Share

NOTE 5 BEKICOT

Penulis: smooothis
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-26 02:37:43

“GUOBLOOOK AS#XB%*^@!” Dimas berjalan lemas mendengarkan caci makian koleksi kebun binatang Setia dengan pasrah. Mungkin dia memang pantas mendapatkannya. 

Ya, kan? Nggak ada harapan lagi buat punya cewek, batinnya getir. Mereka semua wanginya kayak monster.

Bagi Dimas, semua aroma berbahaya. Tapi musuh-musuhnya punya kasta.

Bau sampah, keringat abang becak, atau pipis kucing? Itu cuma level kroco. Monster yang serangannya tumpul. Dimas masih bisa menahannya dengan bernapas pendek-pendek.

Tapi parfum?

Beda level

Mereka adalah penipu ulung. Di hidung orang normal, parfum adalah wewangian yang menyenangkan. Tapi di sensor hiperosmia Dimas, campuran zat kimia sintetis itu bermutasi menjadi makhluk yang jauh lebih mengerikan.

Contohnya monster si cewek di taman tadi.

Kepalanya mungkin berbentuk mawar raksasa yang cantik, tapi kelopaknya bukan lembaran bunga indah, melainkan mulut besar dengan ribuan gigi tajam. Batang-batangnya yang penuh duri bakal menusuk hidung dan memeras paru-paru sampai sesak napas.

Makanya, bagi Dimas, cewek yang "wangi" adalah summoner yang bisa manggil monster di setiap kibasan rambutnya.

Untuk mengobati jiwa yang merana, Dimas mampir ke sebuah lapak kecil surga dunia. Toko Toys and Games. Mungkin nggak sementereng yang di mal-mal, tapi koleksi toko ini bisa dibilang paling komplet dengan harga miring. Action figure, games, dan pernak-pernik nggak penting. Pokoknya apa lu mau gua ada. Legenda mengatakan bahwa pemilik toko ini punya koneksi black market antarnegara.

Ia berhenti di depan toko itu. Emangnya napa kalau gak punya pacar? Kiamat? Nggak, kan?

Tiba-tiba, sebuah energi baru memompa semangatnya. Ia mengangkat teleponnya kembali ke telinga, memotong omelan Setia yang belum juga usai.

“Aku nggak nyesel, Set,” katanya, suaranya kini terdengar mantap dan penuh percaya diri. “Aku udah punya cinta sejati.”

“Cinta sejati ndas ….” Klik. Dimas mematikan teleponnya sebelum Setia menyelesaikan kalimatnya. 

“Wih, Bos Dimas!” Koh Acong, pemilik toko yang super ramah langsung menyambutnya sat set. Konon ia punya semua data lengkap pelanggannya, nomor hp, email, alamat, kerjaan, dan–yang paling penting–kelemahan mereka. 

Sambil tersenyum penuh makna, Koh Acong melirik ke satu arah, memberikan kode rahasia kepada Dimas. Pemuda ini langsung paham. Dimas masuk ke dalam ruangan khusus, nggak sembarang orang punya akses.

Itu dia, cinta sejatiku. Dimas memandangnya dengan takjub. Sebuah action figure Mai Shininjapi edisi terbatas, dengan pose ternungging yang pernah dibuat sampai saat ini. Harga tiga setengah juta kurang dikit adalah angka yang kecil buat menghapus etalase kaca di antara mereka. 

Ia langsung nunjuk. “Koh, yang ini, bungkus!”

Prosesnya kilat. Koh Acong membungkusnya dalam kotak tertutup dengan sigap, karena reputasi setiap pelanggan harus dijaga.

Dimas ngeluarin kartu kreditnya dengan gaya sultan. “Gesek, Koh.”

Koh Acong menggeseknya. Sekali. Gagal. Dua kali. Gagal maning. Tiga kali. “Ndak isa, Bos. Diklein.”

Mampus. Dada Dimas tiba-tiba terasa diremas. Ia ngecek saldonya lewat aplikasi. Kurang. Jauh dari cukup. Dunia serasa gelap. Dengan berat hati, ia kembali menekan nomor Setia.

“Gimana, Nyet?” tanya Setia ketus.

“CC-ku diblokir.”

Terdengar tepuk tangan dari seberang. “BHUAHAHA! MAMPUUUS! Gilak nyokap serius nyuruh lo balik, ya.” 

Dimas berdecak. “Males aku pulang ke Semarang, bawel mama tu. Sukanya ngatur-ngatur.”

“Ya gimana, bro? Lu kan udah lulus, masak mau di Jogja terus? Enak aja ngabisin duit nyokap lo. Makanya kerja.”

“Ya, ini kan masih diusahain.” Dimas cuma bisa ngeles. Lalu ia menatap pilu kotak action figure di meja kasir. “Set, darurat, nih. Pinjem duit.”

***

Sepanjang perjalanan pulang, Setia—yang akhirnya jadi juru selamat finansial—tak henti-hentinya berceramah. “Untung gue ada duit. Heh, dengerin ye? Bla bla bla ….”

Dimas hanya menanggapinya dengan gumaman “hm” dan “iya”, tangannya memeluk erat tas belanjaan berisi waifu barunya seolah itu adalah bayi yang rapuh. Mereka berjalan menyusuri jalan kecil yang lebih sepi, jalan menuju kos Dimas yang diapit petak-petak sawah.

Dia mendekati sebuah masjid yang baru aja bubaran acara. Sekelompok pria berjubah gamis dan perempuan bercadar keluar masjid. Merasa tak ada kepentingan, Dimas tidak memperhatikan sama sekali. Membiarkan mereka lewat. Setelah jalanan sepi, ia pun melintas.

Tidak jauh dari situ, tiba-tiba omongan Setia tidak lagi masuk ke telinganya. Langkah Dimas melambat, lalu berhenti. Pandangannya terkunci pada sesuatu yang kecil di tengah jalan aspal. Terbalik tak berdaya, cangkangnya di bawah, tubuhnya menggeliat sia-sia. 

Seekor bekicot.

Hati Dimas mencelos mendengar dari belakang, sebuah motor kencang melesat.

NGUEeeeng!

“AAAAAH!” 

“Hah? Kenapa, Dim? Apaan?” 

Motor itu baru aja nyenggol ujung rumah si bekicot, membuatnya berputar kencang di tempat seperti gasing.

Dimas mengamati bekicot yang putarannya mulai melambat. Wih, masih utuh!

“Set, udahan dulu, ya.” Dimas mematikan telepon dan memasukkan ponselnya ke saku kemeja.

Dari kejauhan, terdengar sebuah mobil melaju kencang, lurus menuju si bekicot yang masih pusing tujuh keliling. 

Dimas memejamkan mata. Jangan kelindes, jangan kelindes, jangan kelindes.

Terdengar suara deru mobil yang melewatinya. Ia membuka mata. Si bekicot selamat. Sepertinya tadi masuk kolong mobil. 

Dimas buru-buru meletakkan kotak action figure-nya di trotoar. Setelah nengok kanan-kiri dan memastikan aman, ia mendekati si bekicot. Pegang cangkangnya, pegang cangkangnya, jangan sentuh badannya yang menjijikkan itu.

Dengan formasi jari paling hati-hati, Dimas memegang rumah si bekicot, lalu berdiri. Misi berhasil. Tapi pada saat yang sama, ponsel di sakunya meluncur jatuh ke aspal. 

Dimas berdecak kesal.

Ia segera berbalik dan berjongkok lagi untuk memungut ponselnya. Jalanan di area kosnya ini memang agak menurun. jadi kalau ada mobil dari atas, wujudnya tidak akan terlihat. Meski begitu suaranya pasti terdengar dari jauh. Tapi satu hal yang Dimas lupa: tidak semua mobil itu berisik.

Tanpa suara, sebuah mobil listrik berwarna putih susu meluncur turun dengan kecepatan tinggi. Baru saat jarak mereka udah kritis, si pengemudi—yang juga sama kagetnya—membabat klaksonnya. Ia berusaha ngerem, tapi jalanan turun bikin upayanya sia-sia.

Dunia Dimas mendadak beku. Suara klakson itu seakan menyedot semua udara dari paru-parunya. Kakinya terpaku di aspal, menolak perintah otak untuk lari.

Tepat saat ia pasrah akan nasibnya yang bakal jadi headline berita lokal, seseorang menjambak kerahnya dari belakang.

Tarikannya cukup kuat hingga membuat Dimas terpelanting ke belakang, menghantam tepi jalan dengan kasar. Masker respiratornya terlempar.

Mobil listrik itu terus melaju, terdengar umpatan si pengemudi dilengkapi acungan jari yang hina.

Masker! Mana maskerku?! Dimas langsung menutup hidung dan mulutnya dengan tangan, matanya liar mencari-cari perisainya. Tak lama kemudian, sebuah tangan menyodorkan masker itu tepat di depan wajahnya.

Dimas buru-buru menyambarnya. “Ah, makasih ….” Saat mendongak, kata-katanya tersangkut di tenggorokan.

Di hadapannya, berdiri seorang gadis, terbalut dalam pakaian yang serba hitam. 

Seluruh dunianya seakan menyempit, hanya menyisakan sepasang mata yang menatapnya, dengan garis kelopak yang lembut dan sudut luar yang sedikit meninggi, memberikan kesan tajam sekaligus kalem. Bulu matanya lentik, laksana sapuan kuas seorang pelukis kawakan. Namun yang paling mengunci perhatian Dimas adalah warnanya—nyaris hitam, tapi pantulan cahaya membuka tabirnya hingga terlihat warna aslinya yang coklat gelap. Sepasang mata yang seolah menyimpan ribuan cerita, namun yang terpancar pada Dimas saat itu hanya satu:

Gadis bercadar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 7 ANOMALI

    Gadis itu tampak tenggelam sepenuhnya dalam misi absurd menuntun seekor bekicot ke tempat aman. Seluruh dunianya seolah menyempit, hanya tersisa dia dan si hewan berlendir itu.Namun bagi Dimas, magnet sesungguhnya ada pada sosok bergamis hitam di depannya.Apalagi kalau dilihat dari samping seperti ini. Dimas bisa melihat dengan jelas bagaimana setiap kali kelopak mata gadis itu mengerjap pelan, barisan bulu matanya yang lentik ikut berayun lembut—seperti kipas sutra yang menyihir.Aku harus ngomong sesuatu nggak, ya? Tapi apa? Nanti kalau dia ilfeel gimana? Dalam keputusasaan itu, batinnya menjerit. Woy! Setya, di saat-saat penting gini kamu di mana?! Nama "Setya" yang terlintas di benaknya itu bekerja seperti saklar yang dinyalakan mendadak.Eh, tadi kan telponan sama dia?Dimas tiba-tiba teringat pada ponselnya. Ia menengok ke belakang. Beneran.Di sana, tergeletak pasrah di atas kerasnya trotoar, “setan gepeng” itu tampak mengenaskan. Layarnya menghadap ke atas, menampilkan ret

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 6 GADIS BERCADAR

    Otak Dimas langsung sibuk memproses semua file gosip yang pernah ia dengar. Katanya mereka itu punya “geng” sendiri. Kalau diajak salaman pasti nolak, ngobrol cuma sama yang sejenis, terus kalau ngeliatin orang tatapannya galak. Hidupnya kaku, isinya cuma pengajian sama aturan-aturan ketat. Mereka nggak nongkrong di kafe, nonton bioskop, maraton anime, dan tentu saja, nge-game semaleman.Dimas baru ingat, barusan ada bubaran acara di masjid yang ia lewati; gadis ini pasti salah satu dari mereka. Dimas nggak pernah sekalipun punya minat, apalagi rencana, untuk berinteraksi dengan kaum ini.Tapi sekarang, di sini, salah satunya sedang berdiri di depannya. Habis menyelamatkan nyawanya. Gara-ga

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 5 BEKICOT

    “GUOBLOOOK AS#XB%*^@!” Dimas berjalan lemas mendengarkan caci makian koleksi kebun binatang Setia dengan pasrah. Mungkin dia memang pantas mendapatkannya. Ya, kan? Nggak ada harapan lagi buat punya cewek, batinnya getir. Mereka semua wanginya kayak monster.Bagi Dimas, semua aroma berbahaya. Tapi musuh-musuhnya punya kasta.Bau sampah, keringat abang becak, atau pipis kucing? Itu cuma level kroco. Monster yang serangannya tumpul. Dimas masih bisa menahannya dengan bernapas pendek-pendek.Tapi parfum?Beda level. Mereka adalah penipu ulung. Di hidung orang normal, parfum adalah wewangian yang menyenangkan. Tapi di sensor hiperosmia Dimas, campuran zat kimia sintetis itu bermutasi menjadi makhluk yang jauh lebih mengerikan.Contohnya monster si cewek di taman tadi.Kepalanya mungkin berbentuk mawar raksasa yang cantik, tapi kelopaknya bukan lembaran bunga indah, melainkan mulut besar dengan ribuan gigi tajam. Batang-batangnya yang penuh duri bakal menusuk hidung dan memeras paru-paru

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 4 TAKE A CHANCE

    Dimas duduk lemas di trotoar. Dari sakunya, ia mengeluarkan botol kecil berisi pil andalan anti mual; latihan bertahun-tahun membuatnya fasih menelan obat-obatan itu tanpa air. Setelah beberapa detik, ia memakai tameng andalannya: sebuah masker respirator industrial setengah wajah. Masker biasa? Gak level. Masker ini di sisi kanan kirinya nempel dua kartrid yang isinya karbon aktif, arang sakti yang tugasnya nyedot semua bebauan. Mau asap knalpot, comberan, sampai aroma sate legendaris di ujung jalan—semua di-end dari realita.Hadirin sekalian, perkenalkan: Dimas. Seorang sarjana yang baru hunting kerjaan, dibekali ijazah dan sebuah kutukan bernama hiperosmia. Baginya, indra penciuman bukanlah anugerah, melainkan neraka personal di mana setiap bau menyengat bisa berevolusi. Di dalam otaknya, asap kendaraan bisa jadi raksasa bersenjata gada dan aroma pete menjadi monster tanaman yang siap menembakkan peluru penderitaan.Dengan satu tarikan tegas spidol hitam, Dimas mencoret satu nama

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 3 HOEK

    Kenapa aku sampe gemeteran sama toko parfum? Sebenernya udah lama aku musuhan sama semua bau. Nggak cuman parfum. Tapi trauma ini mendadak naik level gara-gara rentetan kerusuhan pagi tadi.Ingatan Dimas melayang mundur.Saat itu, di ruang HRD studio digital printing, Dimas berusaha duduk tegap. Di depannya ada om-om yang gayanya udah kayak yang paling punya kantor. Kakinya nangkring santai di atas meja, nunjukin sol sandalnya yang semulus pipi artis Korea. Di situ tertempel noda cokelat misterius. Mudah-mudahan bukan eek kucing.Si om HR membolak-balik CV Dimas dengan kecepatan siput, seolah sedang meneliti naskah kuno. Tatapan matanya kosong kayak isi dompet akhir bulan. Dimas melirik jam dinding di sebelah kirinya; sudah sepuluh menit lebih jarumnya bergeser dalam keheningan. Mumpung nganggur, ia pun mengamati sekitar. Ruangan ini ternyata multifungsi: ruang kerja, gudang, sekaligus sauna. Tumpukan kertas dan gulungan spanduk membentuk lanskap pegunungan di setiap sudutnya. Satu

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 2 TAKDIR

    “Waduh, ini mah K-Pop, Mas. Tampangnya sama semua,” keluh si abang ojol, semangatnya amblas.Mampus. Yang mana, nih?! Matanya melesat liar dari satu bus ke bus lainnya.Si abang ojol menunjuk ke depan, ke layar countdown timer lampu lalu lintas."Gawat, Mas," katanya sambil menelan ludah. "Itu bentar lagi ijo. Masalahnya, ini perempatan besar. Semua bus itu bakal mencar, Mas."Ia menoleh ke Dimas. "Mas cuma punya waktu 15 detik buat nentuin mau buntutin yang mana. Mas tadi sempet liat nomor jurusannya, nggak?"Dimas blank. Lupa memperhatikan detail seperti itu. Alhasil abang ojek langsung membuang muka sambil meluncurkan komentar-komentar tidak membangun.Dimas belum menyerah. “Bang, jalan pelan-pelan di samping bus,” nadanya tegas kayak komandan pasukan khusus. “Aku cek penumpangnya.”Rencana rempong itu pun dijalankan. Dimas bangkit berdiri di pijakan kaki belakang, berpegangan pada bahu si abang. Sesekali badannya goyang, berusaha menjaga keseimbangan. Motor mereka merayap pelan d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status