PAPA MUDA
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
"Al, aku ingin kita cerai. Aku udah mencoba melahirkan Gala untukmu. Sekarang, tolong biarkan aku mengejar mimpiku. Aku nggak mau fokusku terganggu karena kehadiran bayi kecil itu. Semua yang terjadi di antara kita tidak akan jadi penyesalan. Aku harap kamu mengerti."
"Apa kamu udah gila? Gimana aku bisa membesarkan Gala sendiri? Kamu jangan egois! Gala masih kecil, masih butuh sosok ibu! Dan kamu ingin pergi hanya demi sebuah mimpi?! Bulshit! Bilang aja kalau kamu nggak mau jadi ibu di usia muda! Kamu tahu? Bukan hanya kamu yang merasakan itu, aku juga tidak mau jadi papa muda. Tapi, inilah bentuk tanggung jawabku sebagai pria. Kalau kamu ingin pergi, pergilah! Tapi, ingat! Setelah kamu pergi, jangan harap bisa kembali. Aku yakin, Gala tidak ingin punya ibu seperti kamu. Ibu yang memberi kehidupan tapi dengan enteng meninggalkan."
Sebuah pertengkaran yang terjadi lima tahun lalu masih teringat jelas oleh Alsaki Mahendra—pria yang memutuskan bertanggung jawab atas kesalahannya saat merayakan pesta kelulusan bersama Arista Adila—kekasih yang mengikat hatinya sejak menginjakkan kaki di dunia putih abu-abu.
Cinta yang kian tumbuh setiap hari mengantarkan keduanya pada sebuah keputusan baru. Namun, usia yang terlalu muda membuat jalan pikiran masih labil dan penuh ego. Sebagai pria, Alsaki selalu diajarkan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Jadi, ia memilih menikah setelah dua bulan kelulusan demi janin yang dikandung sang kekasih. Akan tetapi, kenyataan itu justru tidak seindah bayangan. Setelah kelahiran bayi mungil itu dengan mudahnya Arista mengatakan ingin berpisah dan meraih mimpi menjadi penulis terkenal.
"Apa aku sebodoh ini? Aku kira kamu gadis baik yang akan menyayangi Gala sepenuh hati. Tapi, nyatanya kamu pergi tanpa memberikan kenangan apa pun untuk bocah kecil ini," ucapnya lirih sembari menatap Gala—anak lelakinya yang dibesarkan hanya dengan satu kasih.
Alsaki tertawa penuh getar kegetiran. Meski hati terluka karena sikap Arista, tetapi bodohnya cinta itu masih tertanam kuat di hatinya. Tidak mudah melupakan waktu yang selama ini terlanjur terajut indah. Bahkan membentuk sebuah sulaman indah yang sayang dibuang.
Pria yang selama lima tahun memilih hidup hanya untuk anaknya menciumi bocah yang tengah terlelap. "Maafkan, Papa, Sayang ... Walau kita tidak sempurna seperti keluarga lain, Papa janji akan memberikan kasih sayang yang melebihi perempuan bernama ibu," bisiknya di telinga sang anak, kemudian ikut berbaring di sampingnya dan memeluk erat harta terbesarnya saat ini.
Malam yang kian larut memaksa kedua matanya terpejam. Ada keinginan melupa sejenak untuk semua kenangan manis sekaligus terpahit. Ya, bagi Alsaki, bertemu dan mengenal Arista adalah hal termanis dalam hidupnya. Bahkan kehadiran Gala Mahendra menambah kemanisan itu. Namun, semuanya berubah pahit dalam sekejap mata ketika Arista memilih melepaskan dirinya demi satu mimpi. Selama itu pula tidak pernah sekali pun datang melihat keadaan bayi yang dulu ditinggalkan.
Ia tidak ubahnya seperti pungguk merindukan bulan jika mengingat perempuan yang menghadirkan kehidupan baru dalam hidupnya. Akan tetapi, ia dengan mudahnya pergi tanpa beban dan rasa bersalah sedikit pun. Hal itu membuat Alsaki perlahan menanam benci di sudut hati.
"Meski nanti kamu memohon dan berlutut, aku tidak akan memberikan kesempatan sekecil apa pun untuk melihat Gala," lirihnya sebelum mimpi memapah tidurnya lebih jauh.
~
Ketika langit belum terlalu biru, pria yang mulai terbiasa kebiasaan baru sudah terjaga lebih dulu. Statusnya yang menjadi papa sekaligus single parents di usia muda membuatnya harus banyak belajar dari sang ibu. Terutama tentang cara merawat anak dengan baik. Beruntung selama ini ada sang ibu yang mendampingi merawat Gala saat dirinya bekerja.
Alsaki sengaja memilih terjun dalam dunia jual beli handphone. Bahkan kini sudah berhasil mendirikan toko sendiri dengan memperjualbelikan berbagai merek handphone. Selain itu berbagai macam aksesoris pun menjadi pelengkap tokonya. Ini dilakukan untuk bisa memantau keadaan Gala setiap waktu. Ia pun sudah memiliki beberapa karyawan yang membantunya.
Mengingat semua itu membuat geraknya lebih cepat beranjak untuk mempersiapkan segala kebutuhan Gala—anaknya. Namun, sang ibu sudah lebih dulu melakukannya.
"Kamu baru bangun, Al? Kamu langsung mandi aja, terus mandiin Gala. Ibu sudah masak ayam goreng kesukaannya. Terus nanti biar Ibu aja yang nganterin sekolah seperti biasa." Ucapan wanita yang memiliki hati begitu luas membantu merawat Gala terdengar seperti angin segar.
"Maafkan aku, Bu ... aku hanya merepotkan Ibu. Harusnya dulu aku bisa mencegah kepergian Arista. Karena dia yang berkewajiban melakukan semua pekerjaan ini," sesal Alsaki setiap kali ingatan lalu menghantui.
Wanita yang menyayangkan pernikahan anaknya hanya tersenyum. Tidak ada gunanya menyesali kejadian yang sudah berlalu. Sesering dan sekeras apa pun kita menyesali, semua itu tidak akan mengembalikan keadaan menjadi seperti yang kita inginkan.
"Sudah lah, Al ... kamu tidak perlu minta maaf. Semua sudah terjadi. Setidaknya kamu udah menjadi pria bertanggung jawab yang mengambil alih tugas itu. Ibu bangga karena kamu tidak membuang apalagi meninggalkan Arista saat tahu ada kehidupan dalam perutnya. Lebih baik sekarang kamu fokus untuk masa depan Gala. Kamu mandi gih ... terus bangunin cucu kesayangan Ibu," ucap wanita yang tidak menyimpan kesakitan sama sekali akan kegagalan anaknya soal cinta.
"Makasih, Bu ... aku tidak tahu akan menjadi apa jika Ibu tidak ada. Ya udah, aku mau bangunin Gala dulu," jawabnya lalu kembali masuk kamar untuk menyapa jagoan kecilnya.
Ada rasa haru melihat Gala terlelap sambil memeluk bantal guling kesayangannya. Wajah polosnya tidak menyiratkan ketakutan tentang kehidupan sedikit pun. Bahkan bibir mungilnya tidak pernah menanyakan tantang ibunya. Atau justru ia melewatkan sesuatu yang tidak ia tahu.
"Sayang, jagoan Papa ... bangun dong ... bukankah hari ini sekolah? Ayo, bangun, Sayang ... Gala Mahendra ...," panggilnya sembari mengusap pipi dan juga punggung. Namun, bocah itu hanya menggeliat lalu berpindah posisi. Alsaki mulai mencoba cara lain. Ia sengaja menggelitik lembut perut sang anak. Itu cukup jitu memberikan reaksi.
Gala—bocah yang ditinggal sang ibu sejak kecil membuka mata sembari memegangi perutnya yang geli. "Ampun, Pa ...! Gala bangun. Ini udah buka mata," ucapnya, lalu duduk menghadap pria yang memberikan kasih sayang tanpa batas. "Pa ... hari ini kita main aja yuk? Gala nggak mau sekolah," rengeknya tiba-tiba.
Alsaki mengerutkan dahinya. Tidak biasanya Gala berterus terang untuk membolos sekolah. "Kenapa? Semangat dong ... biasanya juga semangat. Papa gendong ke kamar mandi, deh ...," rayunya.
Tanpa menunggu lama, kedua pria beda usia itu menuju kamar mandi bersama. Saling tertawa dan bermain air layaknya anak kecil. Ketika bersamanya dunia seakan kembali ke masa anak-anak. Bahkan segala gundah bisa mendadak musnah hanya dengan melihat tawanya.
Setelah sama-sama berpakain rapi, kedua pria itu bergandengan tangan menuju ruang makan. Di sana sang ibu sudah menunggu dengan beberapa menu istimewa. Begitu juga dengan sang bapak.
"Selamat pagi, Kakek, Nenek ...," sapa bocah itu sembari meletakkan tas bergambar Ultraman di lantai.
"Pagi juga, Sayang ... sarapan yang banyak, lalu berangkat sekolah sama Nenek."
Seketika wajah yang beberapa menit kembali ceria mendadak tersapu mendung lagi. "Em ... kalau hari ini tidak masuk sekolah, boleh, nggak? Kali ini aja ...," mohonnya dengan menangkupkan kedua tangan.
Semua orang saling pandang mendengar penuturan bocah kecil di depannya. Apalagi pria yang duduk di sebelahnya. Padahal sebelum ini sudah mendapatkan kesepakatan untuk pergi sekolah. "Emang kenapa hari ini? Apa teman-teman ada yang nakalin kamu?" tanya Alsaki sembari menatapnya lekat.
Gala hanya menggeleng, lalu mengingat bibir bawahnya sambil menunduk. "Em, hari ini ada kumpulan di sekolah. Gala malu karena yang datang ke sekolah selalu Nenek. Sedangkan yang lain semua datang sama mamanya. Memang Gala tidak punya Mama, Pa?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa.
Pertanyaan bocah di depannya seketika membungkam bibir pria yang memutuskan menanggung semua beban menjadi Papa tanpa sosok istri di sampingnya. Bahkan tenggorokannya begitu sulit menelan ludahnya sendiri. Alsaki tidak menyangka kalau saat ini akhirnya datang. Saat di mana Gala menanyakan keberadaan wanita bernama mama.
"Apa yang harus aku katakan pada Gala? Aku tidak mungkin mengatakan jika mamanya pergi. Kenapa kamu harus bertanya tentang wanita yang telah tega meninggalkan kita, Sayang ...? Aku aja udah ingin amnesia."
------***--------
Bersambung
PAPA MUDA 2Oleh: Kenong Auliya ZhafiraWaktu yang terus berputar terkadang belum mampu menghapus segala kesakitan karena lara hati. Karena bisa saja kejadian kecil membangkitkan lagi luka yang sangat ingin dilupakan.Alsaki tidak tahu harus menyusun jawaban seperti apa untuk membuat Gala mengerti tanpa harus tersakiti. Meski dirinya harus berjalan di atas bara api atau tumpukan paku, ia akan rela melakukan asal Gala—anaknya tidak ikut merasakan kehancuran ketika kepergian wanita itu.Pria yang diam-diam merasa bersalah berbalik menghadap bocah di depannya. Tangannya menggenggam jemari mungil yang mungkin hanya tersentuh beberapa kali oleh wanita bergelar mama."Sayang ... kita memang beda dengan yang lain. Tapi, kasih sayang ini melebihi mereka. Apa Gala tidak merasakan semuanya selama ini? Papa sayang sekali sama
PAPA MUDA 3Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKenangan pahit memang kadang bisa membekas hingga napas berhenti berembus. Sekeras apa pun melupakan, rasa itu akan tetap hadir dalam batas pikir yang tidak bisa diprediksi. Alsaki belum mampu melakukannya.Karena memang kenyatannya, kepingan kenangan itu masih timbul tenggelam dalam pikiran. Walau sesakit apa pun, hidup harus tetap maju, bukan mundur. Hanya melupa untuk menyamarkan luka yang terlanjur bersemayam.Alsaki mencoba menatap wanita di sebelahnya. Ada binar bahagia di matanya setelah mengatakan mimpinya. Hampir sama dengan Arista dulu. Bedanya, Dyra tidak melepaskan apa pun untuk mendapatkan sesuatu."Kamu suka hal begitu juga?" Akhirnya hanya pertanyaan konyol itu yang keluar dari bibirnya."Ban
PAPA MUDA 4 AOleh: Kenong Auliya ZhafiraPernah kehilangan karena sebuah perpisahan yang menginginkan salah satu ikatan terlepas kadang meninggalkan jejak bekas luka. Seperti kulit tergores belati hingga memberi keperihan yang terasa sakit meski sudah mengering dan menghilang. Hati Alsaki tidak ubahnya seperti demikian.Ucapan sang ibu begitu menampar kewarasannya dalam sekejap. Ia memang tidak pernah berpikir untuk mencari mama pengganti. Ia masih sanggup mencurahkan kasih sayang tanpa batas. Meskipun pertanyaan bocah kecil itu mulai membuat hati meringis. Alsaki menggenggam kuat ponsel di tangan kirinya, lalu berusaha keras menjawab pertanyaan wanita di depannya. "So--soal itu belum aku pikirkan, Bu. Aku masih senang berdua bersama Gala."Sang ibu menggeleng, tidak setuju dengan jawaban anaknya. "Apa kamu pernah memikirkan perasaan Gala? Dia juga butuh sosok mama, Al ... oke, kalau kamu bisa urus diri sendiri, tapi Gala? Dia masih butuh," ungkapnya mencoba membuka jalan pikiran se
PAPA MUDA 4 BOleh: Kenong Auliya ZhafiraDengan melangkah cepat, pria yang menikmati peran ganda untuk buah hatinya langsung membersihkan diri sesampainya di rumah. Kaos oblong berserta celena pendek menjadi pilihan untuk kenyamanan di rumah. Suara televisi dari ruang santai pun menarik perhatiannya. Alsaki keluar kamar, menuju ruang santai untuk melihat sang anak. Sudah menjadi kebiasaannya menonton acara kartun favorit seperti Ultraman dan lainnya. "Sayang, kok, be--" Pertanyaannya terhenti karena sang ibu menempelkan jari telunjuknya ke bibir sebagai kode jangan berisik. "Gala baru tidur," bisiknya setelah anak lelakinya ikut duduk di sebelahnya. "Aku gendong ke kamar," jawabnya ikut berbisik.Seketika tubuh mungil itu sudah berpindah dalam gendongan dengan sekali angkat. Wajahnya terlihat begitu polos tanpa beban. Alsaki meletakkan Gala begitu hati-hati, takut terbangun karena merasa ada gerakan."Maafkan, Papa, Sayang ...," ucapnya sembari membelai lembut rambut hitam sang a
PAPA MUDA 5 AOleh: Kenong Auliya ZhafiraPenampilan terkadang tidak selalu menunjukkan sisi terdalam seseorang. Bisa saja semua itu berbanding terbalik dengan apa yang kita pikirkan. Ibarat buah nangka yang kulit luarnya berduri, tetapi dalamnya lembut memikat hasrat untuk menikmati. Wanita yang masih sedikit terkejut itu hanya diam, menunggu gilirannya bicara. Benih kagum yang semula hampir memunculkan tunas, dengan cepat ia menepisnya. Alsaki menyadari perubahan wanita yang masih berdiri di depannya. Pasti terkejut mendengar perkataan ibunya. "Ehem! Baiklah, kita bisa lanjutkan. Jadi, kapan kamu bisa mulai kerja?" tanyanya langsung tanpa basa-basi. "Oh, ya, wajahmu nggak perlu begitu. Gala memang anakku," ucapnya lagi seolah memberi tahu bahwa yang didengarnya memang benar, bukan kesalahan.Seketika Dyra menoleh kanan kiri untuk menghilangkan gugup yang begitu jelas merantai kesadarannya. "Em, a--anu ... sekarang pun bisa. Jadi, saya memenuhi semua syarat yang ada, Mas?" tanyanya
PAPA MUDA 5 BOleh: Kenong Auliya ZhafiraKetika azan Zuhur berkumandang, karyawan Gala Cell mulai istirahat secara bergantian. Karena pengunjung memang datang silih berganti. Tidak bisa jika semua karyawan istirahat bersama, mereka harus bisa memanfaatkan waktu yang ada sebaik mungkin."Dyra, kami berdua makan siang dulu ya? Kamu tungguin sebentar. Udah bisa melayani pembeli, kan?" tanya Adrian sebelum pergi mencari makan di warung sebelah pertigaan. "Bisa, Adrian. Kamu tenang aja. Buruan ya, kan, gantian," pintanya. "Siap!" Kedua pria itu berlalu pergi mencari makan siang. Sedangkan Dyra memilih sendiri sambil menunggu pembeli datang. Namun, belum ada pembeli yang hadir karena masa istirahat. Jadi, ia memutuskan untuk bermain dengan ponselnya sejenak.Hari ini ia belum membaca novel online sama sekali. Begitu ada celah dan kesempatan, wanita yang menyukai cerita sejak sekolah langsung berselancar di aplikasi grup menulis. Bahkan dirinya sudah mulai memiliki penulis favorit. "Wah
PAPA MUDA 6 AOleh: Kenong Auliya ZhafiraMendengar kembali nama yang dulu memilih pergi dalam wujud berbeda setelah menggapai mimpi sungguh seperti petir di siang bolong. Bukan tidak bahagia bisa tahu berada di titik sekarang, tetapi ada amarah saat menengok kembali jalan yang harus dilewati sebelum sampai tempat tujuan.Bertahun-tahun Alsaki mencoba memahami dan mengerti alasan Arista—istrinya ingin menjadi penulis terkenal. Namun, hingga detik ini akalnya masih tidak terima. Karena dirinya dan Gala mendadak tersingkirkan dari prioritasnya sebagai perempuan yang sudah menikah.Hingga tali yang seharusnya menguat malah terlepas begitu saja. Akan tetapi, sekarang wanita di depannya dengan begitu mudah mengatakan hal yang membangkitkan lagi luka hatinya. Alsaki masih menatap tajam setelah berhasil mengungkapkan apa yang ia rasakan. Bahkan ada rasa ingin mempertegas sekali lagi."Kalau lagi makan itu mending fokus! Enggak usah ngelirik ponsel terus! Ini hari pertama, Dyra! Saya bisa bua
PAPA MUDA 6 B Oleh: Kenong Auliya Zhafira Entah kenapa ada perasaan tidak enak mendengar permintaan cucunya. Tidak biasanya Gala berseri keras meminta sesuatu. Ia pun diam-diam memperhatikan wanita yang tengah menikmati makan siangnya. "Masih muda. Dari cara bersikap sepertinya menyukai anak-anak. Tapi, kenapa baru lihat sekarang? Apa Alsaki mencari karyawan baru?" tebaknya lagi dan lagi. Wanita yang memberi perhatian sejak kecil pada sang cucu kembali mengulum senyum, lalu membelai kepala dan pipi mungil bocah di depannya. "Sayang ... dengerin Nenek. Tante itu di sini kerja. Bukan untuk main. Kita ke tempat Papa aja ya?" rayunya lagi dengan suara begitu lembut. Seketika wajah Gala tertunduk lesu. Ia merasa tidak bisa bermain dengan orang selain Papa dan neneknya. Namun, sikapnya mengiakan ucapan yang didengarnya. Ketika dua manusia beda usia itu hendak melangkah, satu ucapan berhasil menghentikan mereka. Dyra yang diam-diam mencuri dengar percakapan mereka merasa kasian. Ia