Share

BAB 4

~ Hanya diri sendiri yang selalu bisa diandalkan dalam setiap keadaan. Oleh karena itu, berhentilah menggantungkan harap pada orang lain dan belajarlah untuk selalu mandiri.

__________________

Berdasarkan yang sering didengar dalam cerita-cerita tentang desa, suasana malamnya adalah sepi yang sangat mencekam. Tak ada aktivitas sama sekali, kecuali lelaki dewasa yang memang kebagian tugas untuk patroli dan hewan-hewan golongan nokturnal yang memang terjaga di malam hari.

Jadi, menyaksikan belia yang masih terjaga adalah suatu hal yang tidak wajar. Di kota sana memang hal ini lumrah sekali, tetapi perlu penekanan adalah ini terjadi di sebuah desa.

Pada hakikatnya ketidakwajaran itu selalu ingin dipertanyakan. Karena sebelumnya pun sudah terjangkit penasaran, maka seorang mahasiwa yang sedang sibuk dengan setumpuk kertas di depan laptop--menyusun data hasil wawancara, menghentikan kegiatannya.

Diliriknya jam yang tertera di atas layar, menunjukan angka dua dini hari. Kemudian kembali tatapannya pada kertas kuosioner di tangan. Seharusnya ia fokus saja menyelesaikan laporannya. Namun, terganggu dengan coretan tangan yang begitu rapi pada speach kosong dalam kertas yang memuat kolom-kolom yang harus dicentang. Bukan karena tulisannya yang begitu cantik menarik perhatian, melainkan isinya yang menggelitik penasaran.

Jangan hanya bahan laporan yang diburu, tapi lakukanlah sesuatu. Selamatkan perempuan dari ketidakadilan. Dan beri kami masa depan. Bukankan itu sekarang yang menjadi tugas kalian?

Tertanda,

Perwakilan dari perempuan yang masa depannya terancam

Maka bangkitlah ia dari tempat duduknya menuju ruangan depan. Disibaknya gorden yang menampakan bagian belakang bangunan rumah dengan kolam memanjang tepat di bawahnya. Benar, perempuan belia itu masih ada di sana. Menciptakan siluet hitam di atas bangku kolam.

Lalu dilihatnya penghuni ruang yang baru diisi beberapa jam ini. Sebagian sudah tertidur, mungkin karena lelah. Namun, ada satu orang masih asyik dengan ponsel pintarnya. Sempat pula berkenalan dengannya, namanya Afrizal dari Fakultas Teknik. Maka dia adalah satu-satunya harapan yang bisa dimintai pertolongan.

"Bro, lihat tuh, anak cewek tadi masih ada."

Afrizal mendekat, melihat lewat gorden yang disibak.

"Anter gue ke sana, bro!"

"Hah! Ngapain boy?"

"Ada urusan bentar."

Namun, sayang penolakan secara halus yang didapat. "Sorry, boy. Bukannya takut atau apa, tapi di sini kita pendatang. Haram sekali pun mengganggu. Lagian urusan macam apa pula kau ini," sungut Afrizal bertubi sambil lalu masuk ke kamar bagian laki-laki.

Orang-orang yang menjadi teman seperjuangannya di sini sekarang belum terlalu ia kenal. Bahkan interaksi pun baru dua kali: ketika rapat menentukan lokasi serta tadi pagi ketika persiapan pemberangkatan. Maka sungkan sekali ia membangunkan yang terlelap hanya sekedar meminta bantuan hal sepele.

Oleh karena itu, satu-satunya orang yang berani ia bangunkan adalah Risma, mahasiswi dari jurusan psikologi. Sudah sering ia merepotkannya karena memang sudah mengenal pula sebelumnya, bahkan semenjak usia masih kecil.

"Ris." Ia membangunkan dengan tepukan kecil di pipi.

Yang dibangunkan tak merespon sama sekali. Kemudian ia berusaha kembali dengan cara mengoyangkan tubuh Risma. Responnya hanya menggeliat saja.

"Ris, anter gue."

"Hmmm...." Hanya gumaman dengan gigi yang saling bergemalatuk. "Kamar mandinya di luar, Sya. Lo bisa lewat pintu belakang. Tenang, gak ada setan kok. Gue ngantuk," lanjutnya menjelaskan yang sama sekali tak ia pinta dengan keadaan mata yang tertutup dan suara serak khas bangun tidur.

Sialan memang! Risma kira ia takut untuk ke kamar mandi hingga minta untuk diantar. Mau ditaruh di mana harga diri ia jika itu benar terjadi.

Tak ada lagi yang bisa diharapkan, maka sambil merapatkan mantel ia benar-benar membuka pintu depan. Bukankah hanya diri sendiri yang selalu bisa diandalkan dalam setiap keadaan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status