Share

Kedatangan Pengacau

Bibi Mina mendekat ke arah Nana yang masih tercenung di sudut ruangan. Ia menepuk pundak gadis itu. Ia benar-benar tak tega melihat gadis itu terpuruk. Mungkinkah kebahagiaan sama sekali tak ada dalam garis takdirnya?

Sadar tak mendapat respons apa pun, Bibi Mina duduk di hadapan gadis berambut sepunggung itu. Tatapan mata Nana kosong. Hanya ada kehampaan di sorot mata kuyunya. Ia tak meneteskan air mata lagi. Entah lelah, entah air matanya sudah mengering.

Bibi Mina tak tahan lagi, ia mengguncang pelan bahu Nana.

"Menangislah, Nana! Menangislah sekeras-kerasnya!"

Nana melihat sejenak tetangga yang sudah seperti kerabat itu. Bibirnya gemetar, detik berikutnya ia menangis sesenggukan. Bibi Mina membawa Nana ke dalam dekapannya.

"Kenapa ayaj tega meninggalkanku, Bibi? Apa dia sudah tak menyayangiku lagi, huhuhu?" Nana menangis tergugu di dalam rengkuhan Bibi Mina.

"Dia menyayangimu, Sayang. Sungguh menyayangimu lebih dari apapun di dunia." Wanita paruh baya itu terus mengusap lembut rambut panjang Nana. Ia memang tak memiliki anak. Jadi, ia sudah menganggap Nana sudah seperti putrinya sendiri.

Nana mengusap air matanya, kasar. Ia menarik wajahnya, dan menatap lekat mata lelaki tua itu.

"Lalu bagaimana denganku, Bibi? Apa yang akan aku lakukan setelah hiks ini?"

Bibi Mina menarik dagu Nana untuk menghadap ke arahnya. "Hiduplah dengan baik, Nak. Itulah yang diinginkan semua orang tua kepada anaknya."

Nana tak lagi menjawab. Ia memeluk Bibi Mina seolah tak ingin melepaskannya. Ia butuh tempat bersandar saat ini. Tidak peduli apakah wanita itu merasa risih atau tidak. Tapi, hanya Bibi Mina yang saat ini mau meminjamkan dada untuk tempat bersandar Nana.

Beberapa menit berlalu, Bibi Mina masih membiarkan Nana memeluk dan bersandar di dada wanita paruh baya itu. Bibi Mina terus mengusap lembut punggung Nana, memberi sedikit ketenangan.

BRAK!!

PRAAKK!!

Terdengar suara barang-barang berjatuhan di ruang tamu.

"Woy! Yudhi sialan! Keluar kau! Jangan bersembunyi!" Suara teriakan dari arah ruang tamu terdengar begitu nyaring.

Bibi Mina dan Nana terlonjak, tentu karena kaget. Mereka berlari ke luar untuk memeriksa siapa yang membuat keributan, saat rumah ini masih diselimuti duka yang mendalam.

Di ruang tamu, mereka melihat dua orang lelaki bertubuh kekar dan seorang pria berbaju rapi. Penampilan kedua lelaki di belakang pria berbaju rapi sungguh sangar. Tubuh mereka dipenuhi tato, rambut gimbal dan telinga bertindik. 

"Hey, Di mana Yudhi saat ini! Keluarlah, Sialan!" teriak mereka sambil mengobrak-abrik benda yang berada di ruang tamu rumah sederhana milik Nana.

"Keluarlah! Kembalikan uangku, Pengecut!" teriak pria yang memakai pakaian rapi.

"Yudhi pecundang!"

"Hentikan! Apa yang kalian lakukan di rumahku, hah?" bentak Nana. Ia sudah siap memukul orang-orang asing itu menggunakan sapu.

Lelaki berbaju rapi menyeringai. Ia berjalan menghampiri Nana.

"Kau ... hmm ... pasti kau putrinya Yudhi, ya kan? Ke mana dia sekarang, heum?"

"Jangan sebut nama ayahku seperti itu!"

Pria kekar yang berbaju hitam menyentuh rambut Nana. Ada seringaian menjijikkan yang ditampilkan oleh bibirnya yang bertindik.

"Ayahmu telah mengambil uangku, jadi kau harus membayarnya, Gadis Manis."

Nana segera menepis tangan pria mesum tadi, merasa jijik diperlakukan seperti itu.

"Apa di sini ada uang?"

Lelaki berjas tadi mengobrak-abrik lemari yang berada di ruang tengah.

"Berhenti kalian! Jangan mengacau di rumah orang!"

Bibi Mina ikut menahan ketiga lelaki sangar tadi agar tidak semakin menghancurkan isi rumah Nana.

Lelaki yang berbaju abu-abu menjambak kasar rambut Bibi Mina.

"Ini bukan urusanmu, Wanita Tua!"

"Aarrgghh!!" Lelaki tadi mengerang saat tangannya digigit oleh Nana hingga berdarah.

Temannya yang lain tak terima, mereka langsung mendorong Nana hingga jatuh terjerembap. Kening Nana terantuk dinding hingga meninggalkan bekas luka kemerahan yang kentara.

***

"Kalian menagih hutang pada bocah malam-malam begini, haj?!" bentak Detektif Keisuke. Lelaki tampan berdarah Jepang yang berambut coklat gelap. Ia menatap tajam tiga lelaki yang ia yakini sebagai rentenir itu.

"Kami hanya ingin mengambil uang kami, Pak Detektif," jawab lelaki berbaju rapi, namanya Reiner.

Di depannya, Detektif Rudi sedang mengetik semua laporan mereka.

"Bisa kita lihat kontrak tanda terima pinjamannya?"

"Untuk apa dilihat? Toh sama saja," jawab Reiner. Ia langsung dihadiahi tatapan mematikan oleh Keisuke, detektif berdarah Jepang tadi.

Reiner mengeluarkan selembar kertas dari balik jasnya.

Rudi membaca kontak perjanjian itu. Memang benar Tuan Yudhi sudah meminjam uang dalam jumlah yang banyak, dan ia menggunakan rumah yang saat ini Nana tinggali sebagai jaminan. Namun, ada yang disadari oleh Detektif Rudi.

"Tunggu! Kalian meminta bunga 40%? Itu menyalahi aturan hukum. Kalian bisa terkena masalah karena ini!" bentak Rudi.

Lelaki yang duduk di sebelah Reiner melirik sejenak ke arah Nana yang berada di samping kiri mereka. Ia menarik kasar rambut gadis itu.

"Kami hanya menagih pinjaman pokoknya. Hey! Cepat kembalikan uang kami!"

Duaagh!!

Detektif Keisuke langsung menojok lelaki yang baru saja menjambak Nana.

"JAGA SIKAPMU DI KANTOR POLISI, B*E**SEK!"

"Keisuke!" panggil sosok wanita yang baru saja memasuki kantor polisi.

Keisuke menoleh. Ia sama sekali tak menyangka jika ibunya akan datang ke sini tanpa pemberitahuan dahulu.

Mata Nyonya Sofia kini malah terfokus pada Nana yang sedari tadi duduk terdiam. Tatapan mata Nana kosong. 

"Oh Tuhan! Akhirnya aku menemukanmu, Nak! Tadi aku diberitahu oleh tetangga katanya kau ada di kantor polisi. Oh, tidak! Anakku, kenapa kau harus mengalami ini semua?"

Nyonya Sofia--ibu dari Detektif Keisuke--berucap sambil memeluk Nana. 

Nana masih diam membeku. Ia masih syok. Tadi pagi baru ia menguburkan jasad ayahnya, malamnya rumahnya diobrak-abrik oleh rentenir.

"Aku ingin kau menghukum seberat-beratnya orang yang menyakiti calon menantuku, Keisuke!" teriak Nyonya Sofia.

"APA??!" pekik Keisuke dan Nana bersamaan. Mereka saling berpandangan. 

Gadis itu langsung tersadar dari lamunan karena kalimat yang terlontar dari mulut Nyonya Sofia.

Nyonya Sofia menepuk bahu Keisuke dan Nana.

"Iya, Nak. Ibj sudah merencanakan perjodohan ini bersama Yudhi sejak lama. Kemarin kami juga membahasnya lagi, tapi aku begitu terkejut mendengar berita kematiannya sore tadi. Aku sama sekali tak menyangka bahwa kemarin adalah pertemuan terakhir kami."

Nyonya Sofia berucap. Matanya berkaca-kaca saat mengingat cinta pertamanya yang sebenarnya akan menjadi besan malah mati bunuh diri pagi ini.

Nana mengernyit. Ia bingung dan terkejut, terheran-heran dalam waktu yang bersamaan.

"Tuan! Sampai kapan kami akan meyaksiksan drama keluarga ini, hah? Apa kami boleh pulang?" sela Reiner di tengah kebingungan Keisuke dan Nana.

Keisuke mengecup kening ibunya. Susah memang kalau membantah keinginan orang tua, jadi ia lebih memilih pasrah.

"Ibu, dari pada Anda membuat ribut malam-malam di sini, sebaiknya Anda bawa saja gadis ini pulang dulu, ya?" Keisuke berucap lirih pada ibunya.

Nyonya Sofia meyetujui, ia mengajak Nana untuk pergi dengannya.

Reiner dan kedua rekannya beranjak

"Kita juga harus pergi!"

Namun, bahu mereka langsung ditahan oleh Detektif Keisuke.

"Mau ke mana kalian, hah? Duduk!" Keisuke menepuk kasar pundak Reiner. "Aku butuh nama kalian!"

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status