Siang itu, Bianca dan Lucca telah tiba di Bandara El Prat, Barcelona. Mereka akan terbang menggunakan jet pribadi (milik Lucca) menuju Pulau Ibiza di Kepulauan Balearic. Perjalanan memakan waktu sekitar 55 menit dari Bandara El Prat ke Bandara Ibiza, yang terletak di barat daya Kota Ibiza.Tujuan mereka jelas: menghadiri pesta tahunan eksklusif bagi para Godfather—pertemuan bergengsi yang mempertemukan para bos mafia dari seluruh dunia. Acara ini menjadi ajang pamer kekuasaan dan pencapaian masing-masing Godfather. Dua nama yang paling dinantikan kehadirannya adalah Lucca Vincenze dan Niccolo Morelli, Godfather dari Italia Selatan.Keduanya sudah melegenda. Tak ada yang berani menyentuh mereka, kecuali musuh-musuh tertentu yang nekat.“Kau harus menikmati liburan ini, Bianca,” ucap Lucca ketika ia sudah berada di dalam jet pribadinya.“Aku tahu.”Lucca sedikit bingung mendengar jawaban Bianca. Memang sejak pagi tadi, Bianca tampak murung dan cenderung cuek padanya. Ia tak tahu apa yan
Angin laut dari kejauhan berhembus pelan, mengibaskan helaian rambut Bianca yang tergerai indah. Ia dan Lucca masih berdiri di dekat kolam renang hotel, di bawah langit Barcelona yang penuh bintang. Lampu-lampu kota menyala, menciptakan suasana hangat dan intim.“Aku tidak tahu ternyata kau bisa berdansa juga,” ucap Bianca, matanya menatap Lucca sambil menyentuh sedikit ujung gaunnya yang melambai.Lucca menyeringai kecil. “Ada banyak hal tentangku yang belum kau ketahui, Bianca. Tapi aku dengan senang hati akan menunjukkannya satu per satu.”Bianca menahan tawa kecilnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah kolam renang. “Kadang aku berpikir, kau ini seperti dua orang yang berbeda. Yang satu Lucca Vincenze, si mafia keras kepala dan berbahaya, dan yang satu lagi... Lucca yang bahkan bisa membuatku merasa aman.”“Dan diantara keduanya, mana yang sedang bersamamu malam ini?” bisik Lucca, mendekat, membuat jarak di antara mereka menipis kembali.Bianca tak langsung menjawab. Ada jeda sing
Pagi hari, Bianca dan Lucca sudah berada di dalam jet pribadi milik Lucca. Jet mewah itu bersih, luas, dan dilapisi interior bernuansa beige keemasan. Di bagian tengah terdapat meja kaca, dua sofa panjang empuk, serta bar kecil di sisi kanan. Dua pengawal duduk di belakang kabin, menjaga jarak. Seorang pramugari muda menawari mereka minuman hangat dengan senyum sopan.Bianca duduk di dekat jendela, melihat gugusan awan dan pegunungan Alpen kecil di kejauhan. Lucca duduk di seberangnya, satu kakinya dilipat, tangannya memegang gelas wine.“Lucca, kenapa kau mengajakku pergi lebih awal ke Barcelona?” tanya Bianca, menatap Lucca.Lucca menatap Bianca dengan senyuman hangat. Pesonanya mampu menghipnotis siapapun yang melihatnya—ditambah dengan setelan coat hitam dan kacamata hitamnya.Bianca hanya mendesah pelan—mengalihkan pandangannya lagi ke arah jendela jet pribadi itu.“Bukankah sudah kukatakan akan mengajakmu liburan?” Lucca mulai berbicara dengan kaki menyilang dan tatapan yang lur
Keesokan harinya, Bianca tampak sibuk dengan lemari pakaian di kamarnya. Di hadapannya, beberapa gaun tergantung rapi. Warna-warna lembut seperti biru safir, merah marun, hingga hitam klasik membuat matanya sibuk menilai. Sesekali ia menyentuh bahan sutra, kadang menarik bagian lengan atau rok untuk memastikan potongannya sesuai tubuhnya.Bianca menggigit ujung kukunya pelan. Ia menatap pantulan dirinya di cermin.“Aku ini bukan siapa-siapa. Wanita-wanita di sana pasti seperti ratu-ratu mafia yang tahu cara bersikap anggun, bahkan saat memegang pistol,” gumamnya pelan.Bianca tampak tenang dengan lamunannya sendiri. Namun, ketenangan itu lenyap secepat petir menyambar saat pintu kamar terbuka begitu saja—tanpa ketukan, tanpa aba-aba.“Lucca!” seru Bianca spontan, matanya melebar. “Berapa kali aku harus bilang, jangan masuk ke kamarku tanpa—”“—izin?” potong Lucca dengan senyum setengah nakal, setengah... mematikan.Pria itu berjalan masuk, seolah kamar Bianca adalah tempat singgah. Du
Langit di atas Danau Como berubah menjadi gradasi jingga dan emas, memantul di permukaan air yang tenang. Kapal-kapal kecil berderet di tepi dermaga kayu, bergoyang pelan diterpa arus lembut.Lucca dan Bianca berjalan berdampingan, langkah mereka tenang namun tak sepenuhnya tanpa beban. Bianca melepas alas kakinya, membiarkan jari-jari kakinya menyentuh permukaan kayu yang hangat tersinari matahari sore.“Danau ini… sangat tenang,” gumam Bianca sambil memandang ke ujung horizon. “Aku tidak menyangka, tempat yang kau sebut ‘rumah’ bisa seasri ini.”Lucca meliriknya dari samping. “Tenang di luar, tapi kacau di dalam. Seperti aku.”Bianca mendesah pelan, lalu duduk di ujung dermaga, kakinya menggantung di atas air. “Kau memang sangat kacau. Bahkan waktu diam pun, rasanya seperti ada ledakan yang ditahan.”Lucca ikut duduk di sampingnya, membiarkan bahunya bersandar ringan ke bahu Bianca, tanpa benar-benar menyentuh.“Waktu kecil, aku selalu bersembunyi di sini setiap kali Ayah memaksaku
Cahaya matahari pagi menyinari ruang makan dengan lembut, menyusup melalui jendela kaca lebar yang menghadap langsung ke Danau Como. Meja panjang dari kayu itu dipenuhi roti tawar, selai aprikot buatan rumah, keju pecorino segar, dan dua cangkir kopi yang masih mengepul.Bianca duduk dengan kaki menyilang, mengenakan dress casual warna zaitun yang sederhana tapi anggun. Rambutnya sudah dikeringkan dan dikuncir rendah. Ia mengunyah rotinya perlahan, berusaha menghindari suara langkah yang semakin mendekat dari arah tangga.“Pagi yang sangat... menggoda, bukan?” Suara itu datang dari ambang pintu.Bianca langsung menegakkan punggungnya. Ia tak menoleh, hanya menolehkan mata, seperti berusaha mengabaikan pria tinggi dengan kemeja putih yang kancing atasnya sengaja dibuka.“Pagi yang biasa saja, menurutku. Kecuali kau merasa dunia mulai berputar setelah kau terbangun dari tidurmu,” balas Bianca, dingin.Lucca tersenyu