Sudah cukup lama Dirga berdiri di depan pintu kamar mandi. Menggedor secara berulang sambil memanggil nama Aluna. Hampir satu jam Aluna berada di dalam dan sampai saat ini gadis itu masih enggan keluar.
"Teman saya sudah pulang. Apa kamu nggak bosan diam di dalam terus?""Sebentar lagi, Om," teriak Aluna dari dalam."Kamu lagi ngapain, sih? Udah satu jam kamu di dalam."Dirga mendengus, semua ini gara-gara Bagas. Gadis itu pasti malu setengah mati karena kepergok hendak berbuat mesum. Sekali lagi Dirga mengetuk pintu, membujuk Aluna agar keluar dari sana."Saya hitung sampai tiga. Kalau tidak keluar, saya dobrak pintunya." Dirga mulai berhitung."Satu … dua … ti …."Handle pintu bergerak, Aluna perlahan membuka pintu kamar mandi dengan wajah tertunduk. Sumpah demi apa wajahnya kini sudah semerah tomat. Aluna berharap jika saat ini dia menjadi butiran debu saja yang tertiup hembusan angin. Dia tidak punya muka untuk menatap wajah Dirga saat ini."Jalan-jalan, yuk. Saya bosan."Satu kalimat yang berhasil membuat Aluna mengangkat kepala. Masih berdiri di ambang pintu kamar mandi, keduanya saling bersitatap. Nampak Dirga tersenyum simpul sedangkan Aluna melayangkan tatapan bingung."Kita ke pantai. Yang dekat saja. Ke pantai Ancol.""Ng-ngapain ke pantai, Om?" Aluna nampak gugup."Ya … lihat-lihat pemandangan, makan-makan. Ya, ngapain aja, bebas. Terserah kamu. Bagaimana, mau, ya?"Aluna memutuskan untuk menerima ajakan Dirga. Percuma saja menolak, semua ini juga masih dari bagian perjanjian mereka. Menjadi pacar rahasia berarti harus menuruti semua keinginan pria itu sampai sang partner merasa puas. Semua sepadan dengan rupiah yang Dirga berikan pada Aluna nanti. Sejumlah uang yang mampu menopang kehidupan Aluna kedepannya.Setelah bersiap, mereka berdua bergegas pergi menggunakan mobil milik Dirga. Tidak ada percakapan selama perjalanan, Aluna memilih untuk melihat ke luar dari balik kaca jendela mobil. Menikmati pemandangan jalanan ibukota yang tidak terlalu padat. Sampai satu panggilan masuk dari ponsel Aluna, gadis itu terlihat menghela napas saat mendapati nama yang tertera di telepon genggamnya."Iya, ada apa?" seru Aluna saat menjawab panggilan telepon."Gimana? Tugasnya bisa dikumpulkan besok, 'kan?" tanya Rere dari seberang sana."Aku belum benerin laptopku, Re. Nanti malam aku coba cari warnet buat ngerjain tugas. Jangan khawatir.""Baiklah. Yang penting tugasnya selesai. Sudah dulu, ya, Lun. Aku cuma mau nanyain itu aja. Bye …." Rere menutup panggilan telepon.Menghela napas pelan, Aluna mulai berpikir bagaimana cara agar dia bisa menyelesaikan tugas malam ini juga. Tanpa Aluna sadari, Dirga memperhatikan percakapan mereka barusan. Pria itu kemudian memutuskan untuk mengunjungi suatu tempat sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju pantai."Loh, kok kesini, Om?"Dengan alis yang bertaut, Aluna terlihat bingung karena berhenti di sebuah mall. Dirga membuka seat belt begitupun dengan Aluna, meski Aluna belum mengerti kenapa mereka berhenti di sini. Saat keluar dari mobil, tiba-tiba Dirga meraih tangan Aluna, membawa Aluna masuk ke dalam."Ada yang harus saya beli."Aluna menurut, mereka berdua berjalan dan menaiki eskalator dengan tangan saling bertautan. Tepat di lantai dua, Dirga membawa Aluna masuk ke sebuah toko perangkat keras. Dimana beberapa komputer dan laptop berjejer rapi di sana."Selamat datang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Sang pelayan dengan ramah menyapa."Saya butuh laptop yang bagus. Kalau bisa yang keluaran terbaru," jawab Dirga singkat dan jelas."Mau merk apa, Pak?""Apa saja. Yang penting bagus. Saya tidak masalah dengan harganya. Bisa bayar pakai kartu kredit, 'kan?" Dirga mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompet."Oh, bisa, Pak. Bisa. Sebentar saya ambilkan laptopnya.""Kalau ada yang warna pink, ya."Aluna lantas mengarahkan pandangannya pada Dirga dengan tatapan bingung. Terasa aneh jika pria segagah Dirga menyukai warna pink. Aluna mencoba untuk acuh, akan tetapi saat melihat wajah sumringah Dirga saat mendapatkan laptop yang dia beli membuat Aluna kembali menatap heran pada CEO itu. Salahkah Aluna berpikir jika Dirga seorang pinky boy?"Kita ke pantai sekarang, ya."***"Wah … pantainya indah sekali."Aluna merentangkan tangan seraya menutup mata sejenak. Merasakan hembusan angin yang menerpa tubuh serta meresapi suara deburan ombak yang terdengar menenangkan. Sudah lama sekali Aluna tidak mengunjungi pantai. Terakhir kali saat SMA, itu pun dalam rangka acara kelulusan."Terima kasih, Om. Sudah mengajak saya ke sini."Senyum mengembang terpancar di wajah Aluna. Untuk beberapa saat dia begitu menikmati momen ini. Aluna menoleh ke belakang, bertepatan dengan itu Dirga mengambil potret kekasihnya itu tanpa seijin Aluna.Tentu saja Aluna terkejut. Buru-buru dia berlari ke arah Dirga. Dengan raut wajah kesal Aluna meminta pria itu untuk menghapus fotonya. Namin, hal itu tidak digubris Dirga. Pria itu malah sengaja menyimpan foto Aluna yang ternyata lebih dari satu."Lihat, kamu cantik juga ternyata." Dirga menunjukkan hasil jepretannya pada Aluna."Hapus, Om. Nanti ketahuan sama istri, Om." Aluna terlihat gelisah."Nggak akan," elaknya.Alih-alih menuruti keinginan Aluna, Dirga segera menaruh ponselnya di saku jas tanpa perasaan berdosa. Tidak peduli dengan Aluna yang sudah memasang wajah cemberut, entah kenapa Dirga ingin sekali memiliki potret Aluna. Foto yang tadi dia ambil terlalu sayang jika dihapus. Aluna terlihat cantik saat surai gadis itu tersibak tertiup angin."Ini. Buat kamu."Dengan senyum simpul yang tersemat, Dirga menyerahkan laptop yang tadi dia beli. Laptop tersebut sengaja Dirga beli untuk Aluna. Gadis itu terdiam, satu detik kemudian Aluna mengarahkan pandangannya pada Dirga dengan tatapan bingung."Tadi saya dengar percakapan kamu di telepon. Tidak baik membiarkan tugas kuliah terbengkalai. Jadi, terimalah.""Apa imbalan yang harus aku beri kepada Om untuk laptop ini?"Satu pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Aluna. Dia tidak mau tertipu lagi dengan pesona Dirga. Aluna sadar jika semua pemberian pria itu harus ada timbal balik."Saya nggak minta apa-apa. Ini hadiah dari saya." Dirga kembali menyodorkan laptop tersebut kepada Aluna."Tidak, aku nggak mau punya hutang budi sama Om. Kita sudah bikin kesepakatan. Jadi saya harus membayar semua yang Om berikan kepada saya."Menghela napas perlahan, Dirga mengerti maksud ucapan Aluna. Berdiri di atas pasir pantai yang indah seraya saling melempar pandang satu sama lain. Dirga melangkah maju, mengikis jarak lalu mendekatkan wajah pada telinga Aluna. Sontak apa yang dilakukan Dirga sukses membuat sekujur tubuh Aluna meremang."Mulai hari ini, panggil saya Papi," bisiknya. Dengan nada suara yang mampu membuat aliran darah Aluna berdesir hebat.Hari berlalu begitu cepat, tak terasa malam sudah tiba. Aluna dan Dirga tengah duduk berhadapan menunggu pesanan mereka datang. Seharian bermain di pantai ternyata menyenangkan dan cukup menguras energi. Mereka tengah makan malam berdua di salah satu restoran yang ada di kawasan pantai Ancol. "Bagaimana laptopnya, sudah kamu coba?" "Sudah. Bagus, Om. Terima kasih. Saya tinggal pindahin semua filenya." Aluna nampak sumringah. "Papi, Papi Dirga. Jangan panggil Om lagi, oke!" Dirga mengingatkan. "Iya, Papi."Dirga tersenyum melihat sikap patuh Aluna. Tidak pernah sekalipun gadis itu menolak apapun yang Dirga minta. Jika diperhatikan lebih teliti lagi, Aluna cukup cantik, tidak kalah cantik dengan Mayang semasa muda dulu. Gadis berpenampilan sederhana itu terlihat menggemaskan dengan kedua lesung pipi. Menambah kesan manis apalagi ketika Aluna sedang tersenyum."Bagaimana kabar pria itu? Pria yang dijodohin sama kamu itu, apa dia datang lagi?" Dirga kembali membuka percakapan."Nggak
Dirga berjalan cepat setelah sampai di rumah sakit yang dituju. Setelah beberapa saat akhirnya Dirga sampai di ruangan tempat Mayang dirawat. Terlihat sang istri tengah terbaring dengan tangan di gips dan perban di kepala. "Mayang, kamu baik-baik saja? Kenapa bisa seperti ini?"Dirga sudah tidak bisa membendung lagi perasaan khawatir. Meraih sebuah kursi yang ada di sana, Dirga segera mengambil tempat di samping ranjang milik Mayang. Pria itu meraih tangan sang istri lalu mengusap punggung tangan mulus itu dengan lembut. "Pak Ilham tadi mengantuk. Jadi, ya gitu, deh. Seperti yang kamu lihat sekarang."Mayang sama sekali tidak berminat melihat kehadiran Dirga. Andai saja sebelah tangannya tidak di gips, mungkin dia akan mengambil posisi memunggungi sang suami. Meski mendapat perlakuan dingin dari sang istri, Dirga tetap berusaha memasang senyum dihadapan wanita terkasihnya. "Kamu udah makan? Mau aku belikan sesuatu?" bujuk Dirga. "Tidak usah. Aku nggak lapar," jawab Mayang seperlun
"Sudah sadar, Bro? Syukurlah."Bagas yang baru saja membuka curtain jendela bernapas lega saat melihat sang sahabat sudah sadarkan diri. Bagas berbalik, terlihat Dirga sedang membenahi posisi bersandar di punggung ranjang seraya mengurut pelipis. Melihat itu Bagas langsung mengambil segelas air kemudian memberikannya kepada Dirga. "Ini, Bro. Diminum dulu. Pak Bos kalau lagi patah hati nyusahin," keluh Bagas. "Terima kasih."Air tersebut habis dalam sekali teguk, pria itu kemudian menaruh gelas kosong tersebut di atas nakas. Dirga kembali bersandar, kepalanya masih terasa pusing. Mungkin ini akibat karena dia mabuk semalam. "Kamu yang antar saya balik ke apartemen, Gas?" tanya Dirga. "Menurutmu, siapa lagi?" cebik Bagas. Pria itu melipat tangan di dada. "Untung aja aku aktifin GPS, kalau nggak kamu bakal habis digerayangi sama cewek-cewek gatel disana." Bagas terlihat kesal. "Kamu kenapa, Bro? Ada masalah?"Dirga terlihat menghela napas, kejadian semalam masih teringat jelas dalam
Aluna dan Rere terlihat tergesa. Bagaimana tidak, hari ini si dosen killer mengajar di jam pertama dan mereka sudah terlambat lima menit. Salahkan Aluna yang bangun kesiangan. Bahkan mereka berdua tidak mandi, hanya gosok gigi setelah itu memakai minyak wangi yang banyak agar bau tubuh mereka tersamarkan. "Loh?"Keduanya melongo, kelas ternyata belum dimulai. Aluna dan Rere lekas duduk di bangku masing-masing. Dengan napas terengah Aluna menyandarkan tubuhnya di punggung kursi, detik selanjutnya dia mulai mengeluarkan buku catatan di atas laptop yang ditaruh di atas meja. "Wow!!"Salah satu mahasiswi berjalan menuju tempat duduk Aluna dengan mulut menganga. Aluna memicingkan mata, terlebih saat mahasiswi itu meraih laptop Aluna. Memutar-mutar benda tersebut, memastikan jika ia tidak salah lihat. "Nggak salah, Lun? Ini punya kamu?" tanya mahasiswi yang bernama Rosi. "Iya, memangnya kenapa?" "Dapat uang darimana kamu? Jual diri, ya? Ini 'kan laptop keluaran terbaru. Aku aja nggak m
"Pelan-pelan! Nanti kita bisa jatuh!"Aluna tak peduli, dia terus bergegas menarik Dirga dari area kampus. Jangan sampai teman-temannya tahu ada pria tua yang datang menemui Aluna. Dia akan semakin dicap wanita nakal oleh seluruh mahasiswa."Ngapain Papi kesini? Kenapa tidak menelponku terlebih dahulu?"Gadis itu mendengus kesal, mereka berdua sudah berada di luar area kampus. Hari ini moodnya sudah rusak karena ulah Rosi dan kedatangan Dirga ke kampus semakin memperburuk suasana hati Aluna. Menarik napas dalam, Aluna mencoba menetralkan gemuruh di dada."Seperti yang saya bilang tadi, kita jalan-jalan," ucap Dirga."Harusnya Papi kabarin aku dulu. Lagipula ini jam masuk kelas. Papi nggak bisa seenaknya datang sesuka hati Papi. Aku juga punya kehidupan," cerocosnya. "Saya yang akan minta izin sama dosen kamu. Kamu nggak perlu khawatir.""Bukan begitu maksudku. Astaga …."Menepuk keningnya sendiri, Aluna tidak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki yang sudah memasuki usia kepala tig
Meeting selesai setelah menghabiskan waktu selama hampir dua jam. Pertemuannya dengan relasi baru berjalan dengan baik, Dirga memenangkan tender besar dengan jumlah keuntungan yang tidak main-main. Dirga selalu seperti itu, setiap menghadapi persaingan dia selalu memenangkannya. Tidak salah jika dia dijuluki raja tender oleh semua relasinya. "Good job, Bro!" Bagas bertepuk bangga. Mereka sedang membereskan sisa pekerjaan hari ini. "Itu juga berkat kamu, Gas. Aku percayakan proyek yang ada disini sama kamu. Kamu sanggup, 'kan?" tanyanya yang sudah selesai memeriksa semua proposal. "Percayakan padaku, Bro. Kaki tanganmu ini akan bekerja dengan baik."Dirga tersenyum, setelah selesai dengan semua urusan Bagas pamit keluar ruangan. Sementara Dirga segera meraih ponselnya. Dia hendak menghubungi orang rumah. "Halo, Bi Sum. Apa dia masih ada di rumah?" tanya Dirga to the point. "Iya, Tuan. Nyonya masih di dalam kamar. Nyonya terus berteriak ingin keluar. Apa perlu saya bukakan pintunya
Semangat yang sempat menggebu kini berubah menjadi sebuah kebingungan. Dirga masih memandangi lingerie merah yang dia beli tempo hari. Baju tipis menggoda yang terhampar di atas ranjang ia tatap lekat-lekat. Dia sudah pulang dan hari ini ia berada di apartemen. "Bagaimana aku memberikannya? Dia pasti menyebutku pria mesum."Menggaruk kepala yang tak gatal, Dirga masih belum mengalihkan pandangannya. Hari ini Dirga berniat memberikan semua hadiah yang dia beli pada Aluna termasuk pakaian itu. Namun, tiba-tiba saja dia menjadi ragu, bingung apakah baju itu harus dia berikan atau tidak. "Tapi aku penasaran. Apa yang kamu pikirkan, Dirga!"Bingung, akhirnya Dirga memutuskan untuk pulang kerumah tanpa membereskan pakaian yang tergeletak di atas kasur. Dia hampir saja lupa tentang Mayang yang ia sekap di kamar saking sibuk memikirkan perkara baju tipis itu. Ini sudah hari ketiga sejak Mayang ia sekap dengan paksa. Siang ini jalanan tidak terlalu macet mungkin karena akhir pekan. Tidak me
Tubuhnya menggeliat pelan seraya mata yang terbuka perlahan. Rasa pusing spontan membuatnya segera mengurut pelipis. Pandangan masih sedikit kabur, tetapi Mayang yakin jika ia masih berada di dalam kamar. "S*alan!"Kata umpatan yang pertama kali terlontar dari mulut Mayang saat netranya mendapati sosok sang suami tengah terlelap di sampingnya. Tidur dengan kepala terantuk pada lipatan tangan. Bukan tersentuh melihat sang suami yang setia menunggunya, tatapan bencilah yang Mayang layangkan pada pria itu. "Gara-gara dia aku jadi tidak bisa bertemu Mas Krisna."Samar-samar suara Mayang terdengar, Dirga segera bangun dari tidurnya. Ia begitu senang melihat sang istri yang sudah sadarkan diri. Dengan cepat Dirga meraih satu tangan Mayang lalu mengelusnya dengan lembut. Namun, Mayang malah menepisnya dengan kasar. Tak suka jika tangan indahnya disentuh oleh pria yang masih berstatus suaminya itu. "Syukurlah kamu sudah sadar, Sayang. Aku sangat khawatir." Dirga tersenyum meski sempat mend