Rasa gelisah menjalar pelan seperti kabut dingin yang menyusup ke tulang. Aku mendesah panjang, mataku menatap lurus ke arah ponsel yang kini diam membisu setelah menyampaikan ancaman yang membakar dada. Dunia terasa mengecil, menyempit oleh tekanan yang datang dari segala arah—keluarga, perasaan bersalah dan kesendirian yang seolah tak berujung. Aku berdiri perlahan, menapaki lantai dengan langkah pelan menuju jendela apartemen. Dari balik kaca bening itu, lampu-lampu kota masih menyala terang, seolah tak peduli pada kekacauan batinku. Setitik harapan menyelinap di antara kepingan hati yang rapuh. Pasti ada cara untuk keluar dari ini semua kesulitan tanpa kehilangan diriku sendiri. Telepon itu masih dalam genggaman. Pesan itu belum aku hapus. Walau sering mendapatkan pesan seperti ini setiap kali tak mampu memenuhi, tetap saja aku masih merasa tak nyaman. Tapi sampai kapan aku akan terus mendapatkan perlakuan seperti ini? Kupilih untuk mengabaikan pesan tersebut. Memblokir satu
Tak pernah terbayangkan dalam mimpi sekalipun untuk menjadi duri dalam pernikahan orang lain. Namun nyatanya takdir membawaku pada lorong gelap yang tak tahu kemana ujungnya. Kesalahan satu malam kini mulai perlahan mengubah hidupku. Apa yang harus aku lakukan agar bisa terhindar dari masalah rumit yang ingin membelitku. "Dari sekian banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus suami temanku sendiri? Kenapa Tuhan? Aku mohon, biarkan semuanya berlalu begitu saja. Sepertinya setelah ini lebih baik aku tak perlu bertemu dengan mereka lagi." Mobil yang kukendarai melaju dengan cepat membelah keheningan malam dengan pikiran yang semakin kusut. Angin malam yang berhembus membelai pipi putihku. Ada lubang kekosongan yang kian melebar. Aku tak memiliki siapa pun untuk tempatku mengadu, bahkan ibu yang dianggap rumah bukanlah tempatku untuk berpulang walau hanya sekedar merebahkan kepala untuk mengusir penat. Sesampainya di apartemen aku merebahkan tubuhku ke atas sofa. Tubuhku teras
Anggi tersenyum, dia tentu tak menyadari perubahan yang tiba-tiba menguasai atmosfer. "Sayang, ini Kiara, sahabatku sejak SMA." Pria itu diam sejenak, lalu mengulurkan tangannya. "Diego." ucapnya singkat. Aku menatap tangan itu, ragu sebelum akhirnya menyambutnya. Kulitnya dingin, genggamannya kuat. Seolah bukan sekadar salam perkenalan, tapi lebih dari itu. Sementara tatapan matanya yang tajam mengartikan sesuatu yang sulit kupahami. Rasa cemas pun mulai menyergap hatiku. Aku cepat melepaskan tautan tangan kami dan dengan canggung mempersilakannya duduk seolah kami berdua tak pernah bertemu sebelumnya. Pelayan menghampiri kami dan mencatat pesannya, kemudian pergi dan kembali lagi dalam waktu beberapa menit. Selama waktu itu kesunyian pun menyapa diantara kami berdua, kecuali Anggi yang terus mengajakku bercerita. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis. Kehadiran lelaki berkulit coklat itu menghantamku seperti gelombang yang tak terduga. Diego Navarro. Nama yang seharusnya
Pernah tidak kalian mendengar ada yang bilang, lebih baik capek badan daripada capek otak? Capek badan bisa hilang saat dibawa istirahat, tetapi capek otak mau tidur 24 jam sekalipun tak mampu membuat hilang sakit di kepala. Itulah yang tengah aku alami pagi ini. Suasana pagi yang cerah tetapi tubuhku terasa loyo tak bertenaga. Diego Navarro, usia yang mendekati expired ditambah tuntutan uang 500 juta kini berputar-putar di dalam otakku. Pagi yang cerah seharusnya membawa ketenangan, tetapi di dalam kepalaku, badai pikiran berputar-putar tanpa henti. Diego Navarro—sosok yang ingin kulupakan dan angka 500 juta yang menggantung seperti pedang di atas kepala. Aku menarik napas, mencoba mengabaikan rasa berat di dada. Jalanan mulai ramai, suara kendaraan dan langkah kaki bercampur menjadi latar belakang yang samar. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kebisingan dalam pikiranku sendiri. Aku kembali terduduk di ruangan kecil di mana layar datar yang menjadi titik fokusku saat ini. Berm
Aku menarik napas cepat, rasa lelahku berganti waspada. Mama jarang berbicara dengan nada seperti itu dan jika beliau sampai menunggu di apartemen tanpa memberi tahuku sebelumnya, berarti ada sesuatu yang diinginkannya dariku. Aku melangkah mendekat, menyisir kekacauan dengan tatapan sinis. Nara, seperti biasa, bersikap santai seolah tak peduli. Mungkin karena aku terlalu memanjakannya hingga tak ada lagi rasa hormatnya terhadapku. "Mama mau bicara apa?" tanyaku dingin. Tubuhku menuntut istirahat, tetapi bagaimana aku bisa tenang dengan keberadaan mereka? Sejak kuliah, aku memilih tinggal sendiri demi ketenangan. Rumah yang seharusnya memberi rasa nyaman hanya dipenuhi oleh teriakan dan makian yang membekas dalam ingatan. Setelah perpisahan Mama dan Papa, hidupku dibebankan dengan tanggung jawab yang tiada habisnya. "Mama butuh uang lima ratus juta untuk bisnis yang menjanjikan." Aku tersentak. Lagi-lagi uang. Seperti jalangkung yang datang tanpa diundang dan pulang tanpa pamit
Aku merasa akhir-akhir ini Dewi kesialan tengah mengutukku. Setelah kabur seperti seorang buronan dari dekapan lelaki asing yang memiliki pikiran gila, kini aku dihadapkan dengan dua orang wanita yang menyebalkan. "Gila, tampan banget. Aku tidak menyangka lelaki setampan dan semuda ini sudah memiliki perusahaan besar." "Aku penasaran dia sudah punya istri atau belum, ya?" "Jangan mimpi, banyak wanita yang mengincarnya dan kamu gak mungkin ada dalam urutan itu?" "Kalau aku nggak, apalagi kamu. Aku rasa dari segi penampilan dan juga karier aku lebih unggul darimu." Kupingku terasa berdenging mendengar percakapan dua wanita yang ujung-ujungnya berakhir pada sebuah pertengkaran. Dan sialnya dua wanita itulah yang harus kuhadapi setiap hari. Kutahan napas, berusaha meredam dorongan untuk menutup telinga dengan kedua tangan. Sejujurnya, aku masih sulit menerima kenyataan bahwa setiap hari harus berbagi ruang dengan Intan dan Violita—dua wanita yang lebih sering beradu ego daripada bek