Share

07. HADIAH UNTUK ALUNA

Sudah cukup lama Dirga berdiri di depan pintu kamar mandi. Menggedor secara berulang sambil memanggil nama Aluna. Hampir satu jam Aluna berada di dalam dan sampai saat ini gadis itu masih enggan keluar.

"Teman saya sudah pulang. Apa kamu nggak bosan diam di dalam terus?"

"Sebentar lagi, Om," teriak Aluna dari dalam.

"Kamu lagi ngapain, sih? Udah satu jam kamu di dalam."

Dirga mendengus, semua ini gara-gara Bagas. Gadis itu pasti malu setengah mati karena kepergok hendak berbuat mesum. Sekali lagi Dirga mengetuk pintu, membujuk Aluna agar keluar dari sana.

"Saya hitung sampai tiga. Kalau tidak keluar, saya dobrak pintunya." Dirga mulai berhitung.

"Satu … dua … ti …."

Handle pintu bergerak, Aluna perlahan membuka pintu kamar mandi dengan wajah tertunduk. Sumpah demi apa wajahnya kini sudah semerah tomat. Aluna berharap jika saat ini dia menjadi butiran debu saja yang tertiup hembusan angin. Dia tidak punya muka untuk menatap wajah Dirga saat ini.

"Jalan-jalan, yuk. Saya bosan."

Satu kalimat yang berhasil membuat Aluna mengangkat kepala. Masih berdiri di ambang pintu kamar mandi, keduanya saling bersitatap. Nampak Dirga tersenyum simpul sedangkan Aluna melayangkan tatapan bingung.

"Kita ke pantai. Yang dekat saja. Ke pantai Ancol."

"Ng-ngapain ke pantai, Om?" Aluna nampak gugup.

"Ya … lihat-lihat pemandangan, makan-makan. Ya, ngapain aja, bebas. Terserah kamu. Bagaimana, mau, ya?"

Aluna memutuskan untuk menerima ajakan Dirga. Percuma saja menolak, semua ini juga masih dari bagian perjanjian mereka. Menjadi pacar rahasia berarti harus menuruti semua keinginan pria itu sampai sang partner merasa puas. Semua sepadan dengan rupiah yang Dirga berikan pada Aluna nanti. Sejumlah uang yang mampu menopang kehidupan Aluna kedepannya.

Setelah bersiap, mereka berdua bergegas pergi menggunakan mobil milik Dirga. Tidak ada percakapan selama perjalanan, Aluna memilih untuk melihat ke luar dari balik kaca jendela mobil. Menikmati pemandangan jalanan ibukota yang tidak terlalu padat. Sampai satu panggilan masuk dari ponsel Aluna, gadis itu terlihat menghela napas saat mendapati nama yang tertera di telepon genggamnya.

"Iya, ada apa?" seru Aluna saat menjawab panggilan telepon.

"Gimana? Tugasnya bisa dikumpulkan besok, 'kan?" tanya Rere dari seberang sana.

"Aku belum benerin laptopku, Re. Nanti malam aku coba cari warnet buat ngerjain tugas. Jangan khawatir."

"Baiklah. Yang penting tugasnya selesai. Sudah dulu, ya, Lun. Aku cuma mau nanyain itu aja. Bye …." Rere menutup panggilan telepon.

Menghela napas pelan, Aluna mulai berpikir bagaimana cara agar dia bisa menyelesaikan tugas malam ini juga. Tanpa Aluna sadari, Dirga memperhatikan percakapan mereka barusan. Pria itu kemudian memutuskan untuk mengunjungi suatu tempat sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju pantai.

"Loh, kok kesini, Om?"

Dengan alis yang bertaut, Aluna terlihat bingung karena berhenti di sebuah mall. Dirga membuka seat belt begitupun dengan Aluna, meski Aluna belum mengerti kenapa mereka berhenti di sini. Saat keluar dari mobil, tiba-tiba Dirga meraih tangan Aluna, membawa Aluna masuk ke dalam.

"Ada yang harus saya beli."

Aluna menurut, mereka berdua berjalan dan menaiki eskalator dengan tangan saling bertautan. Tepat di lantai dua, Dirga membawa Aluna masuk ke sebuah toko perangkat keras. Dimana beberapa komputer dan laptop berjejer rapi di sana.

"Selamat datang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Sang pelayan dengan ramah menyapa.

"Saya butuh laptop yang bagus. Kalau bisa yang keluaran terbaru," jawab Dirga singkat dan jelas.

"Mau merk apa, Pak?"

"Apa saja. Yang penting bagus. Saya tidak masalah dengan harganya. Bisa bayar pakai kartu kredit, 'kan?" Dirga mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompet.

"Oh, bisa, Pak. Bisa. Sebentar saya ambilkan laptopnya."

"Kalau ada yang warna pink, ya."

Aluna lantas mengarahkan pandangannya pada Dirga dengan tatapan bingung. Terasa aneh jika pria segagah Dirga menyukai warna pink. Aluna mencoba untuk acuh, akan tetapi saat melihat wajah sumringah Dirga saat mendapatkan laptop yang dia beli membuat Aluna kembali menatap heran pada CEO itu. Salahkah Aluna berpikir jika Dirga seorang pinky boy?

"Kita ke pantai sekarang, ya."

***

"Wah … pantainya indah sekali."

Aluna merentangkan tangan seraya menutup mata sejenak. Merasakan hembusan angin yang menerpa tubuh serta meresapi suara deburan ombak yang terdengar menenangkan. Sudah lama sekali Aluna tidak mengunjungi pantai. Terakhir kali saat SMA, itu pun dalam rangka acara kelulusan.

"Terima kasih, Om. Sudah mengajak saya ke sini."

Senyum mengembang terpancar di wajah Aluna. Untuk beberapa saat dia begitu menikmati momen ini. Aluna menoleh ke belakang, bertepatan dengan itu Dirga mengambil potret kekasihnya itu tanpa seijin Aluna.

Tentu saja Aluna terkejut. Buru-buru dia berlari ke arah Dirga. Dengan raut wajah kesal Aluna meminta pria itu untuk menghapus fotonya. Namin, hal itu tidak digubris Dirga. Pria itu malah sengaja menyimpan foto Aluna yang ternyata lebih dari satu.

"Lihat, kamu cantik juga ternyata." Dirga menunjukkan hasil jepretannya pada Aluna.

"Hapus, Om. Nanti ketahuan sama istri, Om." Aluna terlihat gelisah.

"Nggak akan," elaknya.

Alih-alih menuruti keinginan Aluna, Dirga segera menaruh ponselnya di saku jas tanpa perasaan berdosa. Tidak peduli dengan Aluna yang sudah memasang wajah cemberut, entah kenapa Dirga ingin sekali memiliki potret Aluna. Foto yang tadi dia ambil terlalu sayang jika dihapus. Aluna terlihat cantik saat surai gadis itu tersibak tertiup angin.

"Ini. Buat kamu."

Dengan senyum simpul yang tersemat, Dirga menyerahkan laptop yang tadi dia beli. Laptop tersebut sengaja Dirga beli untuk Aluna. Gadis itu terdiam, satu detik kemudian Aluna mengarahkan pandangannya pada Dirga dengan tatapan bingung.

"Tadi saya dengar percakapan kamu di telepon. Tidak baik membiarkan tugas kuliah terbengkalai. Jadi, terimalah."

"Apa imbalan yang harus aku beri kepada Om untuk laptop ini?"

Satu pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Aluna. Dia tidak mau tertipu lagi dengan pesona Dirga. Aluna sadar jika semua pemberian pria itu harus ada timbal balik.

"Saya nggak minta apa-apa. Ini hadiah dari saya." Dirga kembali menyodorkan laptop tersebut kepada Aluna.

"Tidak, aku nggak mau punya hutang budi sama Om. Kita sudah bikin kesepakatan. Jadi saya harus membayar semua yang Om berikan kepada saya."

Menghela napas perlahan, Dirga mengerti maksud ucapan Aluna. Berdiri di atas pasir pantai yang indah seraya saling melempar pandang satu sama lain. Dirga melangkah maju, mengikis jarak lalu mendekatkan wajah pada telinga Aluna. Sontak apa yang dilakukan Dirga sukses membuat sekujur tubuh Aluna meremang.

"Mulai hari ini, panggil saya Papi," bisiknya. Dengan nada suara yang mampu membuat aliran darah Aluna berdesir hebat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status