MasukBAB, 04.
🌻 Aylin melangkahkan kakinya perlahan menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan kamar tidur milik suami dadakannya. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa segunung keraguan dan rasa asing yang menyesakkan dada. Begitu sampai di depan pintu kamar, Aylin berhenti. Jemarinya sempat ragu, tapi akhirnya ia mengetuk pintu dua kali dengan lembut. Sunyi. Ia berniat mengetuk sekali lagi ketika sebuah suara dari belakang mengejutkannya. " Non, itu kamarnya Tuan muda. Nggak usah di ketuk segala, " ujar seorang wanita tua bertubuh gempal sambil tersenyum lebar. Di tangannya, ia membawa nampan berisi dua gelas susu hangat yang masih terlihat kepulan asap tipis. Aylin menoleh cepat. Wanita itu tampak ramah, dengan wajah bulat dan sorot mata yang hidup. " Saya Bi Jumina, " katanya kemudian, " pengurus rumah tangga disini. Dulu, ikut sama almarhumah ibu Tuan muda dari Jawa Tengah." Nada suaranya terdengar hangat tapi menggoda, seolah mengerti betul bagaimana gugupnya pengantin baru yang belum akrab dengan rumah suaminya sendiri. " Sudah, non Aylin. Masuk aja, gak usah malu-malu. Namanya juga istri, masa ngetuk dirumah sendiri, " lanjutnya sembari terkekeh kecil. Aylin tersenyum kaku, pipinya memanas. " Iya, Bi... " Ujarnya pelan. Ia pun mendorong pintu dengan hati-hati. Begitu pintu terbuka, aroma lembut kayu dan wangi parfum maskulin langsung menyambutnya. Kamarnya luas- terlalu luas bahkan, untuk satu orang. Dindingnya dihiasi beberapa figura foto. Salah satunya menarik perhatian Aylin: Athar tersenyum di samping wanita muda berwajah cantik nan anggun. Mereka tampak begitu dekat, duduk berdua disebuah taman dengan tatapan yang tak bisa disalahartikan. Aylin menatap foto itu lama. Ia tidak perlu menebak siapa wanita itu- ia tahu. Melody. Wanita yang seharusnya berdiri di posisinya malam ini, bukan dirinya. Helaan napas pelan terlepas dari bibir Aylin. Ia menunduk, mencoba menahan rasa getir yang tiba-tiba menyelinap ke dada. Tatapannya lalu beralih ke seisi kamar: kasur besar dengan seprai putih halus, lampu tidur berdesain mewah, dan sofa tunggal berwarna krem yang tampak mahal. Dalam benaknya, Aylin sempat berpikir lirih. ' Kalau saja sofa ini ada di rumah kontrakan, pasti sudah ku taruh di depan rumah biar tetangga bisa lihat betapa bagusnya.' Senyum kecil terbit di bibirnya, antara getir dan kagum. Dengan hati-hati, ia meletakkan dua gelas susu hangat diatas meja kecil di dekat tempat tidurnya- masih belum tahu, harus duduk di mana, atau bahkan, harus menunggu siapa. 🌻 Aylin melangkah pelan mendekat ke arah kasur besar itu. Ukurannya mendominasi ruangan, dengan seprai putih bersih dan bantal-bantal lembut yang tampak mengundang siapa pun untuk merebah. Dengan hati-hati, ia menekan permukaannya menggunakan telapak tangan. " Empuk banget...." gumamnya lirih, mata membulat kagum. Rasa ingin tahunya menang, ia menekan dengan sedikit lebih kuat, lalu- tanpa sadar- menduduki kasur itu. Seketika tubuhnya seperti tenggelam dalam kelembutan busa dan keharuman linen mahal. Aylin tersenyum lebar, matanya berkilat seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru. " Ya Tuhan...empuk banget. Ini beneran nih, kamar laki gue? gede lagi. Mana kasurnya empuk banget. " Ucapnya sembari menepuk-nepuk kasur. " Kalau kasur kaya gini di bawa ke kontrakan, pasti ibu tidak mau bangun dari tidur. " Saking girangnya, Aylin pun memantulkan tubuhnya ringan ke belakang, membiarkan punggungnya menempel pada kasur. Rasa nyaman itu membuatnya lupa diri, ia tertawa kecil, menatap langit-langit kamar yang begitu mewah. " Nggak nyangka aku bakal tidur di kasir semahal ini, " bisiknya sambil memejamkan mata sejenak, menikmati momen kecil yang baginya terasa seperti mimpi. Namun ketenangan itu buyar seketika saat terdengar suara pintu di ruangan tersebut terbuka. Suara langkah berat mendekat, dan ketika Aylin menoleh- " AAAA!" teriaknya spontan, tubuhnya langsung menegak dan matanya membelalak. Athar berdiri disana, hanya dengan handuk putih melilit di pinggangnya, tetesan air masih menuruni dada bidangnya. Ekspresinya langsung berubah kesal begitu melihat Aylin di atas kasur. " Lo ngapain di kamar gue? dan...Lo kenapa masuk tanpa permisi dulu? " tanya Athar dengan nada suara tajam tapi terkejut. Aylin panik, wajahnya memerah, tangannya buru-buru mencari barang untuk bisa ia lempar kepada Athar. " A-aku...cuma...Bi Jumina nyuruh aku masuk! " jawabnya terbata, tubuhnya kaku tidak berani menatap. Athar mendengus, mengacak rambutnya yang masih basah, lalu dengan langkah panjang menuju ruang ganti tanpa menoleh lagi. " Tolong suruh Bi Jumina, lain kali jangan asal nyuruh orang masuk ke kamar gue! " gerutunya kesal dari dalam. Tak lama kemudian, ia keluar lagi dengan kaos hitam pendek bermerek dan celana pendek yang sama mahalnya. Wajahnya masih tampak jengkel. Ia berjalan mendekat, sementara Aylin makin menunduk, kedua telapak tangannya masih menutupi wajah. Athar berhenti di depan kasur, menatap perempuan yang kini duduk di tepi ranjang dengan tubuh kaku bagai patung. Ia mendengus pelan. " Lo bisa turunin tangan lo sekarang. Gue gak makan orang, " katanya datar. Namun Aylin tetap bergeming, menahan napas, pipinya sudah semerah buah delima. 🌻 BERSAMBUNG...BAB, 60. 🌻 Akhir pekan itu tiba dengan hangat. Mentari bersinar lembut di langit, angin pantai menari di rambut Aylin yang dibiarkan tergerai. Athar memandangnya dari belakang kemudi, hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya. Aylin, dengan senyum malu-malu dan pipi merona karena angin laut, tampak seperti gadis yang selalu membuatnya jatuh cinta- bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai sahabat, teman, dan cinta sejatinya. Mereka berjalan beriringan di pasir, sepatu dilepas, kaki mereka menyentuh air yang dingin namun menyenangkan. Athar sesekali menggenggam tangan Aylin, perlahan, seolah takut memutuskan momen itu. Aylin menatapnya, matanya bersinar, dan di sana ada kepercayaan yang mendalam, sebuah rasa aman yang selama ini sulit ia temukan. "Lihat, Athar… ini indah," kata Aylin, menunjuk garis laut yang berkilau di bawah matahari. Athar tersenyum, memiringkan wajahnya mendekat, menatap mata Aylin. "Indah? Itu karena ada kamu di sini," bisiknya, hampir terdengar sebaga
BAB, 59. 🌻 Pukul sembilan pagi, ruang CEO dipenuhi cahaya hangat yang menembus jendela besar. Athar duduk di belakang mejanya, wajahnya cerah, hampir tidak seperti biasanya. Ada kelegaan yang tak bisa disembunyikan-hari ini, Aylin memilih untuk berhenti bekerja, fokus mengurus rumah tangga, dan Athar tahu itu adalah keputusan yang tepat baginya. Namun, di balik senyum itu, ada beban yang harus ia lepaskan. Gosip-gosip karyawan tentang Aylin-bahwa ia menikahi Athar demi uang sepuluh miliar-telah menyebar seperti api kecil yang siap membakar reputasi istrinya. Athar menatap sekilas ke luar jendela, menarik napas dalam, lalu berdiri. Langkahnya mantap ketika ia melangkah ke ruang pertemuan, di mana seluruh tim menunggu dengan rasa penasaran dan sedikit ketegangan. Suara Athar terdengar, tegas namun penuh emosi: "Aylin memilih untuk berhenti bekerja bukan karena alasan yang kalian dengar atau pikirkan. Semua gosip tentang uang, tentang motivasi pribadi-tidak ada yang benar." Ada he
BAB, 58.🌻Melody tertunduk sangat dalam, Athar menatapnya dengan tatapan rasa iba." Seperti yang kamu ketahui, kalau aku pergi karena Papah aku di kejar depkolektor waktu itu." Ucap Melody seraya mengangkat wajahnya dan menatap Athar," maaf, karena aku sudah meninggalkan kamu waktu akad." Athar tertunduk. Dulu memang Athar sangat kecewa, sangat merasa tidak bisa hidup jika tidak dengan Melody. Namun nyatanya, seiring berjalannya waktu, Aylin, gadis itu telah menyembuhkan lukanya secara perlahan." Tidak perlu ada yang di salahkan, Mel. Aku ngerti, anggap saja semuanya memang harus begini. Karena- ya...terjadi begitu saja." Athar balas menatap," aku harap, kamu bisa lebih bahagia." Melody tersenyum tulus, " aku akan pamit. Mungkin beberapa waktu ini- aku akan meninggalkan Indonesia. Ah, aku akan kerja di Taiwan bareng temen aku. Kalau begitu, sampaikan salam maafku kepada Aylin." Athar mengangguk tulus.~~~Malam itu, hujan turun tipis- hanya cukup untuk membuat udara dingin meny
BAB, 57.🌻Pipi Melody terasa panas..Suara tamparan itu masih menggema di telinganya, lebih nyaring dari detak jantungnya sendiri. Kepalanya sedikit menoleh ke samping, rambutnya jatuh menutupi wajah yang kini memucat. Ia berdiri terpaku di ruang tamu rumah yang dulu terasa hangat, kini pengap oleh bau keputusasaan." Papa tidak peduli dengan alasanmu!" hardik sang papa, napasnya tersengal. Matanya merah, bukan hanya oleh amarah, tapi juga oleh ketakutan yang terlalu lama ia pendam. " Kamu harus kembali ke Athar. Dia masih mencintaimu. Kamu bisa memperbaiki semuanya."Melody perlahan mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca, namun suaranya tetap bergetar tertahan. " Tidak, pah." Ia menggeleng pelan. " Aku tidak akan merusak hubungan Athar bersama istrinya. Aku sudah cukup menyakitinya...aku meninggalkan Athar di hari pernikahan kami. Luka itu...aku yang menorehkannya."Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Bayangan wajah Athar, tatapan hancur yang tak sempat ia jelaskan, kembali meng
BAB, 56. 🌻 Pagi itu, tepat pukul 07:17, rooftop gedung kantor masih di selimuti udara dingin sisa malam. Matahari baru saja naik, cahayanya pucat, menembus celah-celah gedung-gedung tinggi Jakarta. Kota belum sepenuhnya riuh- masih ada jeda sunyi sebelum hiruk pikuk di mulai. Aylin berdiri seorang diri disana. Kedua tangannya bersedekap, bukan karena dingin, melainkan karena dadanya terasa kosong dan berat. Angin pagi mengibaskan rambutnya, sementara matanya menatap lurus ke langit yang perlahan membiru. Malam tanpa tidur meninggalkan jejak di wajahnya- mata yang lelah, napas yang di tahan lama. Pintu rooftop terbuka pelan. Rayan berdiri di ambang pintu, tampak sedikit terkejut menemukan seseorang di sana sepagi ini. Jas kantornya masih rapi, kopi panas mengepul di tangannya. Langkahnya terhenti ketika menyadari siapa yang berdiri beberapa meter darinya. " Apa perkataan mereka barusan mengusikmu?" Aylin menoleh refleks. Terlihat Rayan kembali meneruskan langkahnya dan m
BAB, 55.🌻Athar berdiri beberapa detik di ambang ruang tengah, langkahnya tertahan oleh pemandangan yang tak ia duga akan membuat dadanya terasah sesak.Aylin duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit meringkuk. Satu tangannya menahan pipi kiri- pipi yang kini tampak lebih merah dan bengkak dibandingkan terakhir kali ia melihatnya di kantor. Rambutnya terurai asal, matanya kosong menatap lantai, seolah berusaha meyakinkan di bahwa semuanya baik-baik saja.Athar menghela napas pelan. Tanpa suara, ia mendekat." Ini.." Suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya saat ia menyodorkan alat kompres yang sudah berisi es batu, terbungkus kain tipis.Aylin tersentak kecil. Ia mendongak, kaget, lalu cepat-cepat meluruskan punggungnya. Tatapan mereka bertemu sesaat- cukup lama untuk membuat udara di antara mereka menegang, cukup singkat untuk Aylin kembali menunduk." Terima kasih..." ucapnya pelan, canggung.Athar tidak langsung melepaskan kompres itu. Tangannya masih tertahan di udara, jarak







