Share

Our Promise
Our Promise
Penulis: Zanaka

Kehidupan Nana

Mikha Kirana, biasa disapa Nana, dibawa keluar oleh Bibi Mina dari kamar. Masih jelas terdengar keributan dari dalam kamar. Suara benda-benda berjatuhan dan suara kaca pecah.

Mata Nana berkaca-kaca saat ia berada tepat di depan pintu kamar ayahnya. Ia perlahan menyentuh pintu. Air mata mengalir saat mendengar kata-kata yang terucap oleh ayahnya.

"BRENGSEK KALIAN! KENAPA KALIAN MENGURUNGKU SEPERTI INI, HAH? AKU TIDAK GILA! BERIKAN MINUMANKU SEKARANG JUGA!"

Menyesakkan, mendengar kata-kata itu terucap dari satu-satunya tempat ia bergantung. Nana menyadari ini semua kesalahannya. Andai saja ia sudah dewasa. Andai saja selama ini ia tak menjadi beban bagi ayahnya. Andai saja ayahnya tak memiliki putri yang tak dapat diandalkan seperti dirinya.

"Nana, kau tak apa-apa? Kau bisa berangkat sekolah sekarang. Biarkan ayahmu menenangkan diri dulu!" ucap Bibi Mina lembut. Ia sembari mengelus surai hitam gadis yang berada di hadapannya itu.

Nana mengangguk. Ia tak bisa mengabaikan kewajibannya untuk tetap menuntuk ilmu.

"Titip ayah saya, Bi! Sore nanti saya langsung pulang setelah selesai bekerja paruh waktu."

Nana mencium punggung tangan tetangganya itu, sebelum ia berjalan ke luar rumah.

Bibi Mina melihat punggung Nana yang semakin menjauh.

"Tak seharusnya kau mengalami semua ini, Nak!"

Bibi Mina bersimpati atas gadis itu. Ibunya telah meninggal saat melahirkanya. Selama ini, gadis kecil itu hanya tinggal bersama ayahnya, dan beberapa bulan ini sikap ayahnya berubah.

Semuanya berawal dari dipecatnya Tuan Yudhi dari pekerjaan. Ia mengalami kecelakaan saat kerja, sehingga kakinya kini pincang. Tak ada yang mau mempekerjakan karena keterbatasannya itu. Ia jadi sering mabuk-mabukkan dan tak jarang melampiaskan semua amarahnya ke  putrinya, Mikha Kirana.

***

"Aku terperangkap di matamu. Setiap kali kulihat mata indahmu, di sana hanya ada bayangku. Bolehkah aku berharap jika kau terlahir untukku, Nana?"

Hening sejenak. Ucapan remaja lelaki itu tak mendapat respons apa pun dari lawan bicaranya. Dua remaja itu tengah berada di halaman belakang sekolah saat jam istirahat seperti ini.

"Aku akan berada selalu di sisimu. Kuharap kau hanya melihatku. Bisakah kau lakukan itu, Nana?" lanjut si remaja pria.

"Heh? Kalau aku melihat Juna terus di saat lagi jalan, bisa-bisa aku nabrak dong?" balas Nana.

"Astaga! Bukan seperti itu. Melihatku itu maksudnya aku ingin kau hanya melihatku sebagai pria satu-satunya untukmu. Mengerti?" 

Remaja yang dipanggil Juna menghembuskan napas kasar. Ia harus ekstra sabar menghadapi kekasihnya yang terlampau polos ini.

Remaja perempuan yang ada di hadapannya hanya mengangguk sekali. Tak biasanya kekasihnya itu bicara romantis. Bahkan, ketika anniversary jadian kemarin saja kekasihnya memberi hadiah panci bukannya bunga dan cokelat. Entah apa maksudnya.

"Jun?"

"Heum?"

"Kau menonton drama 'Sahabat Kekasih' kemarin?"

"Ahahaha tentu saja. Apa yang kau bicarakan, heh?"

"Hmm, pantas saja. Aku ingat ada adegan seperti itu di drama. Kau pasti mengutipnya ya, kan?" ucap Nana sembari tersenyum mengejek.

Juna tersentak sedikit. Ia tak menyangka saja, usahanya yang ingin terlihat romantis harus gagal seperti ini.

Juna menggaruk tengkuknya.

"Hehehe ketahuan, ya?"

Nana tertawa. Setidaknya, ketika berada bersama Juna, ia dapat melupakan sejenak tentang masalah yang ia hadapi. Meski hati sebenarnya rapuh, ia akan mencoba baik-baik saja di depan pemuda yang telah mencuri hatinya itu.

"Nana?"

"Hmm?"

"Ujian masuk universitas sebentar lagi, kau mengambil jurusan apa?" tanya Juna sembari menggenggam tangan Nana.

Daritadi Juna melihat keanehan pada diri kekasihnya itu. Walau Nana terlihat bahagia, tangannya yang dingin dan kadang gemetar tak dapat membohongi Juna. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan kekasihnya ini.

"Nana?"

Lagi, Juna memanggil kekasihnya saat ia tak mendapat respons dari tadi.

"Kirana?"

Hening. Yang terdengar hanya hembusan napas Nana berkali-kali.

"Mikha Kirana?"

"Ah, iya?" Nana setengah terlonjak mendengar nama panjangnya diucapkan Juna.

Jun hanya tersenyum lembut. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk menginterogasi kekasihnya. Ia menarik kepala Nana untuk bersandar di bahunya.

Nana mendongak sejenak, memandang Juna. Entah kenapa, matanya terasa perih saat ini. Seberapa pun ia mencoba untuk kuat, tapi tak dapat dipungkiri kalau saat ini ia butuh tempat bersandar.

Bahu Nana mulai bergetar. Isak tangis perlahan terdengar. Pada akhirnya Nana menangis sesenggukan di bahu Juna.

Juna tak mengucapkan apa-apa. Ia mengusap lembut lengan Nana, memberi kenyamanan pada gadis yang satu tahun lalu berstatus sebagai kekasihnya itu.

"Huks aku membenci diriku, Jun! Aku membenci diriku yang lemah ini hiks," ucap Nana di tengah isak tangisnya.

Juna semakin mengeratkan pelukannya pada Nana. Ia juga mengusap lembut kepala Nana yang masih berada di dadanya.

"Tidak apa, Nana. Kau boleh terlihat lemah saat bersamaku," ucap Juna lembut.

***

"Pencuri!! Bagaimana bisa kelas ini ada seorang pencuri?!"

"Enyah saja kau!!"

"Sampah masyarakat!"

"Tampang polosmu telah menyembunyikan kelakuan bejatmu!"

"Menjijikkan!"

Gunjingan-gunjingan keji telah dilontarkan oleh teman sekelas Nana.

Nana duduk di sudut ruang kelas. Tangisnya terdengar begitu memilukan. Tubuhnya gemetar. Pakaian ia kenakan kotor akibat serangan teman-temannya. Ada yang melempari Nana menggunakan sampah, buntalan kertas, kotak susu dan masih banyak lagi.

"HENTIKAN INI!!" seru seorang pemuda yang berada di ambang pintu. Adalah Juna yang saat ini datang dan menghampiri Nana di sudut ruangan.

Juna membantu Nana berdiri, dan membersihkan pakaian gadisnya.

"Kau tak apa?" tanya Juna, mengguncang pelan bahu Nana.

Nana mengangguk. Ia mengusap kasar air mata yang sedari tadi menghianatinya.

Sorot mata tajam Juna tertuju pada semua orang yang berada di kelas itu.

"APA-APAAN KALIAN INI, HAH? KELAKUAN KALIAN SEPERTI BERANDAL!" bentak Juna pada seisi kelas 3-F.

Salah seorang remaja pria yang mengecat rambutnya merah, maju ke depan. Ia mengunyah permen karet saat ini.

"Oho, ternyata ada seorang pahlawan kesiangan yang melindungi pencuri," ucapnya.

Saat berada tepat di depan Nana, pemuda itu meludahkan permen karetnya tepat mengenai pipi Nana.

"HEY! BERANINYA KAU!!"

Juna menarik kerah seragam pemuda tadi. Ia menonjok muka pemuda sok tampan itu beberapa kali.

"Sialan kau, Panji!" teriak Juna, masih terus meninju wajah Panji.

Panji tak melawan. Keributan itu baru berhenti saat seorang guru masuk ke ruangan itu. 

***

Nana dan Juna berada di ruang BP saat ini. Mereka diberi hukuman untuk menulis 'surat permohonan maaf' sebanyak 200 lembar.

Sedari tadi Nana hanya terdiam. Bahkan, berulang kali air matanya lolos dan jatuh ke kertas yang berada di hadapannya. Ia tak takut meski ia harus dimusuhi seluruh sekolah, yang ia takutkan hanya jika ayahnya benar-benar di panggil ke sekolahan.

Apa yang akan ia jelaskan atas fitnah yang saat ini menimpa? Bagaimana kalau setelah itu ayahnya semakin membenci dirinya? Bagaimana jika ayahnya sakit karena memikirkan masalah ini?

Membayangkannya saja sudah membuat hati Nana sesak.

"Nana?" panggil Juna.

"Iya?"

"Sekarang apa yang coba kau rencanakan, heh?"

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status