Share

Bab 3. Bertemu Mantan Calon Mertua

"Saya adalah anak gembala selalu riang serta gembira. Eh itu lagunya Tasya ding," batinku.

"Saya adalah..."

"Dia teman SMAku dulu Yang, " dengan cepat Roma menyahut.

"Iya bu Rania, saya teman SMA pak Roma." ujarku.

Bu Rania manggut-manggut.

"Saya lanjut menjahit dulu ya, " sambungku lagi.

"Ibu, kalau sudah IMD, bayinya saya ambil dulu ya, mau saya bawa ke ruang bayi. Nanti malam bisa rawat gabung dengan ibu. Tapi kalau ibu ingin istirahat, bayinya biar tidur di ruang bayi." Celetuk Nur.

"Iya mbak, untuk nanti malam, saya tanya ibu saya dulu. Nanti saya kabari," jawab bu Rania.

Nur lalu mengambil bayi dan membawanya berlalu dari kamar tindakan.

"Nah bu, selesaikan jahitnya, tenang saja jahitan saya rapi dan tentu saja saya sisakan lubang sebagai mana mestinya. " Kataku seraya tersenyum dibalik masker.

"Saya bersihkan dulu ya badannya bu Rania, pak Roma bisa minta tolong mintakan baju ganti dan pembalut untuk istrinya?" pintaku.

"O, boleh Del, eh mbak," sahutnya sambil berlalu keluar ruangan.

Aku mengambil waslap, mengambil baskom berisi air bersih dan mulai menyeka dengan hati-hati badan pasien. Kemudian mengoleskan betadin ke kasa steril dan menempelkannya pada jalan lahir bu Rania yang tadi kujahit.

"Del, ini baju yang kamu minta, " Roma mengulurkan baju daster bersih dan pembalut.

"Terimakasih, Pak," aku mengambil baju dan pembalut kemudian memakaikannya pada pasien.

"Bu, sekarang sudah bersih dan segar ya, ibu boleh makan dan minum apapun seperti biasa, tidak ada pantangan, boleh miring-miring dan duduk. Kalau sudah tidak lemas dan tidak capek, boleh jalan perlahan ya." Jelasku.

Bu Rania mengangguk mengerti.

"Dan yang lebih penting ibu coba sekarang meraba perut ibu. Nah, keras kan, ini artinya rahim berkontraksi agar tidak menimbulkan banyak perdarahan, kalau rahim ibu terasa lembek, coba ibuk uyeg-uyeg perutnya sampai keras. Kalau tidak keras juga perutnya, dan ibu merasa keluar darah byor-byoran dari jalan lahir, segera lapor ke saya atau teman saya. Jangan lupa, kalau ingin kencing, kencing saja ya, jangan ditahan, karena kalau menahan kencing bisa menghalangi kontraksi rahim sehingga timbul perdarahan." Kataku panjang lebar.

"Iya mbak, saya paham ." Kata bu Rania.

"Mari saya periksa tekanan darah dulu sebelum saya tinggal ke ruang perawat." Ujarku sambil memasangkan alat tensimeter pada lengan bu Rania.

"Normal ya 110/70, saya ke ruang perawat untuk nyuci alat, itu tempat ari-arinya nanti bisa dibawa pulang." Tunjukku ke arah kendil tanah liat di bawah bed pasien.

Sebelum aku benar-benar pergi dari pandangan bu Rania dan pak Roma, pak Roma memanggilku. "Del," 

"Iya pak, " aku menghentikan langkah.

"Makasih, kamu tetap pintar dan cekatan. Sama seperti saat SMA dulu. Maaf aku sempat buruk sangka padamu." Katanya malu.

Aku mengacungkan jempol kananku. "Yap, sama-sama sudah tugas saya pak, mari saya tinggal dulu," pamitku.

"Asem, apa aku berwajah kriminal sih, sampai dicurigai mau nyubit anaknya dan menutup lub*ng istrinya." Gerutuku dalam hati.

Sesampai di ruang perawat, aku melihat Nur sedang memberikan injeksi (suntikan obat) pada pasien nifas lainnya.

"Nur, wes sholat ashar urung?" tanyaku.

"Sudah mbak, tadi habis ngantar bayi pak Roma langsung sholat." Jawab Nur.

"Ya sudah, aku sholat dulu, ini partus set (alat penolong persalinan) dan heacting set (alat menjahit) aku dekontaminasi (merendam dengan larutan klorin) dulu ya, " kataku.

"Oke mbak, biar saya yang jaga ruangan sambil nulis partograf (lembar laporan persalinan pasien)," sahut Nur.

Jam 16.45 saat aku selesai sholat. Memang kadang tidak bisa tepat waktu saat menjumpai pasien persalinan. Semoga saja Allah mengerti kondisiku.

"Kurang apa Nur tugas yang belum selesai?" tanyaku.

"Ini mbak, nyicil laporan pasien yang lain." Sahut Nur.

"Oke, " tengah asyik-asyiknya aku menulis, tiba-tiba Roma berlari kecil mendekatiku.

"Del, istriku pengen pipis. Aku bingung nuntunnya ke kamar mandi gimana," seru Roma.

"Oh, iya pak, saya bantu ya." Aku lalu bangkit dari duduk dan berjalan terlebih dahulu dari Roma.

"Ibu Rania, sudah ingin buang air kecil?" Sapaku tersenyum begitu masuk VK (kamar tindakan persalinan). Posisi bu Rania sudah duduk di bed pasien.

"Sudah mbak Adel, maaf merepotkan terus. Tadi mas Roma gak berani nuntun saya pipis, takut sayaa jatuh katanya," jawab bu Rania.

"Kalau ibu sudah tidak pusing dan tidak lemas, mari saya tuntun ke kamar kecil, tapi kalau pusing, tidak apa-apa pake pispot saja," tawarku.

"Insyallah saya kuat mbak, " jawab bu Rania.

"Coba berdiri, saya rangkul dari belakang ya," Aku memapah bu Rania. Dan mengantarnya ke kamar mandi.

"Mbak ini kapas betadinnya saya buang ya?" tanya bu Rania dari dalam toilet VK.

"Iya bu, buang saja, kalau pembalut sudah penuh, ganti saja, " instruksiku.

"Masih belum terlalu penuh mbak pembalutnya. " Jawab bu Rania.

"Ya sudah, tidak usah di ganti kasanya bu, " sahutku dari luar.

Setelah bu Rania keluar kamar mandi, aku kembali memapahnya menuju bed pasien.

" Mbak, terimakasih ya sudah membantu saya. Saya percaya mbak kompeten dan amanah, jadi saya minta tolong pasangkan anting-anting pada anak saya ya mbak, " Kata bu Rania memelas.

"Waduh marimar ngasih kerjaan tambahan nih, awas aja kalau suaminya nyriwet dan lebay kayak tadi saat pemasangan anting-anting. " Aku membatin.

"Ehm, bisa bu, boleh nanti saya pasangkan kalau bayinya sudah dibawa kesini." Sahutku.

"Mbak, boleh saya pindah ke ruangan VIP yang tadi dipesan? " tanya bu Rania lagi.

"Belum boleh ya bu, masih belum 2 jam pasca salin. Karena perdarahan yang harus diwaspadai dan sering terjadi pada persalinan normal adalah 2 jam, tunggu sebentar ya, ibu sudah makan dan minum?" jawabku balik bertanya.

"Sudah mbak, " sahut bu Rania pendek.

"Bagus, insyallah habis maghrib, kalau tidak ada keluhan, saya pindah ke ruang vip, saya pamit dulu ya," ucapku berlalu dari bu Rania dan pak Roma.

"Iya mbak," sahut pasutri tersebut kompak.

Maghrib tiba, sesuai janji, aku menghampiri bu Rania.

"Nur, kamu tensi semua pasien di rawat inap ya, kan cuma 6 orang, aku mau ke VK, mindah bu Rania dulu." Pamitku pada Nur.

"Eeee....cie... mbak Adelia, suitt...suittt, mau mindah pasien apa mindah pasien? hahahahaha " Nur tertawa ngakak.

"Hust, saru, ojo ngguyu banter-banter kowe, aku ngono profesinal. Mbuh mantan, mbuh bukan, kita kan harus service excellence." Sahutku sambil berlalu ke VK.

"Gimana bu, ada keluhan ? saya cek tensinya dulu ya," kataku.

"Ya normal, mari pindah ke kursi roda," tukasku.

Bu Rania dengan hati-hati berdiri dan berjalan ke kursi roda. Setelah bu Rania duduk, aku mendorongnya menuju kamar VIP 1. Diikuti pak Roma dari belakang.

"Tok...tok...tok, Assalamualaikum, " aku mengetuk pintu dan mendorong handle pintu.

Begitu pintu terbuka, ternyata di kamar VIP 1 sudah menunggu bayi bu Rania. Dan seraut wajah perempuan yang tidak asing lagi buatku.

"Oalah bwambaaang, apes bener dah ketemu lagi sama beliau," batinku.

"Loh, ini Adelia? Adelia yang dulu gemuk banget waktu masih SMA dan kuliah?" tanya perempuan setengah baya yang rambutnya diblonde tersebut menatapku tak percaya.

"Iya tante saya Adelia, dulu teman pak Roma, " sahutku tersenyum sambil mempersilahkan bu Rania pindah dari kursi roda ke ranjang kamar.

"Kamu kok bisa cantik langsing kayak gini? apa rahasianya? " tanya perempuan itu lagi.

"Rahasia saya jadi langsing adalah...." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status