Share

BAB 2

PAPA MUDA 2

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Waktu yang terus berputar terkadang belum mampu menghapus segala kesakitan karena lara hati. Karena bisa saja kejadian kecil membangkitkan lagi luka yang sangat ingin dilupakan. 

Alsaki tidak tahu harus menyusun jawaban seperti apa untuk membuat Gala mengerti tanpa harus tersakiti. Meski dirinya harus berjalan di atas bara api atau tumpukan paku, ia akan rela melakukan asal Gala—anaknya tidak ikut merasakan kehancuran ketika kepergian wanita itu. 

Pria yang diam-diam merasa bersalah berbalik menghadap bocah di depannya. Tangannya menggenggam jemari mungil yang mungkin hanya tersentuh beberapa kali oleh wanita bergelar mama.

 "Sayang ... kita memang beda dengan yang lain. Tapi, kasih sayang ini melebihi mereka. Apa Gala tidak merasakan semuanya selama ini? Papa sayang sekali sama Gala. Baiklah, hari ini Papa yang menemani Gala sekolah. Papa akan tunjukkan pesona yang sesungguhnya. Gala nggak usah sedih," ucap Alsaki sembari mengusap lembut rambut anaknya berkali-kali.

Meski masih ada kabut kesedihan dalam hati, bocah itu mencoba tersenyum dan memeluk papanya. Memang hanya pria di depannya yang selalu mencurahkan kasih sayang dan memenuhi segala keutuhannya. "Makasih, Pa ... ya udah, nanti Gala akan tunjukkan pada teman-teman kalau Papa juga terbaik," jawabnya dengan wajah sedikit cerah. 

Sang ibu yang melihat hampir menitikan air mata. Bocah sekecil Gala harus merasakan ketidakutuhan keluarga semenjak lahir. Padahal dulu pernah berharap bahwa Alsaki bisa memiliki biduk rumah tangga yang awet tanpa ada perpisahan. Namun, takdir berkata lain. Tuhan menggariskan anaknya menjadi papa di usia muda. Beruntung keadaan keluarga masih menopang sisi patahnya dengan mengucurkan modal untuk Alsaki—anaknya menekuni hobinya berjual beli. 

Melupakan semua kenangan pahit itu, wanita yang sekali mendedikasikan peran sebagai ibu kedua kali mencoba merekahkan senyuman. Melihat Gala bisa bertahan hingga usia hampir lima tahun itu sudah cukup. Bahkan dunianya hampir tidak pernah kekurangan apa pun. 

"Sayang ... mending kita sarapan. Nanti terlambat ke sekolah," ujar wanita yang menyandang gelar nenek di mata bocah kecil itu. 

"Bener, itu ... Gala, kan, jagoan kita semua." Sang kakek itu memberi semangat. Baginya kehadiran Gala mampu memberi warna baru dalam keluarga Mahendra. 

"Hmm ... iya!" jawabnya penuh semangat. 

Alsaki melega bisa selamat dari keadaan ini. Ia tidak tahu jika tidak ada peran orang tua dalam kehidupannya. Bahkan sang bapak tidak segan mengulurkan tangannya untuk membantu usaha yang tengah berada di tahap berkembang. 

Setelah drama mengenang masa lalu, semuanya larut dalam kehangatan suasana sarapan pagi. 

"Pa, ayo berangkat. Nanti terlambat," ujar Gala yang baru selesai meneguk segelas susu. 

"Siap, Sayang! Let's go ...!"

"Bu, Pak, aku pergi nganter Gala dulu," ujar Alsaki sembari mengenggam tangan anaknya. 

"Hati-hati, Al ...," pesan keduanya secara bersamaan. 

Dua pria yang diikatkan oleh persamaan darah melangkah pergi menuju garasi sambil mengayunkan kedua tangan. Alsaki sengaja menyekolahkan anaknya di TKIT. Meski masih tahap nol kecil, tetapi setidaknya ada pelajaran lain yang berhubungan dengan agama. Ia berharap anaknya bisa lebih baik dari dirinya. 

Sang ibu melihat kepergian anak dan cucunya dengan mata berkaca-kaca. Pikirannya masih tidak menyangka kalau Arista—menantunya memilih pergi meninggalkan pernikahan yang masih seumur jagung. 

"Kamu kenapa, Bu? Ingat menantu yang udah pergi? Itu keputusannya, yang penting Alsaki, anak kita tanggung jawab dan berusaha menahan sebisanya. Mungkin mereka belum jodoh." Pria yang menjadi sayap pelindung bagi anaknya saat kejadian lima tahun lalu tiba-tiba bertanya. 

"Iya, Pak ... padahal mereka pasangan serasi. Ibu nggak nyangka jodoh mereka harus putus setelah kehadiran Gala. Bahkan hingga detik ini, Alsaki belum pernah sekali pun mencari mama pengganti untuk Gala. Kita tidak mungkin bisa menemani cucu selamanya. Haruskah kita mencarikan jodoh yang mau menjadi istri sekaligus mama untuk Gala?" ujar wanita yang merasa usianya sudah terlalu tua mengurus keperluan Gala—cucu kesayangannya. 

Pria yang masih menikmati kopi itu hanya tertawa. "Ibu jangan gegabah. Biarkan Alsaki memilih sendiri calonnya. Kegagalan lalu pasti menjadi bahan pertimbangan untuk tidak sembarangan memulai ikatan baru. Apalagi yang dia butuhkan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya, tapi juga untuk Gala," jelasnya dengan melihat dari dua sisi. 

Sebagai wanita yang melahirkan sang putra, tentu ada harapan pernikahan kedua nanti bisa berakhir dalam satu muara. Tidak lagi terlepas apalagi pergi. Ia pun tahu tidak baik memaksakan kehendak untuk sesuatu yang belum pasti. Memasrahkan keputusan pada sang anak adalah jalan terbaik.

 "Mungkin, Bapak benar. Tapi, aku ingin melihat dia bahagia," ucapnya lirih sembari menghapus air mata yang terlanjur jatuh membasahi pipi, lalu beranjak untuk membersihkan piring kotor. 

~

Di sekolah, kedua pria beda usia itu tidak melepas pegangan tangan sama sekali. Persis seperti perangko. Bahkan ibu-ibu lain terpesona dengan kedekatan dua manusia itu. Wajah mereka terlihat nyata terjatuh dalam pesona papa muda seorang Alsaki Mahendra. Bisik-bisik pujian dari mereka terdengar seperti dengungan lebah yang tengah bernyanyi.

"Cakep bener tuh orang ... apa itu om-nya Gala?  Biasanya sama neneknya kalau berangkat." 

"Iya. Tubuhnya juga oke. Kok, kita nggak tahu ya, bocah manis itu punya Om?" 

"Mana masih terlihat baby face gitu. Coba aja aku masih sendiri, mau banget jadi pacarnya."

Diam-diam pria yang mengenakan kemeja batik dan celana jeans menahan tawa dalam hati. Mendengar ucapan mereka seakan mengingatkan usianya yang memang masih muda, yakni dua puluh empat tahun menjelang dua lima. 

"Gimana pesona, Papa? Keren dong?" bisiknya pada sang anak. 

Gala hanya mengacungkan ibu jarinya sebagai ungkapan kepuasan bisa membawa sang papa ke sekolah, bergabung dengan orang tua teman-temannya. 

"Gala!" Satu panggilan dari suara yang sangat dikenalnya membuat langkah Gala berhenti. Begitu juga Alsaki. Ia ikut menatap gadis cilik yang rambutnya berkuncir dua. Cantik. Tatapan matanya pun beralih pada wanita di sebelahnya. Manis. 

"Cantika? Kamu baru berangkat? Aku juga. Kita masuk bareng, yuk?" ajak Gala sambil melebarkan senyumnya. 

"Ayo ...," jawabnya semangat. "Tante, Cantika masuk kelas dulu sama Gala, ya?" pamitnya dengan wajah begitu riang. 

"Boleh ... hati-hati ya ...," pesannya. 

Kedua bocsh itu melangkah bersama menuju kelas TKIT. Meninggalkan dua manusia dewasa dengan keadaan yang tiba-tiba canggung. 

Alsaki masih terus memperhatikan gerak wanita di depannya. Pikirannya menerka usianya mungkin sekitar tujuh belas tahun. Jadi, wajar menyandang gelar Tante dari gadis cilik bernama Cantika. 

"Ngapain lihat-lihat?! Naksir?" Wanita itu tanpa malu bertanya hal yang membuat kepalanya membesar karena merasa menjadi pusat perhatian pria di depannya. 

"Suka-suka dong ... Nganter ponakan?" tanya Alsaki, sengaja untuk menghilangkan kecanggungan. 

"Iya. Kamu juga?" 

"I--iya," jawab sang pria terbata. Baru kali ini rasanya malu menyandang status papa di usia muda. Harusnya Gala memang lebih cocok jadi ponakannya, tetapi garis Tuhan menentukan lain. Meski malu, tetapi hatinya tetap tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan bisa memiliki Gala dalam hidupnya.

 "Ehem! Nama kamu siapa? Boleh tahu?" Entah mendapat keberanian dari mana, pria yang lima tahun tidak pernah mengajak kenalan seorang wanita, kini begitu ingin mengetahui nama pemilik wajah manis di depannya. Aneh memang, tetapi hatinya begitu ingin. Namun, untuk membangun mahligai bahagia belum terpikirkan sama sekali. 

"Namaku, Andyra Arsha. Panggil aja Dyra, pengangguran sejati karena lulusan korban covid-19 setahun lalu. Menjaga Cantika adalah tugasku untuk mengisi masa senggang," ujarnya sembari menceritakan singkat jati dirinya. "Kamu sendiri?" tanya Dyra balik. 

"Aku, Alsaki Mahendra. Panggil aja, Al, atau Saki ...," jawabnya. "Kenapa tidak mencari pekerjaan di sini?" tanya Alsaki penasaran. Karena menurutnya jarang ada wanita usia muda memilih menjaga ponakan daripada bermain bersama teman atau bekerja untuk mengusir jenuh sekaligus mendapat penghasilan.

Dyra tersenyum getir mendapati pertanyaan seperti itu. Bukan tidak ingin mencari pekerjaan, tetapi belum ada yang mau menerima wanita seperti dirinya. Ia ingin mencari pekerjaan yang tidak begitu lelah karena harus membagi waktu menjaga Cantika. 

"Belum ada yang cocok. Jadi, sementara di rumah aja. Mainan ponsel untuk baca-baca novel online. Siapa tahu bisa ketularan bakat jadi penulis," ujarnya sembari memaksa bibirnya membentuk lengkungan bulan sabit. 

Mendengar kata 'penulis' membuat pria berstatus papa muda itu terdiam. Pikirannya mendadak terhempas akan kejadian lima tahun yang lalu. Di mana Arista ingin meraih mimpi menjadi penulis terkenal dengan mengorbankan dirinya dan Gala. 

"Kenapa masih nyeri? Padahal belum tentu semua orang yang ingin menjadi penulis bisa setega Arista. Haish! Susah banget menyingkirkan semua tentangnya!"

------***------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status