lift, Sherly merasa merinding. Tempat sunyi itu benar-benar membuat bulu kuduknya berdiri. Sherly mengedarkan pandangannya, mencari foto sang CEO yang sekiranya ada di dinding ruangan itu, tapi ia tidak menemukan apa selain lukisan-lukisan kuno. Sherly jadi berpikir, CEO perusahaan itu pastilah seorang bapak-bapak berumur lima puluh tahunan yang sebaya dengan Ibu HRD tadi.

Hampir satu jam menunggu di ruangan itu, sang CEO belum juga ke luar. Sherly yang mulai resah pun berinisiatif untuk mengintip dari kaca kecil di depan pintu. Tiba-tiba…

Klek!

Pintu itu dibukakan oleh seseorang dari dalam. Sherly terperanjak kaget, begitu pun dengan orang yang membukakan pintu.

“Aaaaa…!” Sherly dan laki-laki itu sama-sama berteriak karena kaget.

“Huuufft!” Laki-laki muda itu tampak menghembuskan napasnya. “Saya baru selesai nonton film thriller, kamu yang tiba-tiba nongol di depan mata bisa bikin saya jantungan tahu, nggak!” hardiknya.

Sherly masih bergeming memerhatikan sosok di hadapannya itu. Matanya menyipit saat mengamati paras laki-laki itu, mulai dari alis, hidung, hingga bibirnya. Tiba-tiba rahang Sherly terasa mengeras. Ia bahkan jadi kesulitan untuk meneguk ludah. Sherly tidak mungkin lupa, laki-laki itu adalah laki-laki yang menghabiskan satu malam dengannya di Bali pada tiga tahun yang lalu.

“Kamu sekretaris baru yang dimaksud Bu Melinda tadi?” tanya laki-laki itu lagi.

Sherly menggelengkan kepalanya. “Bukan,” jawabnya.

“Lalu?” Laki-laki itu menaikkan alisnya.

“Saya … Saya nyasar,” jawab Sherly yang benar-benar terdengar asal.

“Hah?”

“Saya permisi.” Tanpa berpikir lama, Sherly langsung turun dari lantai tujuh itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status