Keesokan harinya, Bianca tampak sibuk dengan lemari pakaian di kamarnya. Di hadapannya, beberapa gaun tergantung rapi. Warna-warna lembut seperti biru safir, merah marun, hingga hitam klasik membuat matanya sibuk menilai. Sesekali ia menyentuh bahan sutra, kadang menarik bagian lengan atau rok untuk memastikan potongannya sesuai tubuhnya.Bianca menggigit ujung kukunya pelan. Ia menatap pantulan dirinya di cermin.“Aku ini bukan siapa-siapa. Wanita-wanita di sana pasti seperti ratu-ratu mafia yang tahu cara bersikap anggun, bahkan saat memegang pistol,” gumamnya pelan.Bianca tampak tenang dengan lamunannya sendiri. Namun, ketenangan itu lenyap secepat petir menyambar saat pintu kamar terbuka begitu saja—tanpa ketukan, tanpa aba-aba.“Lucca!” seru Bianca spontan, matanya melebar. “Berapa kali aku harus bilang, jangan masuk ke kamarku tanpa—”“—izin?” potong Lucca dengan senyum setengah nakal, setengah... mematikan.Pria itu berjalan masuk, seolah kamar Bianca adalah tempat singgah. Du
Langit di atas Danau Como berubah menjadi gradasi jingga dan emas, memantul di permukaan air yang tenang. Kapal-kapal kecil berderet di tepi dermaga kayu, bergoyang pelan diterpa arus lembut.Lucca dan Bianca berjalan berdampingan, langkah mereka tenang namun tak sepenuhnya tanpa beban. Bianca melepas alas kakinya, membiarkan jari-jari kakinya menyentuh permukaan kayu yang hangat tersinari matahari sore.“Danau ini… sangat tenang,” gumam Bianca sambil memandang ke ujung horizon. “Aku tidak menyangka, tempat yang kau sebut ‘rumah’ bisa seasri ini.”Lucca meliriknya dari samping. “Tenang di luar, tapi kacau di dalam. Seperti aku.”Bianca mendesah pelan, lalu duduk di ujung dermaga, kakinya menggantung di atas air. “Kau memang sangat kacau. Bahkan waktu diam pun, rasanya seperti ada ledakan yang ditahan.”Lucca ikut duduk di sampingnya, membiarkan bahunya bersandar ringan ke bahu Bianca, tanpa benar-benar menyentuh.“Waktu kecil, aku selalu bersembunyi di sini setiap kali Ayah memaksaku
Cahaya matahari pagi menyinari ruang makan dengan lembut, menyusup melalui jendela kaca lebar yang menghadap langsung ke Danau Como. Meja panjang dari kayu itu dipenuhi roti tawar, selai aprikot buatan rumah, keju pecorino segar, dan dua cangkir kopi yang masih mengepul.Bianca duduk dengan kaki menyilang, mengenakan dress casual warna zaitun yang sederhana tapi anggun. Rambutnya sudah dikeringkan dan dikuncir rendah. Ia mengunyah rotinya perlahan, berusaha menghindari suara langkah yang semakin mendekat dari arah tangga.“Pagi yang sangat... menggoda, bukan?” Suara itu datang dari ambang pintu.Bianca langsung menegakkan punggungnya. Ia tak menoleh, hanya menolehkan mata, seperti berusaha mengabaikan pria tinggi dengan kemeja putih yang kancing atasnya sengaja dibuka.“Pagi yang biasa saja, menurutku. Kecuali kau merasa dunia mulai berputar setelah kau terbangun dari tidurmu,” balas Bianca, dingin.Lucca tersenyu
Lampu-lampu temaram menyinari ruang utama villa bergaya Renaissance itu. Tirai linen putih berayun pelan diterpa angin dari balkon terbuka yang menghadap langsung ke Danau Como yang membiru dalam gelap. Semilir udara musim panas membawa aroma pinus, bercampur lembut dengan wangi tubuh Bianca yang masih basah setelah mandi.Bianca berdiri di depan jendela besar, hanya mengenakan gaun tidur satin selembut hembusan angin, warna gading pucat yang nyaris menyatu dengan kulitnya. Rambut panjangnya masih meneteskan air, menjuntai di bahunya seperti helai-helai emas gelap.Dari belakang, suara pintu terbuka perlahan.Ceklek.Langkah sepatu kulit terdengar tenang, mantap… mengancam.“Aku sudah bilang untuk tidak masuk ke kamarku tanpa izin, kan?” ucap Bianca pelan, tanpa menoleh.Langkah itu berhenti hanya sehelai napas darinya. Napas pria itu hangat di tengkuknya.“Aku tidak pernah butuh izin darimu, Bianca Costanza.” Suara Lucca terdengar serak dan rendah, seperti desir petir yang tak jadi m
Langit sore menggantung muram di atas villa pribadi milik keluarga Vincenze yang tersembunyi di kawasan Danau Como, di Lierna. Hujan tipis mulai turun, menggurat jendela kaca besar seperti air mata yang malu-malu mengalir.Di dalam kamar yang didekorasi hangat, Bianca duduk di pinggir ranjang dengan selimut menutupi kakinya. Pipi kirinya masih memar, tapi rona kemerahan di pipi kanan justru muncul karena sesuatu yang lain—bukan luka, melainkan gugup. Lucca sengaja membawanya ke villa itu agar terhindar dari jangkauan musuh lama keluarga Vincenze.Pintu kayu terbuka pelan. Suara langkah sepatu kulit menghentikan degup jantungnya sejenak. Ia tahu itu Lucca, bahkan sebelum pria itu muncul dari balik pintu. Ada wangi khas yang selalu menyertainya—sedikit aroma mint dan vanilla.“Bagaimana lukamu?” tanya Lucca dengan suara rendah.Bianca menoleh pelan. “Dokter bilang, aku butuh istirahat dua hari. Tapi menurutku, aku sudah bisa jalan keliling dan menendang seseorang, kalau perlu.”Lucca te
Udara malam di pelabuhan tua Milan masih menyengat dengan bau mesiu dan garam laut. Api dari ledakan sebelumnya masih menjilat sebagian dinding bangunan kosong di sisi utara. Para anak buah Lucca menyisir area, memastikan tidak ada sisa jebakan atau musuh lain yang bersembunyi. Sirine dari pasukan bantuan mulai terdengar dari kejauhan.Sementara itu, di tengah puing-puing, Lucca menggenggam tangan Bianca erat. Tubuh wanita itu masih lemah, namun matanya tetap terjaga, menatapnya seolah ingin memastikan bahwa semua ini bukan mimpi buruk.“Dia bilang... dia adalah saudara tirimu,” bisik Bianca, masih dengan suara serak. “Apa itu benar, Lucca?”Lucca menarik napas panjang. Ia menatap wajah Bianca yang memar, lalu mengalihkan pandangan ke tubuh Valez yang kini tergeletak di tanah, tangan terborgol dan dikelilingi dua anak buah Carlo.“Mungkin,” gumam Lucca. “Aku pernah mendengar… ada anak lain dari Don Vincenze. Tapi… aku tidak per