Share

Bab 2. Mbak Siapa nya Suami Saya?

"Karena...aku takut anakku kamu cubit dan istriku nanti kamu rapetin 'anu'nya jadi bikin aku gak bisa 'anu', " sahut sang mantan takut-takut.

Aku mendelik ke arah mantan. Nur tertawa ngakak. "Hahaha, pak alasane loucuuuu," seru Nur.

"Maaf pak, alasan bapak tidak logis, dokter Wildan ada pasien operasi urgent. Saya sudah sering menolong persalinan normal, Insyallah saya profesional, " sahutku.

"Kalau gitu tolong carikan dokter lain saja," pinta mantan.

"Cari dokter lain buang waktu pak, ini kepala bayi kalau ditahan terlalu lama mbrojolnya bisa kecepit jalan lahir dan gagal nafas didalam perut. Bisa juga yang lebih fatal saat istri bapak mengejan dan tidak segera ditolong malah bisa jebol jalan lahirnya. Emang bapak mau kayak gitu?" tanyaku. Berusaha sabar dan tersenyum. Meminta pengertiannya.

"I-iya deh, saya terima," sahut mantan.

Akhirnya mantan mingkem.

"Nur, tolong pasangkan apron (celemek penolong persalinan) padaku, " instruksiku. 

Tanganku masih berada di jalan lahir pasien. Nur segera meraih apron di sebelahnya dan memakaikannya padaku. 

"Kamu bawa masker gak Nur? di sini belum isi stok maskernya." tanyaku.

"Bawa tadi 1 boks dari ruang perawat, mau dipasangkan maskernya mbak?" tawar Nur. "Boleh, makasih Nur," sahutku. 

Setelah masker dan apron terpasang, aku mulai meraih klem 1/2 kocher (alat untuk memecah ketuban) dengan tangan kiri sementara tangan kanan masih menahan kepala di jalan lahir.

Nur juga mengikutiku memakai apron, masker, dan sarung tangan bersih.

Saat tidak ada kontraksi, aku mulai memecah ketubannya. 

"Desssss ...serrrrr.....," suara ketubannya mengucur membasahi underpad.

"Ya Allah, apa itu Del, cairan apa itu," tanya mantan panik.

"Duh , ini cuma cairan ketuban pak, jangan Del Del Dul, Dal del dul terus pak,soal nyawa ini, bapak tenang ya, kalau bapak rame saja, tolong tunggu di luar." Akhirnya muncul juga tandukku.

"Oke aku diam, " mantan kembali mingkem.

Kulirik Nur yang masih menahan tawanya.

"Bu, dengarkan instruksi saya ya, kalau perutnya kenceng banget, keras, ngeden sekuat tenaga. Ingat ngedennya seperti orang pup," perintahku.

"Iya mbak, " jawab pasien.

"Nah, ayo ini sudah kenceng banget. Yuk ngeden, ambil nafas panjang lewat mulut. Dan ngeden...!" aku menginstruksi lagi.

"Heeeghhhh, heeeeggghhh,"

Terlihat kepala bayi menyembul keluar sedikit lalu masuk lagi ke jalan lahir.

"Salah bu, ngedennya jangan di leher ya, tapi di perut, seperti orang pup, istirahat dulu, masih hilang ini kontraksinbya," seruku.

"Nah, ini datang lagi kencengnya, ayo tarik nafas panjang lewat hidung dan mulut terus ngeden," perintahku.

"Heeeggghhh...heeegghhhh," pasien mengejan lagi.

"Duh, masih salah," aku gusar.

Aku lihat jalan lahirnya, kaku.

"Pak, bu, ini jalan lahirnya kaku, saya gunting ya sebagian jalan lahirnya. Daripada nanti robeknya amburadul, susah jahitnya." Kataku.

"Hahhh, digunting Del, ojo po'o, " si mantan terlihat resah dan gelisah menunggu di sini.

Baru saja aku hendak membuka mulut untuk mengeluarkan kata-kata mutiara, sang pasien menyahut.

"Mas, biar saja, nurut apa kata mbaknya, mbaknya yang lebih pengalaman, selak sakit iki wetengku."

Aku mengambil gunting dan melakukan episiotomi (pengguntingan jalan lahir) saat ada kontraksi rahim.

"Ya, ayoooo bu, semangat nekat, ngeden seperti pup, bayangkan ibu pup," 

"Heeegghhh, heeggghhhh," pasien mengejan dengan semangat 45, dan alhamdulillah, yang keluar adalah pupnya.

"Ibu, ibu lanjutkan pup dulu ya, mungkin kepala bayi tidak kunjung keluar karena terdesak oleh pup," kataku.

"Nur, tolong ambil underpad bersih, dan kapas basah, biar aku yang bersihin," pintaku.

"Iya mbak, " jawab Nur. Lalu menuju lemari kaca dan mengambil barang yang kupinta.

Segera kuusap jalan lahir dengan kapas basah dan kuganti underpad yang kotor dengan underpad bersih.

"Ayo ada kontraksi, ibu ngeden ya, dan tolong pant*t jangan diangkat biar tidak jalan lahirnya tidak robek morat marit ." Seruku.

"Heeeggghhh...heegghhhhh...," akhirnya dengan penuh perjuangan yang tiada akhir, kepala bayi keluar.

"Stop, berhenti ngeden, biar bayinya saya keluarkan perlahan," kataku sambil melakukan sangga susur leher, punggung, pant*t bayi, dan berakhir di kaki.

"Oweeee....oweeee...., " tangisnya membahana. 

"Anaknya cewek ya bu, cantik, selamat," kataku tersenyum mengikat dan memotong tali pusat. Kemudian aku membungkus bayi tersebut dengan kain bersih.

Sementara Nur menyuntikkan obat untuk mengeluarkan ari-ari.

"Ini pak bayinya, mau diadzani?" aku menyerahkan bayi pada sang mantan.

"Iya mbak, saya mau adzani dulu," sahutnya sambil menerima bayi yang kuberikan.

"Ibu mau IMD (Inisiasi Menyusui Dini) ? atau bayinya langsung dibersihkan?" tanyaku sambil mengeluarkan ari-ari.

"Saya mau IMD dulu mbak, " kata bu Rania.

"Nur, seperti biasa ya IMD," kataku memandang Nur.

Nur lalu mengambil sang bayi, membuka kain penutupnya dan meletakkannya pada dada pasien.

Terlihat mantan berdiri didekat pasien sambil mengelus-elus kepala anaknya.

"Makasih ya sayang, udah memberikan aku anak cewek yang cuantik seperti kamu, " ucap mantan sambil mencium kening istrinya. Dan setelah itu melirikku.

"Eh, maksudnya apa coba, mau bikin aku cemburu ? gak bakal berhasil ! Seumur-umur nolong persalinan gak pernah lihat tuh adegan sayang-sayangan, apalagi saat pasien masih belum dibersihkan dari darah persalinan." gumamku.

"Iya mas, sama-sama, Mas, jangan sayang-sayangan dulu, malu sama mbak bidannya," kata pasien tersipu.

Nur mesam mesem sambil berdehem dan memandangiku. Aku balas dengan mendelik.

"Ndak apa-apa bu, saya juga lega anaknya lahir selamat dan sehat, walau tadi ada yang menolak saya," kataku menyindir.

Aku mengeluarkan ari-ari dengan hati- hati dan bersiap menjahit jalan lahir.

"Nur tolong nyalakan lampu sentrongnya dan dekatkan kursinya ya," Pintaku.

Nur melakukan apa yang kupinta. 

Aku kemudian mempersiapkan obat bius, jarum jahit kulit, dan benang.

Setelah semua siap, aku mengganti sarung tangan dan mulai bersiap menjahit.

Aku melihat sang mantan mulai beralih ke belakangku. Tapi aku biarkan saja selama dia tidak cerewet dan diam saja.

Aku mulai menyuntikkan obat bius di jalan lahir yang kugunting tadi.

"Awww...sakit, " bukan teriakan dari pasien. Melainkan dari suaminya.

Nur tertawa. Aku manyun. "Pak tolong jangan lebay ya," kataku.

Aku mulai memasang benang pada jarum. Mantan berpindah tempat. Dari sisi kanan ke sisi kiri.

"Bismillah, saya jahit ya bu," seruku.

Lalu mulai menancapkan jarum dan menjahitnya.

Sang mantan berpindah posisi lagi dari kiri ke kanan, menyenggol lampu sentrong.

"Hati-hati Del," katanya perlahan. Aku diam saja dan terus menjahit.

Setiap kali aku menancapkan jarum, dia selalu berucap, "Hati-hati Del jahitnya, sambil beralih posisi dan menyenggol lampu sentrong."

Akhirnya kesabaranku habis dan berkata," Pak, tolong jangan wira wiri di belakang saya, nyenggol lampu sentrong, dan bilang Dal del dol, dal del dol terus, gak bisa fokus nih saya, " Taringku mulai keluar.

"Ma, maaf ya Del, aku diam deh," katanya lagi.

Nur ngakak dan pasien tersipu melihat kelakuan suaminya.

Aku melanjutkan menjahit dengan tenang.

"Maaf mbak Adel, atas kelakuan suami saya, sebenarnya mbak siapanya suami saya?"

Pertanyaan bu Rania membuatku tersenyum di balik masker yang kukenakan.

"Saya adalah ...,"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status