Share

OK bab. 5

last update Last Updated: 2025-06-14 10:34:43

Anggi tersenyum. Wanita manis itu tak menyadari perubahan yang tiba-tiba menguasai atmosfer. "Sayang, ini Kiara, sahabatku sejak SMA."

Tangannya merangkul manja lengan lelaki yang ia perkenalkan sebagai suami. Berbeda dengan wajah Anggi yang sumringah. Lelaki itu justru diam sejenak, kemudian mengulurkan tangannya dengan senyum tipis penuh makna.

"Diego."

Kiara menatap tangan itu ragu sebelum akhirnya menyambutnya. Genggaman tangan Diego begitu kuat membawa perasaan tak nyaman di hatinya.

Seolah salam perkenalan itu bukanlah salam perkenalan biasa. Sementara tatapan matanya yang tajam mengartikan sesuatu yang sulit ia pahami. Rasa cemas pun mulai menyergap hatinya.

Cepat-cepat Kiara melepaskan tautan tangan mereka dan dengan canggung mempersilakan duduk seolah mereka berdua tak pernah bertemu sebelumnya.

Pelayan menghampiri dan mencatat pesan, kemudian pergi dan kembali lagi dalam waktu beberapa menit. Seakan memberi ruang bagi Kiara untuk mengatur deru jantungnya yang terus berpacu cepat.

"Kebetulan sekali kita bertiga bisa bertemu di sini, aku jadi bisa kenalin kamu sama suami aku, Ki."

Kiara hanya membalasnya dengan senyum tipis. Kehadiran lelaki berkulit coklat itu membuat suasana yang sempat mencari menjadi terasa begitu menegangkan.

Kiara merasa tak leluasa untuk bercengkrama dengan temannya di tambah tatapan mata Diego yang terlihat tajam mengamati setiap gerak-geriknya.

ia mulai berbicara tentang kenangan masa SMA kami. . Kenangan yang begitu indah saat hidup tanpa beban.

Anggi Anggi begitu antusias, menceritakan banyak hal tentang persahabatan mereka pada masa SMA. Tentang hal-hal konyol yang sering kami lakukan serta kebiasaan yang tak pernah kami lewatkan pada suaminya tanpa menyadari perubahan suasana di sekitarnya.

"Ternyata kamu lebih cantik dari yang sering Anggi ceritakan." Diego akhirnya bersuara membuka percakapan, nada suaranya tenang namun menyimpan sesuatu yang tak terucapkan.

"Terima kasih, tetapi sepertinya kamu salah. Wanita yang ada di sampingmu itu yang jauh lebih cantik." Kiara memaksakan senyum kecil agar tak menimbulkan kecurigaan. Apa yang telah terjadi di antara mereka ia anggap hanya sebagai kesalahan kecil yang harus segera di lupakan.

"Mulutmu itu memang manis seperti dulu, Ki." Anggi tersenyum malu mendengar sanjungan sahabatnya.

"Ah, sungguh polos sekali teman masa laluku ini," ucap Kiara di dalam hati. Entah itu sebuah pujian atau mungkin ejekan. Tapi yang pasti, saat ini dirinya ingin segera pergi dari tempat tersebut.

Hampir setengah jam dirinya hanya duduk mendengarkan cerita Anggi sembari sesekali tersenyum canggung. Ia sudah berusaha untuk pamit pergi, namun Anggi yang keras kelapa terus saja membujuknya hingga ia tak bisa pergi.

Andai tak ada Diego di antara mereka, mungkin ia sudah menimpali percakapan mereka dengan canda tawa yang membuat pertemuan mereka menjadi lebih seru dan menyenangkan.

"Apa kamu tahu sayang, Kiara ini dulu banyak banget yang suka saat sekolah. Hampir semua teman satu sekolah pernah menembaknya. Tapi kini dia justru lebih betah menyendiri dan menikmati kejombloannya," oceh Anggi tiada henti.

Diego mengangkat alis tipisnya, sorot matanya tetap tak berubah—tajam dan penuh evaluasi. Kiara bisa merasakan tatapannya seakan membidik keningnya hingga menebus ke otak, seolah tengah mencari sesuatu yang mungkin ingin ia ketahui.

Kiara tersenyum kecil, mencoba menyusun respons yang tidak akan memicu kecurigaan. "Anggi berlebihan seperti biasa," jawabnya ringan seraya memainkan jemari di atas cangkir kopi. "Dulu aku tak setenar itu. Sekarang pun juga sama."

"Jangan merendah. Aku yakin kamu punya banyak penggemar, Kiara! Lelaki mana yang tidak menyukai wanita secantik ini, kecuali jika mereka buta," balas Anggi sembari tertawa.

Diego menyesap kopinya perlahan, lalu menempatkan cangkirnya di atas meja tanpa suara.

"Bukankah wajar jika bunga yang sedang mekar dengan indah mengundang banyak kumbang yang datang. Tetapi hanya ada satu kumbang yang menjadi pemiliknya," ucapnya pelan, seolah membalas ocehan Anggi. Tetapi Kiara tahu, kata-katanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam.

Kiara merasa pembahasan itu semakin menguliti kehidupannya. Ia juga tak berminat menjadi orang ketiga dalam hubungan rumah tangga orang lain.

"Ya, ada seseorang yang sedang dekat denganku dan jika ada jodoh mungkin kami akan menikah," ujarnya. Kiara sengaja berbohong demi menekankan pada Diego bahwa apa yang telah terjadi di antara mereka hanyalah kesalahan kecil yang tak perlu di ingat. Baik dirinya dan pria itu, mereka sudah memiliki pasangan masing-masing.

" Wah ... benar kah? Jangan lupa ngundang aku ya! Aku pasti akan datang." Anggi menatap pada suaminya. Tangannya merangkul manja, memamerkan kemesraan mereka. "iya kan, sayang?"

Diego diam tak menjawab kecuali tatapan matanya yang semakin tajam menusuk pada Kiara, seolah tak terima dengan ucapan wanita itu.

Kiara mengabaikan tatapan mata itu, ia beralih melirik benda kecil yang ada di pergelangan tangannya sekilas.

"Kebetulan hari ini aku masih ada janji dengan keluarga di rumah. Lain kali kita kumpul dan berbincang lagi, Gi."

Anggi bergegas mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya dan langsung menyodorkan padanya.

"Ini nomor ponselku, nanti kamu hubungi aku di sini dan jangan lupa masukkan nomorku di grub WeChat-mu ya!"

"Tentu saja. Sampai jumpa lagi kali,"

Kiara mengambil kartu nama itu dan langsung memasukkannya ke dalam tas, kemudian beranjak pergi tanpa menghiraukan sosok yang terus saja mencuri pandang padanya.

Saat melangkah keluar dari kafe, udara malam menyapu wajahnya, memberinya sejenak kelegaan dari sisa ketegangan yang baru saja menguasai ruangan. Kiara menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. mencoba melepas segala gejolak yang berkecamuk di dada. Tapi belum sempat ia melangkah lebih jauh, suara langkah cepat menggema di belakangnya.

"Kiara!"

Langkah kaki Kiara terhenti. Ia mengumpat di dalam hati mendapati suara dari sosok yang paling ingin ia hindari dan kini justru hadir kembali.

Perlahan, ia berbalik. Diego berdiri di sana, matanya gelap dan tajam.

"Kau ingin pergi begitu saja?" Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu di baliknya. Sesuatu yang nyaris menghantam tembok pertahananku.

Kiara melipat keningnya. "Aku sudah berpamitan pada Anggi."

Diego melangkah mendekat dan dengan setiap langkahnya, udara di sekeliling semakin menegang.

"Tapi tidak padaku."

Jantung Kiara berdebar. Ia menekan jemarinya ke tali tas yang ia genggam erat, mencari pegangan di tengah ketidaknyamanan yang kembali merayapi tubuhnya. Bahkan jauh dari pada itu kepanikan kini menghantam perasaannya.

Matanya melirik jauh ke belakang, takut sosok wanita yang baru saja berbincang dengannya tadi tiba-tiba muncul dan memergoki keberadaan mereka.

"Aku rasa itu tidak perlu," sahutnya pelan.

Diego menyeringai samar, seolah menemukan sesuatu yang menghiburnya dalam jawaban dan sikapku. "Kau benar. Kau tidak perlu. Tapi kau juga tidak perlu berpura-pura kita tidak pernah bertemu sebelumnya."

Wanita bermata indah itu menggigit bibir bawahnya. Otaknya mencari kata-kata yang tepat. Tapi sebelum ia bisa merespons, Diego mendekat hingga menyisakan sedikit jarak di antara mereka, kemudian kembali bicara dan kali ini lebih pelan, lebih tajam.

"Jadi, Kiara. Apa kau sungguh berpikir kita bisa mengabaikan apa yang telah terjadi malam itu?"

Kiara tersentak kaget dengan tubuh yang membatu.

"Apa maksudmu?"

"Jangan berpikir kau bisa lari dariku."

Seringai di sudut bibir Diego terbit yang membuat jantung Kiara semakin berdesir karena takut. Takut permainan yang hanya semalam menjadi apa yang berkobar membakarnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
diego kayaknya suka sama kiara
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Orang ketiga.   OK bab. 24

    Kiara tersenyum melihat sejumlah nominal uang masuk ke dalam saldo rekeningnya. Nominal yang cukup lumayan dari hasil penjualan beberapa barang mewah milik Ranti dan juga Nara. Ia akhirnya bisa melunasi seluruh hutang-hutang yang telah jatuh tempo itu dan bahkan mendapatkan kelebihan sebesar enam puluh juta. Baru saja dirinya bernapas lega, pintu apartemennya terbuka begitu saja. Kiara mendengus kasar melihat dua sosok yang tak ia lihat selama beberapa hari ini. "Bodoh, kenapa tidak kuubah sandinya," rutuknya pelan membodohi diri sendiri. Ranti dan Nara mendekat. Wajah mereka yang coklat kini sudah memerah dengan mata yang membesar. "Mama dan Nara sudah pulang? Bagaimana liburan kalian?" sapa Kiara berbasa-basi. Ia sudah letih seharian bekerja sehingga tak memiliki tenaga lagi untuk memulai pertengkaran malam ini. Nara menyeringai, tapi senyuman itu hanya bertahan sepersekian detik sebelum berubah menjadi tatapan tajam yang bisa menguliti siapa pun.

  • Orang ketiga.   OK bab. 23

    Hal paling menyenangkan di dunia ini? Hidup santai dan liburan. Titik. Koper penuh itu seharusnya berat, namun rasanya ringan di tangan Nara. Mungkin karena ia menyeretnya dengan hati yang masih dipenuhi sisa tawa dan hangatnya matahari Hawai. Langit siang begitu terang ketika Nara dan ibunya melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara. Roda koper mereka berderit pelan di atas lantai granit yang dingin—kadang terdengar gesekan, kadang hanya gema tawa mereka yang mengalahkan riuh para penumpang lain. Nara melirik Mamanya. Meski wajah sang ibu terlihat sedikit lusuh dan rambutnya kusut akibat tidur di pesawat, ada sesuatu yang memancar dari sorot matanya—semangat. Senyum itu belum benar-benar pergi sejak mereka mendarat. “Next time,” ujar Ranti sambil merapikan rambut dengan jari, “kita harus coba yang lebih ekstrem. Naik balon udara atau camping di gurun, gimana?” Nara sampai harus berhenti sejenak menarik koper karena tertawa. “Ma

  • Orang ketiga.   OK bab. 22

    Mobil Kiara melaju begitu cepat, membelah jalan raya malam yang terasa seperti jurang tak berujung. Langit kelam menggantung tanpa satu pun bintang yang menari. Tak ada rembulan yang biasanya menjadi teman perjalanan; malam itu hanya menyisakan pekat yang diam, seolah mengerti betapa sesaknya hati yang tengah Kiara bawa. Angin malam menerobos dari jendela yang sedikit terbuka, menghantam wajahnya, namun tak mampu menghapus hampa yang mengakar di dadanya.Sepanjang perjalanan, ucapan Julia terus berputar dalam kepalanya, seperti gema yang tak mau padam. Ada sakit hati yang menumpuk, yang belum sempat ia luapkan. Ia meninggalkan kafe dengan langkah mantap, tetapi hatinya kacau. Ada sesuatu yang harus ia pastikan, ada seseorang yang harus ia temui—dan ia tak bisa menunggu sampai besok untuk mendapatkan jawaban itu.Mobilnya berhenti di basement apartemen Reymond. Tempat itu terasa begitu sunyi, terlalu kontras dengan gejolak yang ia rasakan. Ia menyiapkan dirinya, men

  • Orang ketiga.   OK bab. 21

    Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah Kiara bayangkan. Setelah seharian berperan sebagai fotografer dadakan, kini ia duduk di depan laptop dengan napas berat, membuka situs penjualan barang-barang bekas branded yang selama ini hanya ia lihat tanpa pernah terpikir akan ia gunakan.Mata dan hatinya terasa perih setiap kali menyeret gambar tas atau sepatu ke dalam kolom unggah. Setiap barang yang ia ketik harganya, seolah menampar realita: barang-barang ini bukan kekayaan, melainkan lambang dari kebodohan dan ketidakpedulian. Namun, di tengah getirnya kenyataan, ada sedikit rasa lega yang menyelinap di dada. Untuk pertama kalinya, Kiara melakukan sesuatu bukan demi mereka, tapi demi dirinya sendiri.Ia ingin terbebas dari jerat yang selama ini tak terlihat—bukan hanya jerat hutang, tapi jerat batin karena terus menerus dijadikan “penanggung jawab” untuk kesalahan dua orang yang mengaku sebagai keluarganya. "Ok, selesai!" Satu kali tekan

  • Orang ketiga.   OK bab. 20

    Pagi itu, kekhawatiran kembali menyelimuti hari-hari Kiara.Setiap detik terasa berat, seolah ia sedang menyeret batu besar yang menekan seluruh tubuhnya. Hutang yang kian mendekati jatuh tempo menghantui pikirannya tanpa henti.Ia menatap meja makan yang kosong. Tak ada aroma masakan hangat, tak ada gelak tawa yang seharusnya mengiringi paginya. Hanya keheningan yang menggantung, memantulkan isi hatinya yang kacau dan penuh tekanan. Piring-piring tersusun rapi di rak, namun perutnya bahkan tak sanggup menerima sesuap makanan pun.Kepalanya terasa berat. Masalah datang bertubi-tubi, seperti ribuan batu yang menghantam tanpa memberi jeda. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan sesak yang mencengkeram dada. Tapi udara pagi pun terasa menekan, seolah ikut menambah beban yang tak kunjung reda.Pikirannya berputar tanpa henti—mencari jalan keluar, mencari secercah harapan. Namun semakin dicari, semakin terasa sempit. Setiap detik berjalan seperti langka

  • Orang ketiga.   OK bab. 19

    “Diego. Apa yang kamu lakukan di sini?” Nada suara Kiara terdengar kaget antara percaya dan tak percaya. Kehadiran lelaki itu benar-benar di luar dugaannya. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Diego di tempat itu—lelaki yang selama ini berusaha ia hapus dari kehidupannya, setidaknya begitu yang ia coba lakukan. Namun Diego sama sekali tidak menanggapi pertanyaannya. Tatapannya tajam, penuh tekanan. Tanpa berkata banyak, tangan berotot itu menarik pergelangan tangan Kiara kasar. Kiara berusaha melepaskan diri, menepis genggaman itu berkali-kali, tapi usahanya sia-sia. Tenaganya kalah oleh tarikan kuat Diego yang membawanya ke mobil.Begitu pintu tertutup, Diego menekan tubuh Kiara ke kursi penumpang. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga napas panas lelaki itu terasa di telinganya. “Sepertinya hari ini kamu sangat bahagia setelah bertemu dengannya,” ucap ucap Diego datar. Nada suaranya dingin, membuat bulu kuduk Kiara berdiri. Keningnya berkerut, mencoba memahami siapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status