Mikha Kirana, biasa disapa Nana, dibawa keluar oleh Bibi Mina dari kamar. Masih jelas terdengar keributan dari dalam kamar. Suara benda-benda berjatuhan dan suara kaca pecah.Mata Nana berkaca-kaca saat ia berada tepat di depan pintu kamar ayahnya. Ia perlahan menyentuh pintu. Air mata mengalir saat mendengar kata-kata yang terucap oleh ayahnya."BRENGSEK KALIAN! KENAPA KALIAN MENGURUNGKU SEPERTI INI, HAH? AKU TIDAK GILA! BERIKAN MINUMANKU SEKARANG JUGA!"Menyesakkan, mendengar kata-kata itu terucap dari satu-satunya tempat ia bergantung. Nana menyadari ini semua kesalahannya. Andai saja ia sudah dewasa. Andai saja selama ini ia tak menjadi beban bagi ayahnya. Andai saja ayahnya tak memiliki putri yang tak dapat diandalkan seperti dirinya."Nana, kau tak apa-apa? Kau bisa berangkat sekolah sekarang. Biarkan ayahmu menenangkan diri dulu!" ucap Bibi Mina lembut. Ia sembari mengelus surai hitam gadis yang berada di hadapannya itu.Nana mengangguk. Ia tak b
"Nana?" panggil Juna."Iya?""Sekarang apa yang coba kau rencanakan, heh?"Nana mengernyit. Ia sama sekali tak mengerti arah pembicaraan kekasihnya, Juna, itu."Maksudnya?""Apa mencuri kini jadi hobi favoritmu, eum?" ucap Juna, sambil terus menulis hukumannya.Nana terdiam. Amarahnya membuncah. Ia bisa terima jika itu tuduhan dari orang lain, tapi jika tuduhan itu dari kekasihnya sendiri, ini sungguh sangat menyakitkan. Ia berkali-kali menghela napas untuk mengontrol emosi."Apa mencuri hatiku saja belum cukup bagimu?""Heeehhh?" Nana memekik, geram. Ia melempar penanya dan berhasil mendarat ke kening Juna. "Tidak lucu!" sungut Nana."Aakh!! Betapa kejamnya kau pada pria tampan sepertiku, hm?"Nana mengerucutkan bibirnya, mengabaikan keluhan dan ocehan Juna."Ahahaha tersenyumlah!" Juna menarik kedua sudut bibir Nana, membentuk sebuah senyuman. "Nah, begini kan bagus! Kau harus tersenyum jika ingin terlihat cantik, Nana
"Ada apa ibu memanggilku?" tanya Keisuke."Setelah lebih dari sebulan kau tak pulang, apa hanya itu yang ingin kau ucapkan, heum? Kau kasar sekali, Nak!"Keisuke tersenyum. Ia sangat tahu maksud ibunya ini. Ia mendekat ke arah ibu dan memeluknya.Menelusupkan kepala di antara ceruk leher ibunya. Ia sangat merindukan wanita ini. Pekerjaan sebagai detektif sudah menyita banyak waktunya selama ini."Jadi, apa sekarang sudah siap untuk menikah?" tanya sang ibu pada Keisuke.Takahasih Keisuke, pemuda keturunan Jepang-Indonesia itu merengut sebal setiap kali ibunya membicarakan tentang pernikahan."Aku akan menikah jika sudah waktunya, Ibu.""Kapan waktunya itu, Kei? Apa harus menunggu usiamu berkepala empat? Lihatlah para teman sebayamu! Mereka bahkan sudah memiliki anak berusia remaja. Pokoknya, ibu akan segera mengatur kencan butamu.""Baiklah, terserah pada ibu saja." Keisuke pasrah akan perintah ibunya. Lagipula, meski ia melak
Bibi Mina mendekat ke arah Nana yang masih tercenung di sudut ruangan. Ia menepuk pundak gadis itu. Ia benar-benar tak tega melihat gadis itu terpuruk. Mungkinkah kebahagiaan sama sekali tak ada dalam garis takdirnya?Sadar tak mendapat respons apa pun, Bibi Mina duduk di hadapan gadis berambut sepunggung itu. Tatapan mata Nana kosong. Hanya ada kehampaan di sorot mata kuyunya. Ia tak meneteskan air mata lagi. Entah lelah, entah air matanya sudah mengering.Bibi Mina tak tahan lagi, ia mengguncang pelan bahu Nana."Menangislah, Nana! Menangislah sekeras-kerasnya!"Nana melihat sejenak tetangga yang sudah seperti kerabat itu. Bibirnya gemetar, detik berikutnya ia menangis sesenggukan. Bibi Mina membawa Nana ke dalam dekapannya."Kenapa ayaj tega meninggalkanku, Bibi? Apa dia sudah tak menyayangiku lagi, huhuhu?" Nana menangis tergugu di dalam rengkuhan Bibi Mina."Dia menyayangimu, Sayang. Sungguh menyayangimu lebih dari apapun di dunia." Wanit
Juna membanting-banting ponsel, ia membentur-benturkan benda bersegi panjang itu ke atas bantal."Bodoh! Bodoh! Kenapa aku bisa seceroboh ini?" keluhnya sambil menenggelamkan kepala di antara bantal."Sampai kapan aku akan terbebas dari terror perempuan gila itu? Hasshh! Aku berharap dia mati mengenaskan," gumam Juna di sela-sela pergolakan batinnya.***Seorang gadis berseragam SMA berjalan seorang diri melewati jalan setapak. Ia menerima sebuah panggilan."Ah ... manis sekali~. Aku suka jika kau menurut seperti ini, Juna Sayang.""....""Kenapa? Kau coba mengancamku? Cih! Kau tahu 'kan apa yang bisa kuperbuat lebih dari yang kau kira.""....""Kau cukup menuruti saja perintahku, dan semuanya akan baik-baik saja."Ia terlalu fokus pada ponselnya, hingga ia tak menyadari ada sesosok makhluk yang mengawasinya dari tadi. Di sana. Di sudut gelap depan gerbang bangunan tua.Sosok itu semakin mendekat, dan