Se connecterAlunan musik mengiringi langkah indah Vivian saat menari, melompat di udara dan berputar dengan begitu ringan saat menciptakan gerakan indah. Senyum tak luput dari wajahnya ketika ia menari dengan beberapa orang yang membuatnya menjadi pusat dari pertunjukan, menunjukan pendalaman karakter dengan wajah sempurna yang mampu membius mata para penoton yang menerima dengan baik emosi Vivian dalam gerakan indahnya.
"Well done everyone! Well done!!"
Seorang pria dan wanita yang duduk di bangku penonton bertepuk tangan dan memuji penampilan para pemain dalam sesi terakhir latihan. Membuat semua orang tersenyum bahagia dan saling berpelukan saling menyemangati untuk pertunjukan utama nanti.
Vivian melepas sepatu baletnya dan kembali memeriksa jari-jari kakinya yang terluka. Ia terdiam, sama sekali tak indah namun menunjukkan seberapa besar usaha jari-jari buruk rupanya untuk sampai pada titik yang ia impikan. Bukankah semakin terluka semakin indah karena semua usahanya. Kedua matanya kini beralih menatap dirinya sendiri di cermin, ada ketakutan dan gelisah di sorot matanya, apakah ia mampu menjadi pemeran utama yang membawa seluruh pertunjukan dengan baik? Apakah ia cukup baik melakukannya? Apakah ia sudah seberusaha itu? Vivian merasa gelisah.
Jujur saja ada banyak hal yang sebenarnya ingin ia ceritakan pada Nathan, tentang kegelisahannya dan segala hal yang ia rasakan, namun ia takut mengganggu kesibukan Nathan yang bahkan tidak mengiriminya email seperti biasanya. Kapan pria itu berangkat ke San Francisco, di mana pria itu akan tinggal, ia tak tahu. Kabar terakhir yang Nathan berikan adalah saat ia mengirim pesan untuk Nathan dan pria itu membalasnya beberapa hari kemudian.
“It’s been a weeks,” ucap Vivian pada dirinya sendiri.
"See you tomorrow, Vivian."
"See you tomorrow." Vivian tersenyum saat lawan mainnya berpamitan dan mencium pipinya.
Lagi-lagi ia mendapati luka di jari-jari kakinya yang lecet dan memerah, meskipun hal yang sudah biasa bagi Vivian sejak ia memilih ballet sebagai apa yang ia cintai namun terkadang ia masih merasa kesakitan. Kini ia menatap sepatu kets berwarna abu-abu yang jelas akan makin menyiksa jari-jari kedua kakinya, namun ia tak punya pilihan, selain menggunakan sepatu itu untuk meninggalkan Memorial Opera House tempat dimana pertunjukan itu akan dilangsungkan besok. Di situlah, di luar gedung, kedua mata berbinar Vivian menemukan punggung tak asing yang sedang berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Ia berjalan mendekat dengan sebuah keyakinan bahwa sosok itu adalah orang yang ia rindukan dan pikirkan. tanpa ragu ia meraih pundak pria itu yang langsung berbalik.
"Hai," sapa Vivian dan pria itu tersenyum begitu manis. "Sedikit keterlaluan kau datang tanpa memberiku kabar Jonathan Carrington Lee."
Nathan mendekat dan membawa Vivian kedalam pelukanya untuk menebus kesalahan yang ia perbuat karena tak memberi kabar apapun pada Vivian yang tampak menunggu.
"Maaf, aku ingin memberimu kejutan, aku berpikir bahwa bisa saja aku yang datang tiba-tiba adalah sebuah kejutan untukmu.”
Vivian membalas pelukan Nathan yang terasa hangat, ia begitu merindukan Nathan—sangat merindukan Nathan sampai pertemuan itu terasa mengharukan.
“I’m miss you, Nath. I miss your smell and everything about you.”
“I’m sorry, Baby. Seharusnya aku datang lebih awal."
"Tapi kau memang keterlaluan, jarang sekali menghubungiku, apa kau tahu seberapa banyak aku memikirkanmu?"
"Banyak. Aku tahu itu."
"Nath!" Rengek Vivian kesal.
Nathan tersenyum karena berhasil menggoda Vivian yang terlihat menggemaskan saat kesal, ia membelai rambut panjang Vivian dan membuat wanita itu jauh lebih tenang sekarang.
"Aku sangat sibuk Vivian, aku perlu mengurus banyak pekerjaanku sebelum pergi ke sini, rapat dengan komite, dengan kepala departemen bedah, dan menyerahkan informasi penting tentang pasienku pada dokter residen dan attandence." Wajah Vivian berubah cemberut sehingga Nathan menghentikan alasannya. "I'll pay for it, karena sudah membuat wanita secantik ini menungguku."
"You better not run."
Nathan memeluk Vivian kian erat dan mengayun pelukanya sehingga membuat keduanya tersenyum menikmati momen itu. "Aku lapar, kau ingin makan malam di luar?"
Vivian mengangkat kepalanya untuk menatap Nathan, menggeleng dan kembali membenamkan wajahnya dalam pelukan nyaman Nathan."Aku berkeringat dan aku sangat bau. Tidak mungkin aku makan malam dalam keadaan seperti ini."
"Baiklah, i'll cook for your dinner."
"Sounds good, tempat tinggalku hanya beberapa blok dari sini.”
"Pasta?"
"Period!"
Lagi-lagi keduanya tersenyum dan mengurai pelukan mereka, Nathan meraih tas Vivian dan membawanya, menautkan jari-jari mereka dan berjalan berdampingan menyusuri tepian jalan yang masih tampak ramai meskipun hari sudah gelap. Banyak hal yang keduanya ceritakan selama keduanya berjalan bersama, tawa Vivian dan Nathan bertaut merdu saat keduanya merasa terhibur dengan cerita-cerita kecil yang keduanya coba ceritakan selama mereka berpisah.
****Ting tung ting tung ting tungSatu ikat bunga peony memenuhi tangan Nathan yang kini sedang menunggu dengan gusar di depan pintu. Kegelisahan seperti memenuhi pikirannya tak kala Vivian yang biasanya begitu cepat membukakan pintu, kini harus membuatnya menunggu. Semua karena rasa bersalahnya, ia mengakui kesalahannya hari itu dan ia ingin menyelesaikan semuanya. Sekali lagi Nathan menekan bel yang tak lama setelahnya ia mendapati Vivian muncul dari balik pintu dengan senyuman kecut menyambut kehadiran Nathan."Kau belum tidur?"Vivian lagi-lagu tersenyum. Senyum yang bahkan bisa Nathan artikan dengan baik. "Aku tidak bisa tidur, masuklah," tutur Vivian yang berusaha bersikap sewajarnya seolah ia tak marah dan baik-baik saja. "Apa ini bunga Peonyku?"Nathan mengangguk dan Vivian segera memeluk bunga miliknya untuk menikmati wangi harum khas bunga peony yang paling ia suka."Apa ada toko bunga yang buka selarut ini?""Aku sudah membelinya tadi siang."Vivian kemudian menyadari seberapa
Suara musik berdentum begitu keras di telinga Nathan, ia tidak pernah tahu jika acara after party akan dikemas dengan cara seperti ini, cukup liar. After party yang lebih terlihat seperti sebuah pesta club malam dimana semua orang berpesta dan bersenang-senang seolah hanya hidup hanya untuk hari itu saja. Nathan menolak segala macam minuman karena kedua matanya terus menatap Kiara yang terlihat menikmati pesta, menari di lantai dansa bersama dengan para model pria dan wanita sembari membawa segelas minuman. Beberapa orang berpesta di kolam dengan bikini bahkan tak jarang ada beberapa orang yang sedang bermesraan sembari menghisap rokok bergantian. Suasana yang tidak nyaman bagi seorang Jonathan Carringtoon Lee yang merasa semua itu bukan dunianya. Dunianya terlalu tenang dibandingkan keadaan malam itu.Beberapa wanita terlihat mendekati Nathan karena memang pria itu begitu tampan dan menarik perhatian. Namun mentah-mentah Nathan menolak dan meminta para wanita yang mendekatinya untuk p
Degup jantung yang memburu membuat Vivian merasa panik karena gugup, udara yang mendadak terasa dingin membuat tubuhnya juga ikut terasa kaku. Berusaha mengatasi rasa gugupnya ia berjalan kesana-kemari untuk mengurangi semua ketegangan meskipun riasan telah menghiasi wajah sempurna Vivian malam itu, sangat cantik meskipun ia tak dapat tersenyum merasakan malam itu yang tak sesuai dengan harapan. Sesekali ia menatap deretan kursi penonton dari balik tirai, memastikan bahwa tempat yang ia pesan telah terisi dan tak lagi kosong."Get ready in ten minute!"Kedua jari-jari Vivian saling bertaut dan ia mulai terpejam untuk memohon banyak hal, hanya sepuluh menit yang terasa begitu cepat berlalu karena Nathan tak kunjung datang."Please please please Nathan please." Vivian terus berharap bahwa Nathan akan datang di menit-menit terakhir sebelum pertunjukannya dimulai."In five minute!"Vivian membuka kedua matanya dan kembali nenatap kursi kosong yang tak juga terisi oleh pemiliknya. Vivian m
De Young Museum, adalah tempat yang paling Nathan ingin kunjungi selama di San Francisco, tujuannya adalah untuk menghadiri pameran koleksi graphic art Anderson dan membeli sebuah lukisan karya Umbereto Boccioni yang nantinya akan ia letakan di ruang makan. Ia berkeliling dan melihat satu per satu karya seni yang saat itu dipamerkan hingga hatinya tertarik kepada satu karya yang ia rasa mampu bersinergi dengan ruang makannya. Kepuasan tergambar di wajah tampan yang selalu tersenyum dengan kedua mata yang berbinar, ia jatuh cinta, jatuh cinta kepada sebuah karya seni yang membuatnya terbang ribuan mil hanya untuk menjemputnya dan membawanya pulang.Kegiatanya hari itu berakhir saat ia sudah membeli lukisan yang ia inginkan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi museum yang berdiri sejak tahun 1894 itu sembari menunggu jadwal selanjutnya yaitu menonton pertunjukkan Vivian. Banyak hal yang ia kagumi selama mengelilingi museum yang luas itu, bagaimana bagunannya yang terkesan un
Makan malam yang memuaskan itu berakhir membuat Vivian kekenyangan karena masakan Nathan yang sangat enak, berkali-kali Vivian memuji calon suaminya yang sangat lihai di dapur dan membuat makanan enak. Kini keduanya memutuskan untuk menikmati malam bersama di apartemen Vivian yang sengaja ayah Vivian beli untuk Vivian yang tinggal di San Fransisco.Dua gelas berkaki panjang berisi wine menjadi pendamping kedua orang yang sedang duduk di ruang santai sembari menatap langit malam dari jendela yang terbuka lebar. Mengobrol sembari bersandar di sofa berwarna biru muda yang nyaman dan cukup luas. Nathan yang tiba-tiba meletakan gelas wine-nya dan beranjak kembali dengan satu kotak obat yang membuat Vivian merasa tersentuh. Pria itu duduk di samping Vivian sebelum akhirnya merain kedua kaki Vivian untuk ia letakan di pangkuannya.“Aku tidak sengaja melihatnya.”Vivian hanya bisa tersenyum senang menerima perlakuan manis Nathan.“Terlihat sangat menyakitkan. Kau tidak melapisinya dengan toe p
Alunan musik mengiringi langkah indah Vivian saat menari, melompat di udara dan berputar dengan begitu ringan saat menciptakan gerakan indah. Senyum tak luput dari wajahnya ketika ia menari dengan beberapa orang yang membuatnya menjadi pusat dari pertunjukan, menunjukan pendalaman karakter dengan wajah sempurna yang mampu membius mata para penoton yang menerima dengan baik emosi Vivian dalam gerakan indahnya."Well done everyone! Well done!!"Seorang pria dan wanita yang duduk di bangku penonton bertepuk tangan dan memuji penampilan para pemain dalam sesi terakhir latihan. Membuat semua orang tersenyum bahagia dan saling berpelukan saling menyemangati untuk pertunjukan utama nanti.Vivian melepas sepatu baletnya dan kembali memeriksa jari-jari kakinya yang terluka. Ia terdiam, sama sekali tak indah namun menunjukkan seberapa besar usaha jari-jari buruk rupanya untuk sampai pada titik yang ia impikan. Bukankah semakin terluka semakin indah karena semua usahanya. Kedua matanya kini bera







