Aluna bukan anak 15 tahun yang tidak tahu benda apa yang sedang ia pegang. Dia hanya bingung, bagaimana pakaian seksi ini ada di kamar Dirga. Baju tipis yang begitu menerawang dengan warna menantang. Lingerie merah, tidak mungkin jika itu hadiah untuknya,'kan? Aluna bahkan menelan ludah saking tidak percaya."I-itu …." Dirga garuk-garuk kepala. Dia mulai kikuk karena malu. "Ini hadiahku? Lingerie ini? Buatku?" ucap Aluna dengan penuh penekanan dan tatapan mengintimidasi. Dirga semakin gelagapan. Dia semakin malu mendapati kenyataan pakaian itu memang sebenarnya untuk Aluna. Namun, melihat ekspresi Aluna yang seperti itu, Dirga ragu jika harus memberikan lingerie merah itu pada sang kekasih rahasianya itu. "Atau buat istri Papi? Kalau buat istri Papi harusnya Papi bungkus, bukan ditaruh sembarangan seperti ini. Biar aku yang-,""Itu memang buat kamu!"Hening, mendadak suasana menjadi canggung saat pria itu dengan gamblang mengatakan kebenaran. Aluna terdiam bak patung, tetapi wajahn
Aluna dan Dirga sedang duduk berdua di sofa yang ukurannya lumayan besar. Cukup bagi mereka untuk berbaring dengan posisi saling berpelukan. Sekarang sudah jam tujuh malam dan Aluna masih berada di apartemen Dirga. "Jadi mulai sekarang, perjanjian kita berakhir"Satu kalimat itu terlontar dari mulut Dirga. Aluna tersenyum senang, Bagaimana tidak, hal yang dia takutkan tidak terjadi. Bahkan saat ini Dirga sudah setuju jika perjanjian mereka sudah berakhir. "Mulai sekarang, saya adalah teman kamu. Kamu mau 'kan punya teman seperti saya yang sudah tua bangka?" Dirga terkekeh. "Asal jangan pakai minyak angin, nggak akan ada yang tau kalau Papi sudah tua." Aluna ikut tertawa. Keduanya saling menertawakan lalu saling mengeratkan pelukan. Setelah apa yang terjadi, semua berakhir dengan baik. Walau setelah ini Aluna harus bertemu dengan Bagas dan mengatakan jika ia tidak akan melepaskan Dirga untuk saat ini. Flashback .... Dirga meraih bibir kecil Aluna dengan bibirnya, mulai mencumbui
"Suami kamu memang sudah gila, Sayang.""Makanya, kamu jangan seperti suamiku. Sudah sibuk, sekalinya ketemu bikin emosi," cebik wanita itu. Mayang duduk bersandar di bahu Krisna."Percaya sama aku. Kamu bakalan jadi wanita paling bahagia jika bersamaku." Krisna mengelus lembut kepala Mayang."Kalau begitu, bagaimana kalau secepatnya kita menikah? Aku sudah tidak tahan terus terjebak dengan pria menyebalkan itu."Krisna menghela napas dalam, ini yang tidak ia sukai dari Mayang. Terus mendesaknya menikahi wanita itu. Padahal sedikitpun Krisna tidak memiliki niat untuk menikahi Mayang. Dia hanya ingin bersenang-senang saja."Kita baru saja memulai bisnis kita, Mayang. Bahkan kita belum memulai. Aku mohon sabar sebentar, ya. Aku janji setelah bisnis kita lancar aku akan segera menikahimu," bujuk Krisna. Tentu itu hanya bohong belaka. "Baiklah. Tapi janji, ya. Secepatnya kamu harus nikahin aku." Mayang menoleh, menatap sang kekasih dengan tatapan memelas. "Tentu saja, Honey. Sekarang ak
Wanita itu menutup pintu mobil dengan kasar. Dengan jalan yang dihentakkan, Mayang segera memasuki lift. Dadanya bergemuruh hebat, suara wanita di telepon tadi sukses membuatnya murka luar biasa. "Krisna!"Tidak ada kata-kata sayang. Tidak ada nada yang lemah lembut dan manja. Mayang lekas masuk ke dalam lalu mencari pria itu ke segala arah. Hingga terakhir dia berada di depan pintu kamar. Dia tidak langsung masuk, tangannya tertahan di handle pintu. Suara cekikikan dan tawa seorang wanita nyaring terdengar. Disusul dengan suara menjijikan yang Mayang yakin itu adalah suara Krisna. Kepalanya sudah tidak bisa berpikir jernih. Dia yakin Krisna sedang berbuat mesum dengan seorang wanita. "Br*ngsek!"Kata itu yang pertama keluar dari mulut Mayang saat netranya menyaksikan sesuatu yang luar biasa di hadapannya. Dimana Krisna sedang berada di atas tubuh seorang wanita muda yang pakaian atasnya sudah tanggal. Begitupun Krisna yang sudah bertelanjang dada. Semua mata dibuat terbelalak."D
Senyum simpul itu tak henti terpancar dari wajah Aluna. Di tengah kesibukannya mengerjakan tugas dari sang dosen killer, pikirannya dibuat sibuk dengan rencananya bersama Dirga malam nanti. "Kelas saya cukupkan sampai disini. Jangan lupa kerjakan tugas yang saya berikan. Saya tidak akan menerima alasan apapun jika tidak ada yang mengerjakan tugas."Sang dosen killer itu lekas keluar dari dalam kelas. Masih dengan senyum yang belum luntur, Aluna membereskan semua buku juga laptopnya. Tanpa Aluna sadari, sejak tadi Rere memperhatikan gelagat aneh Aluna. "Senyum-senyum terus. Dapat hadiah baru dari Papi-mu, ya?" tanya Rere dengan nada mengejek. "Apaan, sih. Kepo!" cebik Aluna. "Mentang-mentang punya orang baru, sahabat lama dilupain." Rere tak jalah kesal. "Siapa yang lupain kamu, Rere Naima …."Aluna mencubit gemas pipi Rere seperti anak kecil. Jelas Rere langsung berontak. Aluna yang melihat itu langsung tertawa karena tidak tahan melihat wajah kesal Rere. "Nanti sore aku ada ac
"Papi takut?""Ng-nggak! S-siapa yang takut?""Buktinya ini!"Aluna mengangkat tangannya yang digenggam erat oleh Dirga. Sejak tadi Aluna tak henti tertawa saat melihat Dirga yang terus menutup mata bahkan menggenggam kuat-kuat tangannya saat sosok makhluk astral muncul di layar lebar. Mereka berdua sedang menonton film horor."Aku tidak takut." Dirga segera melepaskan cengkramannya."Kalau takut juga gak apa-apa, Pi. Jangan malu," kekeh Aluna. "Sudah aku bilang, aku tidak takut."Tidak mau kalah, Dirga lekas melipat tangannya di dada. Pandangannya serius menatap lurus ke depan. Bertepatan dengan itu, sosok menyeramkan muncul kembali di layar. Seketika Dirga berteriak seperti anak kecil. "Aku tidak takut, ya. Cuma kaget saja sama musiknya," kilah Dirga segera karena gengsi. "Iya, iya. Papi emang pemberani." Aluna kembali tertawa. Aluna kembali fokus melihat ke depan. Menonton dengan seksama sembari memasukan beberapa berondong jagung ke dalam mulutnya. Gadis itu memang sangat men
Aluna sudah selesai mengoleskan gincu berwarna peach pada bibir mungilnya. Tidak lupa dia juga menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh. Rere, teman satu kos sekaligus sahabat Aluna hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah mahasiswi berusia 21 tahun itu. "Serius kamu mau ketemuan sama cowok itu, Lun?" tanya Rere. "Iya. Daripada dijodohin mending cari jodoh sendiri." Aluna mengalungkan sling bag pada bahunya. "Kata kamu cowok itu udah tua dan punya istri. Serius kamu nyari yang kayak gitu?" tanya Rere lagi. "Aku nggak peduli. Kalau ganteng, angkut! Yang jelas aku nggak mau kalau harus dijodoh-jodohin. Apalagi sama cowok kampung itu."Rere kembali menggelengkan kepala. Aluna pernah bercerita jika besok akan ada pria yang akan menjemput gadis itu agar kembali ke kampung untuk menikah. Mungkin ini yang menjadi alasan Aluna nekat mencari pasangan di aplikasi pencari jodoh dan melakukan kopi darat dengan pria tidak dikenal. "Mau aku temenin, nggak?" Rere mulai khawatir. "Nggak usa
"Mampus!""Ada apa, Lun?"Aluna menunjuk pada seseorang yang sudah berdiri sambil bersandar di depan pintu gerbang kampus. Terlihat seorang pria mengenakan jaket denim dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang lelaki. Aluna segera menarik Rere dan sembunyi di balik tembok. "Ada apa, sih?" Rere semakin penasaran. "Mati aku, Re. Dia benar-benar datang." "Siapa?""Doni!"Aluna mengintip sedikit dari balik dinding. Pria bernama Doni itu masih berdiri tegak di sana dan terlihat sedang menyulut batang sigaret. Aluna kembali bersembunyi saat Doni mulai mengarahkan pandangannya ke pintu utama kampus. Dimana Aluna dan Rere sedang bersembunyi. "Kita tunggu saja sampai pria itu pergi." "Dia nggak bakalan pergi. Aku tahu dia pria seperti apa." Aluna terlihat panik. "Kita cari jalan lain. Bagaimana?" Rere memberi usul. "Nggak bisa. Kampus ini cuma punya satu pintu gerbang dan dia ada di sana. Aku harus apa sekarang, Re?" Aluna semakin frustasi. Dirga, nama itu tiba