Share

OK bab. 5

last update Last Updated: 2025-06-14 10:34:43

Anggi tersenyum, dia tentu tak menyadari perubahan yang tiba-tiba menguasai atmosfer. "Sayang, ini Kiara, sahabatku sejak SMA."

Pria itu diam sejenak, lalu mengulurkan tangannya. "Diego." ucapnya singkat.

Aku menatap tangan itu, ragu sebelum akhirnya menyambutnya. Kulitnya dingin, genggamannya kuat. Seolah bukan sekadar salam perkenalan, tapi lebih dari itu. Sementara tatapan matanya yang tajam mengartikan sesuatu yang sulit kupahami. Rasa cemas pun mulai menyergap hatiku.

Aku cepat melepaskan tautan tangan kami dan dengan canggung mempersilakannya duduk seolah kami berdua tak pernah bertemu sebelumnya.

Pelayan menghampiri kami dan mencatat pesannya, kemudian pergi dan kembali lagi dalam waktu beberapa menit. Selama waktu itu kesunyian pun menyapa diantara kami berdua, kecuali Anggi yang terus mengajakku bercerita.

Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis. Kehadiran lelaki berkulit coklat itu menghantamku seperti gelombang yang tak terduga. Diego Navarro. Nama yang seharusnya hanya berputar di pikiranku kini berdiri nyata di hadapanku sebagai suami sahabatku sendiri.

Aku mencoba mengatur napas, mengendalikan ekspresi, tetapi aku tahu mata Diego mengamati setiap gerak-gerikku. Anggi tetap tersenyum, tidak menyadari ketegangan yang menjalar di udara di antara kami.

"Ternyata kamu lebih cantik dari yang Anggi ceritakan." Diego akhirnya bersuara, nada suaranya tenang namun menyimpan sesuatu yang tak terucapkan.

Aku memaksakan senyum kecil. "Terima kasih, tetapi sepertinya kamu salah. Wanita yang ada di sampingmu itu yang jauh lebih cantik."

Anggi tersenyum malu mendengar sanjunganku. Ah, sungguh polos sekali teman masa laluku ini.

Diego tidak langsung menjawab. Matanya tak beranjak dari wajahku, seolah membaca setiap hal yang ingin kusembunyikan. Sementara itu, wanita manis di hadapanku ini tampak tersenyum menatap suaminya sekilas dengan binar mata yang terang. Namun lelaki di sebelahnya tak bergeming.

Anggi begitu antusias, ia mulai berbicara tentang kenangan masa SMA kami. Tentang hal-hal konyol yang sering kami lakukan serta kebiasaan yang tak pernah kami lewatkan. Kenangan yang begitu indah saat hidup tanpa beban.

Aku hanya duduk mendengarkan ceritanya sembari sesekali tersenyum canggung. Andai tak ada Diego di antara kami, mungkin aku sudah menimpali dengan canda tawa yang membuat pertemuan kami menjadi lebih seru dan menyenangkan.

"Apa kamu tahu sayang, Kiara ini dulu banyak banget yang suka saat sekolah. Hampir semua teman satu sekolah pernah menembaknya. Tapi kini dia justru lebih betah menyendiri dan menikmati kejombloannya," oceh Anggi tiada henti.

Diego mengangkat sebelah alis tebalnya, sorot matanya tetap tak berubah—tajam dan penuh evaluasi. Aku bisa merasakan tatapannya menelusuri ekspresiku, mencari sesuatu yang mungkin ingin ia ketahui.

Aku tersenyum kecil, mencoba menyusun respons yang tidak akan memicu kecurigaan. "Anggi berlebihan seperti biasa," jawabku ringan, memainkan jemariku di atas cangkir kopi. "Aku hanya fokus pada pekerjaan."

Anggi tertawa kecil. "Tapi tetap saja, aku yakin kamu punya banyak penggemar, Kiara!"

Diego menyesap kopinya perlahan, lalu menempatkan cangkirnya di atas meja tanpa suara.

"Bukankah wajar jika bunga yang sedang mekar dengan indah mengundang banyak kumbang yang datang. Tetapi hanya ada satu kumbang yang menjadi pemiliknya," ucapnya pelan, seolah membalas ocehan Anggi. Tetapi aku tahu, kata-katanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam.

Aku mengangguk ringan, berusaha tetap terlihat santai. "Ya, ada seseorang yang sedang dekat denganku dan jika ada jodoh mungkin kami akan menikah."

"Jangan lupa ngundang aku ya! Aku pasti akan datang, iya kan sayang?"

Anggi merangkul manja lengan suaminya.

Diego diam tak menjawab kecuali tatapan matanya yang semakin tajam menusuk, membuatku semakin tak nyaman.

Aku melirik benda kecil yang ada di pergelangan tanganku sekilas. "Kebetulan hari ini aku masih ada janji dengan keluarga di rumah. Lain kali kita kumpul dan berbincang lagi, Gi."

Anggi bergegas mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya dan langsung menyodorkan padaku.

"Ini nomor ponselku, nanti kamu hubungi aku di sini dan jangan lupa masukkan nomorku di grub WeChat-mu ya!"

"Tentu saja. Sampai jumpa lagi lain kali," balasku yang tak lupa meletakkan kartu nama tersebut ke dalam tas. Aku pun beranjak begitu saja tanpa berpamitan pada sosok yang duduk di sebelahnya.

Saat aku melangkah keluar dari kafe, udara malam menyapu wajahku, memberiku sejenak kelegaan dari ketegangan yang baru saja menguasai ruangan. Aku menarik napas dalam, mencoba meredam gejolak yang berkecamuk di dadaku. Tapi belum sempat aku melangkah lebih jauh, suara langkah cepat menggema di belakangku.

"Kiara."

Aku membeku. Suara itu—tegas, rendah dan tak menyisakan ruang untuk menghindar.

Perlahan, aku berbalik. Diego berdiri di sana, matanya gelap dan tajam meneliti setiap ekspresiku.

"Kau ingin pergi begitu saja?" Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu di baliknya. Sesuatu yang nyaris menghantam tembok pertahananku.

Aku mengangkat dagu sedikit, mencoba mengukir ekspresi tenang. "Aku sudah berpamitan pada Anggi."

Diego melangkah mendekat dan dengan setiap langkahnya, udara di sekelilingku semakin menegang.

"Tapi tidak padaku," ucapnya.

Jantungku berdebar. Aku menekan jemariku ke tali tas yang kugenggam erat, mencari pegangan di tengah ketidaknyamanan yang tiba-tiba merayapi tubuhku. Bahkan jauh dari pada itu kepanikan kini menghantam perasaanku. Mataku melirik jauh ke belakang, takut sosok wanita yang baru saja berbincang denganku tadi memergoki keberadaan kami.

"Aku rasa itu tidak perlu," sahutku pelan, namun mataku tetap menatapnya, menolak untuk mundur. Berharap di dalam hati agar waktu untuk saat ini segera berlalu dengan cepat.

Diego menyeringai samar, seolah menemukan sesuatu yang menghiburnya dalam jawaban dan sikapku. "Kau benar. Kau tidak perlu. Tapi kau juga tidak perlu berpura-pura kita tidak pernah bertemu sebelumnya."

Aku menggigit bibir bawahku, mencari kata-kata yang tepat. Tapi sebelum aku bisa merespons, ia melangkah semakin dekat hingga menyisakan sedikit jarak di antara kami, kemudian kembali bicara dan kali ini lebih pelan, lebih tajam.

"Jadi, Kiara. Apa kau sungguh berpikir kita bisa mengabaikan apa yang telah terjadi malam itu?"

Aku merasakan tubuhku menegang. Angin malam membawa aroma kopi yang masih tercium dari mulutnya, tapi dingin yang merayapi tengkukku berasal dari sosok di depanku dan bukan dari cuaca.

Diego Navarro. Lelaki yang seharusnya terkubur dalam kenangan, kini berdiri nyata di hadapanku, mempertanyakan hal yang seharusnya tidak pernah diucapkan lagi.

"Jangan berpikir kau bisa lari dariku."

Aku membeku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Orang ketiga.   OK bab. 7

    Rasa gelisah menjalar pelan seperti kabut dingin yang menyusup ke tulang. Aku mendesah panjang, mataku menatap lurus ke arah ponsel yang kini diam membisu setelah menyampaikan ancaman yang membakar dada. Dunia terasa mengecil, menyempit oleh tekanan yang datang dari segala arah—keluarga, perasaan bersalah dan kesendirian yang seolah tak berujung. Aku berdiri perlahan, menapaki lantai dengan langkah pelan menuju jendela apartemen. Dari balik kaca bening itu, lampu-lampu kota masih menyala terang, seolah tak peduli pada kekacauan batinku. Setitik harapan menyelinap di antara kepingan hati yang rapuh. Pasti ada cara untuk keluar dari ini semua kesulitan tanpa kehilangan diriku sendiri. Telepon itu masih dalam genggaman. Pesan itu belum aku hapus. Walau sering mendapatkan pesan seperti ini setiap kali tak mampu memenuhi, tetap saja aku masih merasa tak nyaman. Tapi sampai kapan aku akan terus mendapatkan perlakuan seperti ini? Kupilih untuk mengabaikan pesan tersebut. Memblokir satu

  • Orang ketiga.   OK bab. 6

    Tak pernah terbayangkan dalam mimpi sekalipun untuk menjadi duri dalam pernikahan orang lain. Namun nyatanya takdir membawaku pada lorong gelap yang tak tahu kemana ujungnya. Kesalahan satu malam kini mulai perlahan mengubah hidupku. Apa yang harus aku lakukan agar bisa terhindar dari masalah rumit yang ingin membelitku. "Dari sekian banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus suami temanku sendiri? Kenapa Tuhan? Aku mohon, biarkan semuanya berlalu begitu saja. Sepertinya setelah ini lebih baik aku tak perlu bertemu dengan mereka lagi." Mobil yang kukendarai melaju dengan cepat membelah keheningan malam dengan pikiran yang semakin kusut. Angin malam yang berhembus membelai pipi putihku. Ada lubang kekosongan yang kian melebar. Aku tak memiliki siapa pun untuk tempatku mengadu, bahkan ibu yang dianggap rumah bukanlah tempatku untuk berpulang walau hanya sekedar merebahkan kepala untuk mengusir penat. Sesampainya di apartemen aku merebahkan tubuhku ke atas sofa. Tubuhku teras

  • Orang ketiga.   OK bab. 5

    Anggi tersenyum, dia tentu tak menyadari perubahan yang tiba-tiba menguasai atmosfer. "Sayang, ini Kiara, sahabatku sejak SMA." Pria itu diam sejenak, lalu mengulurkan tangannya. "Diego." ucapnya singkat. Aku menatap tangan itu, ragu sebelum akhirnya menyambutnya. Kulitnya dingin, genggamannya kuat. Seolah bukan sekadar salam perkenalan, tapi lebih dari itu. Sementara tatapan matanya yang tajam mengartikan sesuatu yang sulit kupahami. Rasa cemas pun mulai menyergap hatiku. Aku cepat melepaskan tautan tangan kami dan dengan canggung mempersilakannya duduk seolah kami berdua tak pernah bertemu sebelumnya. Pelayan menghampiri kami dan mencatat pesannya, kemudian pergi dan kembali lagi dalam waktu beberapa menit. Selama waktu itu kesunyian pun menyapa diantara kami berdua, kecuali Anggi yang terus mengajakku bercerita. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis. Kehadiran lelaki berkulit coklat itu menghantamku seperti gelombang yang tak terduga. Diego Navarro. Nama yang seharusnya

  • Orang ketiga.   OK bab. 4

    Pernah tidak kalian mendengar ada yang bilang, lebih baik capek badan daripada capek otak? Capek badan bisa hilang saat dibawa istirahat, tetapi capek otak mau tidur 24 jam sekalipun tak mampu membuat hilang sakit di kepala. Itulah yang tengah aku alami pagi ini. Suasana pagi yang cerah tetapi tubuhku terasa loyo tak bertenaga. Diego Navarro, usia yang mendekati expired ditambah tuntutan uang 500 juta kini berputar-putar di dalam otakku. Pagi yang cerah seharusnya membawa ketenangan, tetapi di dalam kepalaku, badai pikiran berputar-putar tanpa henti. Diego Navarro—sosok yang ingin kulupakan dan angka 500 juta yang menggantung seperti pedang di atas kepala. Aku menarik napas, mencoba mengabaikan rasa berat di dada. Jalanan mulai ramai, suara kendaraan dan langkah kaki bercampur menjadi latar belakang yang samar. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kebisingan dalam pikiranku sendiri. Aku kembali terduduk di ruangan kecil di mana layar datar yang menjadi titik fokusku saat ini. Berm

  • Orang ketiga.   OK bab. 3

    Aku menarik napas cepat, rasa lelahku berganti waspada. Mama jarang berbicara dengan nada seperti itu dan jika beliau sampai menunggu di apartemen tanpa memberi tahuku sebelumnya, berarti ada sesuatu yang diinginkannya dariku. Aku melangkah mendekat, menyisir kekacauan dengan tatapan sinis. Nara, seperti biasa, bersikap santai seolah tak peduli. Mungkin karena aku terlalu memanjakannya hingga tak ada lagi rasa hormatnya terhadapku. "Mama mau bicara apa?" tanyaku dingin. Tubuhku menuntut istirahat, tetapi bagaimana aku bisa tenang dengan keberadaan mereka? Sejak kuliah, aku memilih tinggal sendiri demi ketenangan. Rumah yang seharusnya memberi rasa nyaman hanya dipenuhi oleh teriakan dan makian yang membekas dalam ingatan. Setelah perpisahan Mama dan Papa, hidupku dibebankan dengan tanggung jawab yang tiada habisnya. "Mama butuh uang lima ratus juta untuk bisnis yang menjanjikan." Aku tersentak. Lagi-lagi uang. Seperti jalangkung yang datang tanpa diundang dan pulang tanpa pamit

  • Orang ketiga.   OK bab. 2

    Aku merasa akhir-akhir ini Dewi kesialan tengah mengutukku. Setelah kabur seperti seorang buronan dari dekapan lelaki asing yang memiliki pikiran gila, kini aku dihadapkan dengan dua orang wanita yang menyebalkan. "Gila, tampan banget. Aku tidak menyangka lelaki setampan dan semuda ini sudah memiliki perusahaan besar." "Aku penasaran dia sudah punya istri atau belum, ya?" "Jangan mimpi, banyak wanita yang mengincarnya dan kamu gak mungkin ada dalam urutan itu?" "Kalau aku nggak, apalagi kamu. Aku rasa dari segi penampilan dan juga karier aku lebih unggul darimu." Kupingku terasa berdenging mendengar percakapan dua wanita yang ujung-ujungnya berakhir pada sebuah pertengkaran. Dan sialnya dua wanita itulah yang harus kuhadapi setiap hari. Kutahan napas, berusaha meredam dorongan untuk menutup telinga dengan kedua tangan. Sejujurnya, aku masih sulit menerima kenyataan bahwa setiap hari harus berbagi ruang dengan Intan dan Violita—dua wanita yang lebih sering beradu ego daripada bek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status