Masuk
Selama dua puluh sembilan tahun hidup di dunia ini, Kiara tak pernah melakukan kesalahan. Semua yang berjalan tersusun rapi sesuai dengan keinginannya. Seorang wanita single dengan karier yang cemerlang, wajah cantik dan tubuh yang proporsional menjadi nilai lebih dalam dirinya.
Bangga? Tentu saja, Dia begitu mengagungkan apa yang ia miliki hingga satu malam yang menghancurkan kepercayaan dirinya. Kiara bahkan tak tahu bagaimana caranya bernapas saat terbangun di samping sosok lelaki asing yang tak ia kenal. Kegelapan masih menyelimuti kamar. Ia bahkan tak berani bergerak saat mata lentiknya mendapati sosok tubuh kekar yang berbaring di sampingnya, ia takut gerakan sekecil apa pun dapat membangunkan lelaki itu. Napas Kiara terdengar dangkal, tubuhnya kaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kiara mencoba mengingat, mencari serpihan kejadian yang masih tersimpan di kepalanya. Penjelasan mengapa dirinya bisa ada di sana. Sesaat pikirannya mengembara ke malam sebelumnya di mana ia menghadiri pesta ultah salah satu temannya di sebuah bar. Layaknya orang dewasa pada umumnya mereka bersenang-senang dengan meminum alkohol, sekedar untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Suara tawa, dentingan gelas, kebebasan yang terasa begitu menyenangkan. Kiara merasa seperti burung yang mengepakkan sayapnya setelah terbebas dari sangkar. Kiara menenggak beberapa gelas, ia termasuk seseorang yang bisa bertoleransi terhadap alkohol, tetapi semalam terasa ada sesuatu yang berbeda. Kiara semakin menajamkan ingatannya, mengingat kilasan wajah-wajah yang samar di bawah cahaya remang. Suara musik yang semakin memekakkan dan gelas yang entah sudah berapa kali berpindah ke tangannya. Tak ada yang mencurigakan. Di bawah pengaruh alkohol yang tak seberapa baginya, Kiara menjadi seperti kuda liar yang hilang kendali. Dirinya melakukan hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Bermain-main pada seorang pria dan berakhir di atas ranjang. Sadar akan kesalahan fatal yang telah ia lakukan. Kiara berpikir segera ingin melarikan diri. Jantungnya berdebar makin cepat saat ia mencoba menggeser tubuhnya, mencari celah untuk bangkit tanpa membuat suara. Kamar itu sunyi, hanya ada dengungan samar dari pendingin ruangan dan napas pelan dari sosok di sampingnya. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri yang mulai dikuasai ketakutan. "Kenapa aku bisa melakukan ini?" rutuknya di dalam hati diselipi makian atas tindakan bodoh yang telah terjadi. Ada rasa tidak percaya di hatinya, tapi rasa sakit di sekujur tubuh dan organ vital yang berada di antara ujung pangkal paha cukup menegaskan semuanya. Ia benar-benar melakukannya! Jantungnya berdetak semakin cepat saat sosok di sampingnya ikut bergerak. Kiara kembali mematung dan kembali menelan ludah, menahan diri agar tidak panik dengan hati yang terus berbisik untuk tak menyia-nyiakan waktu dan segera keluar dari tempat tersebut. Tangan rampingnya bergerak pelan mengangkat ujung selimut putih dibagian kaki, sementara mata jernih itu bergerak cepat mencari pakaiannya yang entah ada di mana. Saat ujung jari menyentuh salah satu kain yang tergeletak di lantai, suara berat terdengar dari belakang menggetkannya. "Kamu sudah bangun?" Tubuh Kiara membeku dengan tangan yang masih menahan selimut untuk menutupi dada. Suara itu asing, tapi penuh ketegasan. Kiara memejamkan mata sejenak, menenangkan laju jantungnya sebelum menoleh. Dan saat tatapan merena bertemu, dunianya yang sempurna terasa retak untuk pertama kalinya. Tatapan itu mengunci tubuhnya di tempat. Pria di depannya tidak terlihat canggung maupun terkejut—seolah semua yang terjadi adalah bagian dari suatu kenyataan yang sudah ia pahami. Berbeda dengan Kiara yang merasa seperti seseorang yang baru saja terhempas dari dunia yang baru ia kenal. Kiara ingin bertanya, ingin marah dan ingin berteriak. Tapi bibirnya tetap terkunci, sementara pikirannya berputar lebih cepat daripada yang mampu diproses. "Siapa kamu?" Kiara akhirnya berbicara, suara yang keluar nyaris bergetar. Pria itu tidak menjawab langsung. Ia mengamati wajah wanita cantik di hadapannya sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu, sebelum akhirnya menghela napas dan berkata. "Apa kamu tidak mengenalku?" Kening mulus Kiara berkerut, mencoba menelusuri memori yang terasa kabur dan berantakan. Kiara menatap pria itu lebih lama—struktur wajahnya, garis rahangnya, sorot matanya yang tajam namun tidak mengancam. Tak ada gambaran di kepalanya tentang siapa sosok lelaki yang telah menghabiskan satu malam panjang bersamanya. Kiara menggeleng pelan. Ia sedang tak ingin bermain teka-teki saat pikirannya tengah kusut seperti ini. "Aku tak tahu siapa kamu dan kenapa kita berdua bisa berakhir di atas ranjang ini. Tapi aku rasa kita bisa menganggap ini sesuatu yang biasa bukan. Anggap saja semua yang terjadi semalam sebatas angin lalu." Angin lalu? Kiara bahkan ingin tertawa dan kembali merutuki dirinya sendiri. Tidak ada yang terasa seperti angin lalu saat tubuhnya masih merasakan sisa-sisa kejadian semalam. Pria itu menggeser posisinya, bersandar pada sisi ranjang. Mata yang tajam menatap lawan dengan tatapan yang sulit diartikan. "Apa kamu yakin dengan apa yang kamu katakan?" Tatapan pria itu semakin dalam, seolah mencari sesuatu di wajahnya. Keraguan, kepanikan atau mungkin jejak kejujuran yang tersembunyi. Kiara tidak tahu. Yang jelas, detik ini dirinya ingin keluar dari ruangan tersebut sebelum semuanya semakin rumit. Kiara menarik napas pelan, berusaha mengendalikan diri, lalu berkata dengan suara setenang mungkin, "Aku yakin. Aku tidak peduli siapa dirimu dan aku hanya ingin pergi dan biarkan semua yang terjadi hanya sebatas ini." Pria itu tidak segera menjawab. Sebaliknya, tangan kekarnya menarik pinggang ramping itu hingga kulit tubuh mereka yang polos kembali bergesekan, menghadirkan desir di jantung bagai tersengat listrik ribuan volt. "Aku tak menyangka kamu akan bereaksi seperti ini," kata lelaki itu akhirnya, nadanya tenang tapi penuh ketegasan. "Tapi bagaimana kalau aku tidak setuju dengan apa yang kamu katakan?" Tubuh Kiara semakin menegang ditempat dengan pikiran yang semakin berkecamuk. "Be-berapa yang kamu inginkan? Aku akan membayarnya," ucapnya mulai terbata. Dia tak bisa membayangkan bagaimana dengan kehidupan selanjutnya jika semua yang terjadi malam itu berubah menjadi skandal panas. Nama baiknya sebagai wanita single terhormat akan tercemar. Lelaki asing di hadapannya ini tersenyum mengejek. Matanya tak sengaja melihat sebuah benda bulat yang melingkar di pergelangan tangan yang membuatnya mengerti arti senyuman itu dan juga menampar harga dirinya. "Apa pantas aku menawarkan harga pada lelaki yang memakai jam seharga dua milyar di tangannya?" fikir Kiara frustasi. "Sorry, aku tahu mungkin kamu tak membutuhkan uang. Tapi melupakan semua ini juga tak membuatmu rugi kan!" Lelaki itu mendekatkan wajahnya dan semakin mengikis jarak diantara mereka. Kiara ingin menghindar dengan mendorong dada bidang tersebut, namun tenaganya tak cukup kuat. Alih-alih memberi jarak, mereka justru semakin dekat hingga hembusan napas lelaki itu terasa hangat di ceruk lehernya. "Ini yang pertama bagiku dan kamu harus bertanggungjawab!" bisiknya. Telinga Kiara meremang. Untuk sesaat dirinya kembali terdiam untuk mencoba mencerna sebelum akhirnya ia terkejut tak percaya. "Apa? Jangan bercanda!" jeritnya tertahan.Kiara tersenyum melihat sejumlah nominal uang masuk ke dalam saldo rekeningnya. Nominal yang cukup lumayan dari hasil penjualan beberapa barang mewah milik Ranti dan juga Nara. Ia akhirnya bisa melunasi seluruh hutang-hutang yang telah jatuh tempo itu dan bahkan mendapatkan kelebihan sebesar enam puluh juta. Baru saja dirinya bernapas lega, pintu apartemennya terbuka begitu saja. Kiara mendengus kasar melihat dua sosok yang tak ia lihat selama beberapa hari ini. "Bodoh, kenapa tidak kuubah sandinya," rutuknya pelan membodohi diri sendiri. Ranti dan Nara mendekat. Wajah mereka yang coklat kini sudah memerah dengan mata yang membesar. "Mama dan Nara sudah pulang? Bagaimana liburan kalian?" sapa Kiara berbasa-basi. Ia sudah letih seharian bekerja sehingga tak memiliki tenaga lagi untuk memulai pertengkaran malam ini. Nara menyeringai, tapi senyuman itu hanya bertahan sepersekian detik sebelum berubah menjadi tatapan tajam yang bisa menguliti siapa pun.
Hal paling menyenangkan di dunia ini? Hidup santai dan liburan. Titik. Koper penuh itu seharusnya berat, namun rasanya ringan di tangan Nara. Mungkin karena ia menyeretnya dengan hati yang masih dipenuhi sisa tawa dan hangatnya matahari Hawai. Langit siang begitu terang ketika Nara dan ibunya melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara. Roda koper mereka berderit pelan di atas lantai granit yang dingin—kadang terdengar gesekan, kadang hanya gema tawa mereka yang mengalahkan riuh para penumpang lain. Nara melirik Mamanya. Meski wajah sang ibu terlihat sedikit lusuh dan rambutnya kusut akibat tidur di pesawat, ada sesuatu yang memancar dari sorot matanya—semangat. Senyum itu belum benar-benar pergi sejak mereka mendarat. “Next time,” ujar Ranti sambil merapikan rambut dengan jari, “kita harus coba yang lebih ekstrem. Naik balon udara atau camping di gurun, gimana?” Nara sampai harus berhenti sejenak menarik koper karena tertawa. “Ma
Mobil Kiara melaju begitu cepat, membelah jalan raya malam yang terasa seperti jurang tak berujung. Langit kelam menggantung tanpa satu pun bintang yang menari. Tak ada rembulan yang biasanya menjadi teman perjalanan; malam itu hanya menyisakan pekat yang diam, seolah mengerti betapa sesaknya hati yang tengah Kiara bawa. Angin malam menerobos dari jendela yang sedikit terbuka, menghantam wajahnya, namun tak mampu menghapus hampa yang mengakar di dadanya.Sepanjang perjalanan, ucapan Julia terus berputar dalam kepalanya, seperti gema yang tak mau padam. Ada sakit hati yang menumpuk, yang belum sempat ia luapkan. Ia meninggalkan kafe dengan langkah mantap, tetapi hatinya kacau. Ada sesuatu yang harus ia pastikan, ada seseorang yang harus ia temui—dan ia tak bisa menunggu sampai besok untuk mendapatkan jawaban itu.Mobilnya berhenti di basement apartemen Reymond. Tempat itu terasa begitu sunyi, terlalu kontras dengan gejolak yang ia rasakan. Ia menyiapkan dirinya, men
Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah Kiara bayangkan. Setelah seharian berperan sebagai fotografer dadakan, kini ia duduk di depan laptop dengan napas berat, membuka situs penjualan barang-barang bekas branded yang selama ini hanya ia lihat tanpa pernah terpikir akan ia gunakan.Mata dan hatinya terasa perih setiap kali menyeret gambar tas atau sepatu ke dalam kolom unggah. Setiap barang yang ia ketik harganya, seolah menampar realita: barang-barang ini bukan kekayaan, melainkan lambang dari kebodohan dan ketidakpedulian. Namun, di tengah getirnya kenyataan, ada sedikit rasa lega yang menyelinap di dada. Untuk pertama kalinya, Kiara melakukan sesuatu bukan demi mereka, tapi demi dirinya sendiri.Ia ingin terbebas dari jerat yang selama ini tak terlihat—bukan hanya jerat hutang, tapi jerat batin karena terus menerus dijadikan “penanggung jawab” untuk kesalahan dua orang yang mengaku sebagai keluarganya. "Ok, selesai!" Satu kali tekan
Pagi itu, kekhawatiran kembali menyelimuti hari-hari Kiara.Setiap detik terasa berat, seolah ia sedang menyeret batu besar yang menekan seluruh tubuhnya. Hutang yang kian mendekati jatuh tempo menghantui pikirannya tanpa henti.Ia menatap meja makan yang kosong. Tak ada aroma masakan hangat, tak ada gelak tawa yang seharusnya mengiringi paginya. Hanya keheningan yang menggantung, memantulkan isi hatinya yang kacau dan penuh tekanan. Piring-piring tersusun rapi di rak, namun perutnya bahkan tak sanggup menerima sesuap makanan pun.Kepalanya terasa berat. Masalah datang bertubi-tubi, seperti ribuan batu yang menghantam tanpa memberi jeda. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan sesak yang mencengkeram dada. Tapi udara pagi pun terasa menekan, seolah ikut menambah beban yang tak kunjung reda.Pikirannya berputar tanpa henti—mencari jalan keluar, mencari secercah harapan. Namun semakin dicari, semakin terasa sempit. Setiap detik berjalan seperti langka
“Diego. Apa yang kamu lakukan di sini?” Nada suara Kiara terdengar kaget antara percaya dan tak percaya. Kehadiran lelaki itu benar-benar di luar dugaannya. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Diego di tempat itu—lelaki yang selama ini berusaha ia hapus dari kehidupannya, setidaknya begitu yang ia coba lakukan. Namun Diego sama sekali tidak menanggapi pertanyaannya. Tatapannya tajam, penuh tekanan. Tanpa berkata banyak, tangan berotot itu menarik pergelangan tangan Kiara kasar. Kiara berusaha melepaskan diri, menepis genggaman itu berkali-kali, tapi usahanya sia-sia. Tenaganya kalah oleh tarikan kuat Diego yang membawanya ke mobil.Begitu pintu tertutup, Diego menekan tubuh Kiara ke kursi penumpang. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga napas panas lelaki itu terasa di telinganya. “Sepertinya hari ini kamu sangat bahagia setelah bertemu dengannya,” ucap ucap Diego datar. Nada suaranya dingin, membuat bulu kuduk Kiara berdiri. Keningnya berkerut, mencoba memahami siapa







