Dua hari setelah malam paling kelam dalam hidup Rengganis dan Druwenda, suasana kantor Wedhatama Group kembali seperti biasa setidaknya di permukaan. Karyawan lalu lalang, layar-layar komputer menyala, aroma kopi bercampur AC menyebar di ruang kerja mewah bergaya industrial minimalis itu. Tapi tidak bagi dua orang, Rengganis Prabakusuma dan Druwendra Wedhatama. Bagi mereka, waktu seperti berhenti di antara tembok kaca dan meja-meja kerja itu.
Dan di tengah semuanya, berdirilah Javindea, pria sempurna yang menjadi pusat gravitasi bagi Rengganis dan kini, tanpa ia tahu, juga pusat rasa bersalah terbesar dalam hidupnya. "Selamat pagi," sapanya lembut seperti biasa ketika ia masuk ke ruang kerja divisi kreatif. Rengganis sontak berdiri. Degup jantungnya kacau. Rambutnya sudah ia blow ringan, blazer putih bersih menutupi tubuh yang masih menyisakan nyeri samar. Tapi hatinya, hatinya masih berdarah. "Pagi Pak, Javin…" sapanya, bibirnya bergetar sedikit. Ia mencoba tersenyum, tapi ada tangis yang menggantung di pelupuk. "Hey, kamu nggak apa-apa? Wajahmu pucat banget lho, Nis." Javin mengernyit, menatap penuh perhatian. Ia melangkah mendekat. "Kamu sakit?" "Enggak, aku cuma… kurang tidur." “Kalau kamu nggak enak badan, kamu bisa izin, Ganis.” "Terima kasih Pak… Tapi aku baik-baik saja." Dari jauh, Dru mengamati percakapan itu dengan rahang mengeras. Ia bersandar di kusen kaca ruangan direksi dengan tangan menyilangkan dada, menatap diam-diam. Entah mengapa, sejak malam itu, amarahnya terhadap Rengganis justru berubah menjadi kekacauan batin. Ia membencinya—ya, ia mengakuinya. Tapi mengapa hatinya berdesir melihat air muka wanita itu berubah? Mengapa ia merasa kesal melihat Rengganis masih bisa tersenyum pada Javindra seolah tak terjadi apa-apa? Karena Javindra tak tahu apa-apa. Masih polos. Masih dengan mudahnya mempercayai semua orang yanpa tahu bahwa wanita yang dicintainya telah tidur dengan adiknya sendiri. “Shit…” desis Dru di bawah napasnya. “Why I must see her?” desis Druwendra pada dirinya sendiri, namun tak mampu memalingkan pandangan. Di dalam ruangan, Javin masih berdiri dekat Rengganis. Tangannya menyentuh punggung wanita itu dengan lembut. "Nis, tentang makan malam kita kemarin? I'm so sorry? Aku mabuk dan tiba-tiba udah di mansion aja." Tubuh Rengganis menegang. "Mas Javin… aku…" "Ada apa, Nis? Are you ok?" "Aku cuma ngerasa bersalah..." Javindra tersenyum. "Bersalah kenapa? Kamu kerja keras, kamu punya dedikasi, bahkan kadang kamu lebih tahu jalan pikiranku daripada aku sendiri." Rengganis nyaris menangis. Kalimat itu menusuk layaknya belati. Ia merasa seperti iblis yang menyamar di hadapan malaikat. Ia ingin berteriak. Dan dari arah pintu, Druwendra masuk. Aura dingin langsung menyapu ruangan. “Mas,” sapa Dru dengan suara datar. “Oh, Dru!” Javin menyambut hangat. “Jarang-jarang kamu mampir ke divisi kreatif pagi-pagi begini. Ada yang bisa Mas bantu?” Tatapan Dru menyambar ke arah Rengganis yang langsung menunduk. “Gak ada. Cuma pengen liat-liat suasana.” Jawab Dru sambil tersenyum tipis. Javin menepuk bahu adiknya. “Mas senang akhirnya kamu mau terlibat sedikit-sedikit di sisi branding perusahaan. Siapa tahu bisa bantuin Ganis juga. Dia kelihatan lagi banyak tekanan, tolong dibantu ya Dru.” “Oh ya?” Dru menatap lurus ke arah Rengganis, senyumnya sinis. “Ya mungkin karena akhir-akhir ini dia terlalu banyak main drama, Mas” Rengganis menegang. Javindra tertawa, tak mengerti maksud kata-kata Dru. “Hahaha. Drama? What do you talking about, Dru? Ganis ini penyelamat kita di proyek rebranding kemarin lho.” “Yah, semoga bukan penyebab kita jatuh juga ya nanti,” sahut Dru ringan, tapi nadanya mengandung racun. Rengganis melangkah mundur. Hatinya mulai remuk kembali. Ia tak tahan lagi. Suara tawa Javindra yang tulus, dikombinasikan dengan sindiran Dru, membuatnya ingin menghilang dari dunia. "Aku permisi ke toilet," gumamnya, buru-buru berjalan keluar sebelum air matanya tumpah. Begitu pintu tertutup, Javin memandang ke arah Dru. “Dru, apa kamu ada masalah sama Ganis?” Dru mengangkat alis. “Kenapa Mas tanya gitu?” “Karena mas ngerasa kamu sinis sekali barusan.” Dru menoleh, kali ini sorot matanya tajam. “Mas beneran gak ngerasa ada yang aneh sama dia?” “Ganis?” “Mas tau dia cinta mati sama mas, Javin. Tapi mas nggak tahu dia bisa aja nyeleneh. Mas terlalu percaya sama semua orang.” “Hmmm, jangan asal ngomong, Dru. Ganis bukan tipe wanita seperti itu.” Javin mulai terlihat kesal. Dru tertawa pelan, lalu berkata dengan nada penuh sindiran, “Tunggu aja, Mas. Kadang yang terlihat paling bersinar, adalah yang paling busuk di dalam.” Javin memicingkan mata. “Kalau kamu tahu sesuatu, katakan sekarang.” Dru menggeleng. “Kamu belum siap mendengar kebenaran, Mas Javin.” Di dalam toilet wanita, Rengganis terduduk di lantai marmer dingin, wajahnya tersembunyi di antara lututnya yang tertekuk. Ia tak peduli pada make up yang luntur atau rambut yang acak-acakan. Ia merasa seperti monster. “Aku gak bisa… aku gak bisa terus kayak gini…” isaknya tertahan. Suara hatinya terus berteriak untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Javin! Javin berhak tahu! Tapi bagaimana bisa? Bagaimana ia bisa menghancurkan hati pria sebaik itu? Rengganis meraih ponselnya. Jari-jarinya gemetar. Ia menulis pesan: Tapi jari telunjuknya tak kunjung menekan tombol kirim. Sore harinya, rapat besar digelar. Semua kepala divisi duduk di ruangan kaca besar. Javindra duduk sebagai pimpinan. Rengganis duduk di kanan, sementara Dru yang biasanya enggan ikut rapat seperti ini, duduk santai di sudut ruangan, kaki disilangkan, tatapan tajam mengarah pada Rengganis. Rapat berjalan biasa. Tapi ketegangan di antara mereka bertiga terasa seperti bom waktu. Hingga akhirnya, saat semua orang beranjak keluar, Javin berkata, “Dru, Ganis, kalian bisa tinggal sebentar? Saya ingin bicara.” Dru menyandarkan punggung dan mengangguk. Rengganis menelan ludah, dadanya terasa seperti ditekan. “Ada apa Pak?” tanya Rengganis dengan suara serak. Javin menatap keduanya bergantian. “Aku merasa ada yang aneh akhir-akhir ini. Kamu, Ganis, kelihatan kacau. Dru juga sinis sekali, Apa yang terjadi?” Rengganis hampir saja bicara, tapi Dru mendahului. “Serius pengen tahu?” Javin menoleh. “Tentu. Katakan.” Dru berdiri. “Kamu tahu kenapa dua hari lalu Ganis gak ngabarin lagi? Padahal kalian janjian dinner?” “Dia bilang dia pusing…” “Oh ya? Karena dia pusing atau karena... Dia mabuk parah dan...?” Petir seakan menyambar ruangan. Rengganis tertegun. Air matanya jatuh seketika. Ia tak menyangka Dru menutupi kejadian dengannya. “Dru…” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara. Javindra menatap mereka berdua dengan wajah bingung. Matanya berkaca-kaca, mulutnya terbuka tapi tak ada kata yang keluar. “Aku bisa jelaskan…” ucap Rengganis. “Sure, Please?” tanya Javindra. Suaranya retak. “Kamu juga mabuk? terus...?” “Bukan begitu… bukan seperti yang Mas pikir…” “Lantas?” Javin mengangkat tangannya membelai lembut wajah Ganis. Perlakuan Javin memang selalu lembut dan manis dan itulah yang membuat Rengganis semakin merasa bersalah. "Ganis??" tanyanya sekali lagi karena tak kunjung mendapat penjelasan. "Oke... maaf Mas? sebenarnya malam itu saya juga mabuk parah dan dibantu Tuan Dru." "Oh... Syukurlah, jadi yang kamu maksud drama itu adalah drama mabuk Rengganis, Dru?" tangan Javin mengusap-usap pipi Rengganis yang masih tegang oleh kebohongannya sendiri. "Hmm" Dru tersenyum kecut dan berlalu meninggalkan mereka berdua. Dia tampak sangat kesal, bisa-bisanya Rengganis membawa namanya hingga seolah Dru menjadi seorang penyelamat padahal sebenarnya mereka berdua telah melakukan penghianatan kepada Javin. ~TBC~Suara pintu kamar Dru menutup pelan. Rengganis berdiri mematung di dekatnya, kedua tangannya gemetar, menggenggam erat lengan sweater lusuh yang tadi sempat ia tarik asal dari gantungan.Dru tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap sekilas, lalu berjalan ke meja kecil di pojok kamar, membuka jendela sedikit agar udara malam masuk. Dingin. Tapi ia tahu perempuan di belakangnya lebih beku dari cuaca di luar sana.Rengganis menghela napas panjang, mencoba mengatur detak jantungnya yang terasa kacau. Tubuhnya lelah. Bukan sekadar karena hari yang panjang, tapi karena hatinya sudah nyaris mati rasa."Aku boleh di sini?" suaranya nyaris hilang, pelan sekali.Dru tidak menjawab. Hanya anggukan kecil, nyaris tak terlihat. Lalu ia menarik kursi ke dekat jendela, duduk membelakangi Ganis, matanya menatap kosong ke luar. Malam begitu sunyi. Hanya sesekali suara kendaraan dari jalan besar terdengar sayup.Rengganis berdiri di tempatnya, menatap punggung Dru. Ragu. Ingin bicara, tapi kata-kata hany
Rengganis berdiri terpaku di ruang tengah rumah keluarga Wedhatama, memeluk buku catatan kecil yang biasanya ia pakai untuk mencatat agenda kerja Javin. Tapi hari ini, kertas-kertas itu dipenuhi dengan daftar vendor catering, nama desainer kebaya, dan referensi tema pernikahan.Pernikahan Javin.Dan ia... sekretaris yang dipercaya mengoordinasi semuanya."Kamu cekkan ke Panji ya, Ganis," titah Nyonya Wedhatama sambil menunjuk brosur undangan yang ada di tangannya. "Kita tetap mau gaya klasik modern. Tapi tolong lihat juga pilihan kertasnya, jangan yang terlalu tipis.""Baik, Nyonya," jawab Rengganis lirih."Dan jangan lupa, reservasi tempat buat siraman calon pengantin. Kita mau yang ada kolam ikan itu, di Cipete.""Dicatat, Nyonya."Dari sudut ruangan, Javin berdiri dengan tangan di saku celana. Ia memperhatikan semua ini dalam diam, sesekali mencuri pandang ke arah Rengganis. Tapi tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Mereka sekarang hanya dua orang asing yang pura-pura pro
Dru duduk sendirian di ruang tamu rumah kontrakan mereka. Lampu sudah dimatikan sejak satu jam lalu, tapi matanya masih terbuka. Rengganis sudah masuk kamar lebih dulu tanpa sepatah kata pun, sejak kejadian di mobil tadi. Ia tak menolak ciumannya, tapi juga tak berkata apa-apa setelahnya.Itu membuat segalanya terasa menggantung seperti jembatan yang retak tapi belum runtuh.Dru meneguk teh dingin yang sudah hambar, lalu membuka ponselnya. Jarinya membuka galeri, dan berhenti di satu folder: Mira.Senyumnya menyakitkan, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu."Jangan pernah jatuh cinta terlalu dalam, Dru. Karena kalau orang itu pergi, kamu akan kehilangan seluruh warna dunia."Kata-kata Mira dulu terasa berlebihan. Tapi saat perempuan itu benar-benar pergi tanpa peringatan, tanpa kesempatan mengucapkan selamat tinggal hingga hidup Dru memang berubah jadi abu-abu.Mira adalah cinta pertamanya. Perempuan yang dia kira akan menjadi akhir dari perjalanannya. Mereka bertemu di London saat D
Hujan deras mengetuk atap restoran bintang lima di bilangan Jakarta Selatan. Lampu-lampu kristal berpendar hangat, membuat ruangan seolah ingin memeluk siapa pun yang sedang terluka. Tapi bagi Rengganis, ruangan itu adalah ruang interogasi berbalut elegansi. Ia duduk di seberang Javin dengan tangan mengepal di pangkuan. "How are you Mas Javin?" bisiknya pelan. "Kenapa kamu tiba-tiba ngajak makan malam?" Javin tak menjawab langsung. Tatapannya tajam namun terluka, seakan sedang mencari jejak seseorang yang ia kenal dalam diri perempuan di depannya. "I'm fine... I just wanna talk cause i miss you." Ia tersenyum kecil. "Udah lama kita nggak benar-benar bicara. Kamu berubah, Ganis." Rengganis menggigit bibir. Ia sudah menyiapkan puluhan jawaban palsu, tapi semua lenyap begitu saja saat melihat wajah Javin yang tulus. "Berubah gimana?" tanyanya sambil menghindari tatapan. "Kamu menghindar dari aku. Pandanganmu penuh rasa bersalah. Dan kamu… kamu jadi sering sama Dru." Nama itu
Tatapan Javin tak bisa lepas dari sosok Rengganis yang keluar dari ruang meeting. Ada kegugupan yang tidak biasa di wajah perempuan itu. Dan itu membuatnya tidak tenang. Sudah dua minggu belakangan, sikap Rengganis berubah. Ia lebih pendiam, lebih tertutup. Bahkan, sesekali seperti menghindari kontak mata dengannya. Javin awalnya mengira itu hanya efek dari beban kerja atau kelelahan. Tapi sekarang… dia tidak yakin lagi. Apalagi sejak Dru kembali ke Jakarta dan “secara kebetulan” ikut masuk ke perusahaan keluarga mereka sebagai bagian dari tim merger dan akuisisi. Dru—Druwenda Wedhatama—adiknya sendiri. Adik kandung yang sudah dua tahun lebih tak pernah tinggal satu kota dengannya. Adik yang sejak dulu dikenal misterius dan jauh. Sekarang, tiba-tiba menjadi terlalu dekat dengan Rengganis. Terlalu dekat. Rengganis berjalan cepat menuju ruang kerjanya. Napasnya tak beraturan, bukan karena lelah, tapi karena ia tahu seseorang memperhatikannya. Javin. Tadi saat meeting, tatapan pria
Langit Jakarta tak pernah benar-benar gelap. Lampu-lampu kota menyala tak tahu waktu, sama seperti hati Rengganis yang kini tak lagi tahu harus memihak siapa. Sudah dua minggu sejak kepulangannya dari Bali—tempat di mana statusnya sebagai istri pria asing bernama Druwenda diikrarkan secara sah, meski hanya berdua, meski tanpa restu, meski tanpa cinta.Ia duduk di meja kecil apartemen Dru yang kini ditinggali mereka berdua, Ia mencoba menyelesaikan laporan mingguan untuk Javin. Tangannya menari di atas keyboard, tapi pikirannya hanyut. Nama Javin tertera jelas di bagian penerima laporan, tapi rasanya seperti menulis untuk seseorang yang hidup di masa lalu."Jangan telat meeting besok," pesan singkat dari Javin masuk ke ponselnya. Singkat. Formal. Tidak seperti biasanya.Dulu, sebelum semuanya berubah, Javin akan menelepon hanya untuk menanyakan apakah Rengganis sudah makan. Sekarang, hubungan mereka tinggal serpihan yang menyakitkan. Dan Rengganis memilih untuk membiarkannya hancur per