Share

Kehilangan Orang Terkasih

"Ada apa ibu memanggilku?" tanya Keisuke.

"Setelah lebih dari sebulan kau tak pulang, apa hanya itu yang ingin kau ucapkan, heum? Kau kasar sekali, Nak!"

Keisuke tersenyum. Ia sangat tahu maksud ibunya ini. Ia mendekat ke arah ibu dan memeluknya. 

Menelusupkan kepala di antara ceruk leher ibunya. Ia sangat merindukan wanita ini. Pekerjaan sebagai detektif sudah menyita banyak waktunya selama ini.

"Jadi, apa sekarang sudah siap untuk menikah?" tanya sang ibu pada Keisuke.

Takahasih Keisuke, pemuda keturunan Jepang-Indonesia itu merengut sebal setiap kali ibunya membicarakan tentang pernikahan. 

"Aku akan menikah jika sudah waktunya, Ibu."

"Kapan waktunya itu, Kei? Apa harus menunggu usiamu berkepala empat? Lihatlah para teman sebayamu! Mereka bahkan sudah memiliki anak berusia remaja. Pokoknya, ibu akan segera mengatur kencan butamu."

"Baiklah, terserah pada ibu saja." Keisuke pasrah akan perintah ibunya. Lagipula, meski ia melakukan kencan buta. Belum tentu ia akan mau menikah juga nantinya.

***

Dalam sehari seluruh kehidupan Nana telah berubah. Tak ada kebisingan. Tak ada suara-suara benda berjatuhan dan tak ada teriakan lagi di rumah sederhana ini. 

Seingat Nana tadi, tak ada yang berubah saat ia membuka mata tadi pagi. Semuanya seolah kembali ke beberapa bulan sebelumnya. Kehidupannya yang sangat bahagia bersama ayahnya.

Pagi tadi, ada yang aneh dengan Tuan Yudhi. Tak seperti biasanya, ia terlihat rapi dan tampan hari ini. Ia sibuk merapikan tatanan rambutnya di depan cermin. Mengagumi wajah tampannya yang masih terlihat menawan meskipun sudah berumur 40 tahun lebih.

"Ayah? Mau ke mana?" sapa Nana yang baru saja masuk ke kamar Tuan Yudhi.

Tuan Yudhi merapikan dasi kupu-kupunya. Ia berpose layaknya seorang model di hadapan putrinya.

"Bagaimana? Apa ayah terlihat 10 tahun lebih muda, heum?"

"Ahahaha," Nana tak dapat menahan tawanya, "Ayah lebih mirip pelayan kafe kalau seperti itu."

Tuan Yudhi mengerutkan kening. Ia kembali melihat pantulan dirinya di dalam cermin.

"Apa memang terlihat seperti pelayan?" gumamnya.

Nana menyadari ekspresi ayahnya yang berubah, ia jadi merasa bersalah. Didekatinya lelaki yang menjadi tempat ia bergantung itu. Ia membuka jas ayahnya, melepas dasi kupu-kupu dan melipat kemeja putih itu hingga ke siku.

"Begini lebih baik, Ayah."

"Baiklab! Ayah tinggal dulu, ya!" ucap Tuan Yudhi. Baru beberapa langkah, ia berjalan kembali ke arah Nana. Ia mengecup kening putrinya dengan penuh kasih sayang.

"Maafkan ayah, ya? Ayah berjanji akan berubah setelah ini. Selama beberapa bulan ini, ayah merasa bukan menjadi diri ayah sebenarnya. Semoga kau masih mau memaafkan ayah ya, Nana?"

Bibir Nana bergetar. Apa ini kenyataan? Rasanya Nana menemukan kembali sosok ayahnya.

"Seberapa sering pun ayah menyakiti Nana, selalu akan ada maaf untuk Ayah karena Ayah satu-satunya yang Nana miliki di dunia ini." Nana memeluk perut ayahnya. "Maaf juga, jika Nana tak bisa menjadi anak yang bisa diandalkan. Tetaplah menjadi Ayah yang seperti ini!"

Tuan Yudhi mengusap lembut kepala putrinya. Ia memandang foto wanita cantik yang terpajang di dinding kamar, foto mendiang istrinya.

"Maafkan ayah, Nana"

Nana membenci semua ucapan maaf. Untuk apa kata maaf jika pada akhirnya ia ditinggalkan sendiri seperti ini? Ia lebih senang ayahnya berbuat kasar saja. Setidaknya ia masih bisa melihat ayahnya setiap hari.

Nana memeluk bingkai foto ayahnya. Seberapa pun ia mencoba untuk tidak menangis, tapi air mata terus menghianatinya. Ia merindukan belaian. Belaian ibu dan ayahnya.

"Ibu, ayah ... kenapa kalian begitu kejam padaku?"

***

Saat orang yang kau cintai berubah, di saat itu juga kau kehilangan sesuatu yang berharga. Belum cukup sepertinya Tuhan mengambil satu-satunya keluarga Nana, kini Nana harus melihat dengan mata kepalanya sendiri penghianatan orang terkasih.

Nana melihat Juna jalan bersama teman sekelasnya, Rizka. Di dunia ini yang paling Nana benci adalah kesendirian dan penghianatan. Ia tak kan pernah memaafkan penghianatan dalam bentuk apapun.

Nana menarik kasar lengan Juna yang tengah berjalan dengan Rizka.

Juna tersentak kaget saat melihat kekasihnya, Nana. Apa memang benar dia Nana?

Penampilan gadis itu sungguh berantakan. Matanya sembab, bibirnya pucat, berjalan tanpa menggunakan alas kaki di panas yang terik seperti ini. Entah apa yang gadis ini lakukan di trotoar siang-siang seperti ini

"Na-na?" pekik Juna tergagap.

Sekian lama Nana memandang pemuda itu. Tak ada air mata. Air matanya terlalu berharga jika harus dikeluarkan demi pemuda pengkhianat seperti Juna.

Juna sekelebat melihat Rizka yang masih memegang sebelah lengannya. Pandangannya beralih lagi ke arah Nana.

"A-aku bisa menjelaskannya."

Nana menarik sudut kanan bibirnya. Jika ini adalah Kenkyo yang labil seperti dulu mungkin ia akan berteriak sambil memaki, "AKU INGIN PUTUS SAAT INI JUGA, ARJUNA! PENGKHIANAT!"

Namun, Nana menahan diri agar kata-kata kasar itu tak keluar dari bibir mungilnya. Ia melepas lengan Juna, mengibaskan kedua telapak tangannya seolah membersihkan debu-debu kotor.

Nana kembali menyeringai. Ia menunduk sambil berucap, "Semoga kalian hidup bahagia!"

Seusai itu ia berbalik dan berjalan santai, meninggalkan Juna dan Rizka yang masih tertegun.

***

Terhitung 3 hari setelah meninggalnya Tuan Yudhi. Yang dilakukan Nana hanyalah merenung seharian. Ia tak ingin makan, minum ataupun beraktifitas. Yang ia lakukan hanyalah duduk merenung di kamar sambil menghirup aroma pakaian ayahnya.

Prak!

Sebuah suara benda jatuh. Nana buru-buru berdiri dan berlari menuju kamar ayahnya. Langkahnya terhenti tepat di pintu kamar bercat coklat. Nana hendak memegang gagang pintu. Air matanya tiba-tiba mengalir.

"Aku tahu ayah pasti di dalam, kan? Ayah sedang tidur siang, kan?" Sejenak Nana mengusap air matanya. "Kumohon! Kumohon sekali saja! Sekali saja aku ingin bertemu ayah, Tuhan huks huks .... Aku bahkan belum kengucapkan aku begitu menyayanginya."

Nana membuka pintu, dan kosong. Kamar ini lebih dapi dari hari-hari sebelumnya. Nana terduduk lemas dan bersandar di dinding.

"Maafkan aku, Ayah. Aku tak pernah bisa membahagiakan Anda."

***

Bibi Mina, tetangga Nana, datang berkunjung ke rumah Nana. Ia membawa beberapa makanan. Rumah kecil Nana tak pernah dikunci, ia masih berharap ayahnya akan pulang seperti biasanya.

Bibi Mina melangkah ke arah kamar Nana. Ia mengetuk pintu dulu sebelum akhirnya membuka kamar perlahan karena tak ada sahutan dari dalam.

Terlihat Nana masih duduk tercenung di sudut ruangan. Ia memeluk erat foto ayahnya. Tak ingin melakukan apa pun. Pada akhirnya semua manusia akan mati. Jadi, kenapa ia harus susah-susah menjalani kehidupan yang sulit ini? Toh kehidupan yang kekal bukan di sini tempatnya.

"Jika reinkarnasi itu memang benar ada, aku ingin terlahir kembali sebagai putrimu, Ayah," gumam Nana yang samar-samar masih terdengar oleh Bibi Mina.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status