Inicio / Urban / PDKT di Sarang Monster / NOTE 6 GADIS BERCADAR

Compartir

NOTE 6 GADIS BERCADAR

Autor: smooothis
last update Última actualización: 2025-12-16 13:00:22

Otak Dimas langsung sibuk memproses semua file gosip yang pernah ia dengar. Katanya mereka itu punya “geng” sendiri. Kalau diajak salaman pasti nolak, ngobrol cuma sama yang sejenis, terus kalau ngeliatin orang tatapannya galak. Hidupnya kaku, isinya cuma pengajian sama aturan-aturan ketat. Mereka nggak nongkrong di kafe, nonton bioskop, maraton anime, dan tentu saja, nge-game semaleman.

Dimas baru ingat, barusan ada bubaran acara di masjid yang ia lewati; gadis ini pasti salah satu dari mereka. Dimas nggak pernah sekalipun punya minat, apalagi rencana, untuk berinteraksi dengan kaum ini.

Tapi sekarang, di sini, salah satunya sedang berdiri di depannya. Habis menyelamatkan nyawanya. Gara-gara bekicot. Dan di luar semua itu, memiliki mata terindah yang pernah dilihat Dimas. Logika di kepalanya langsung dhol.

“Mas tidak apa-apa?” tanya gadis itu, suaranya yang dingin membuyarkan lamunan Dimas.

Dimas tersentak. Mas? Kok dia tahu namaku? Ia buru-buru sadar. Oh, ‘Mas’ bahasa Jawa, ya.

Pemuda itu buru-buru bangkit sambil menepuk-nepuk celananya yang kotor, berusaha mengusir debu sekaligus rasa malunya.

“Umm … anu … nggak apa-apa, kok,” jawabnya sok nyantai, meski suaranya sedikit pecah. “Makasih banyak, ya, udah nolongin.”

Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia membiarkan jeda hening menggantung selama beberapa detak jantung, seolah membiarkan angin sore mengambil alih percakapan mereka.

Pandangannya yang dingin menyapu ujung sepatu Dimas hingga ke wajah pemuda itu, seolah sedang melakukan penelitian adab. Entah apa yang dipikirkannya.

Ia memberikan satu anggukan singkat.

Pandangannya kemudian bergeser perlahan, lepas dari wajah Dimas. Bola matanya bergerak lincah menyisir sekitar sebelum akhirnya ia memutus kontak sepenuhnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, gadis itu memutar tumit, lalu melangkah pergi dengan ritme yang teratur, meninggalkan Dimas yang masih terpaku di tempatnya.

Kekecewaan merayapi dada Dimas. Otaknya menjerit panik, membunyikan alarm darurat. Ayo, Dimas! Ngomong sesuatu yang keren! Tahan dia! Jangan cemen!

Namun, sistem motorik mulutnya seolah mengalami kegagalan fungsi total. Yang keluar hanyalah helaan napas putus asa. Tenggorokannya terasa kering kerontang. Ia hanya bisa menelan ludah, bersiap menerima takdirnya sebagai NPC yang cuma numpang lewat dalam hidup gadis itu.

Langkah si gadis tiba-tiba berhenti. 

Ia memutar tubuh setengah poros, pandangannya menunduk ke samping. “Kalau mau nyeberang, lain kali hati-hati, Mas.” 

Mata Dimas membelalak. Plot twist, Gaes! Jangan sia-siakan!

“Oh, aku … bukan mau nyebrang, kok,” sanggah Dimas cepat. Ia buru-buru mengatur nada suaranya agar terdengar berat, berusaha setengah mati untuk terlihat cool. “Tadi itu ... aku cuma mau nolongin bekicot.”

“Bekicot?” Satu alis gadis itu terangkat skeptis.

Dengan penuh percaya diri, Dimas menyunggingkan senyum simpul andalannya sambil menyodorkan telapak tangannya yang menguncup ke hadapan si gadis. Niatnya nunjukin si bekicot dalam posisi terbalik. Gestur seorang pahlawan hewan. 

Pandangannya meluncur ke tangan Dimas, menatapnya lamat-lamat, lalu beralih ke wajah Dimas, dan kembali lagi ke tangan itu.

Hening.

Telapak menguncup itu kosong melompong. Bekicot imajiner itu jelas tidak ada di sana.

Dahi gadis itu berkerut dalam, bingung bercampur curiga. “Yang mana?”

Hah?

Jantung Dimas rasanya copot seketika. Matanya mengerjap bodoh menatap telapak tangannya yang kosong melompong. Mampus. Bekicotnya hilang? Jatuh ke mana?

Keringat dingin mulai merembes. Dengan gugup ia memutar pergelangan tangannya perlahan-lahan. Memperlihatkan sisi sebaliknya.

Benar saja.

Di punggung tangannya, menempel dengan begitu khidmat. Si moluska kecil sedang merayap santai, seolah sedang menikmati tur wisata di atas kulit Dimas, meninggalkan jejak lendir basah yang berkilauan ditimpa cahaya matahari.

“AAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”

Dimas panik akut. Sambil berputar-putar di tempat, ia menyodorkan tangannya sejauh mungkin dari tubuhnya, seolah memegang granat lendir yang siap meledak.

“Eh, k-kenapa?!” Gadis itu ikutan panik melihatnya, refleks mundur selangkah.

“TOLONG! TOLONG! BEKICOT!”

“Dikibaskan saja, Mas!” sarannya, sambil ikut mengibas-ngibaskan tangannya sendiri dari jauh.

“JANGAN! NANTI PECAH DIA! MATI!” balas Dimas histeris. “Tolong ambilin, Mbak! Aku jijik!”

Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kiri. Kanan. Belakang. Ia berharap ada satpam, tukang parkir, atau siapa pun yang bisa menggantikan posisinya saat ini.

Nihil. Jalanan itu sunyi senyap. Ia terjebak dengan pemuda aneh ini.

Gadis itu menatap Dimas yang masih berputar-putar seperti gasing rusak, beserta bekicotnya yang "bertakhta" di tangan pemuda itu. Terdengar helaan napas panjang—tanda penyerahan diri pada nasib.

Dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian, gadis itu akhirnya melangkah maju.

"Mas! Berhenti dulu! Gimana saya mau ambil kalau Masnya muter terus?" Nadanya terdengar kesal.

Dimas ngerem mendadak. Mematung kaku dengan tangan masih terulur lurus ke depan.

"Tahan. Jangan gerak," perintah gadis itu lagi.

Ia menyipitkan mata fokus pada target. 

“Bismillah … iiih ….”

Dengan wajah menahan jijik, ia menjepit cangkang bekicot itu menggunakan ujung ibu jari dan telunjuknya yang lentik. 

Begitu cangkang itu ditarik perlahan, lapisan lendir yang menempel di kulit Dimas ikut terangkat. Sensasi dingin dan lengket itu seketika mengirim sinyal kejut ke seluruh sistem sarafnya. Tubuh Dimas refleks menggeliat, seperti cacing kepanasan.

“Aaah … pelan-pelan, Mbak … geli ….”

“Uuh … basah banget ini, Mas. Jadi licin pegangnya.” 

“Cabut aja, Mbak! Buruan!”

“Sebentar … ini … keras … susah lepasnya!”

“Aduh … udah nggak kuat aku!”

“Tahan, Mas! Dikit lagi!”

Oke. Kalau ada orang denger tapi nggak liat adegannya, obrolan ini bisa jadi kesalahpahaman level dewa.

Gagal. 

Setelah melalui beberapa percobaan, gadis itu tidak tega menariknya kuat-kuat, takut cangkangnya lepas. 

Ia berpikir sejenak. “Coba tempelkan tangan Mas di pohon itu, biar dia jalan sendiri.”

“Oh, ide bagus.” Mereka pun mendekati sebuah batang pohon. Dimas menempelkan punggung tangannya yang gemetaran ke dahan. 

Bekicot itu sepertinya trauma, langsung masuk mode pertapa, menarik seluruh badannya ke dalam cangkang.

“Kalau dipancing pakai makanan gimana?” usul Dimas. 

Gadis itu mengangguk, lalu mencabut setangkai daun bayam liar di dekatnya. Dengan gerakan lincah, ia kembali ke sisi Dimas.

“Ayo, sini-sini!” Gadis itu mengibaskan bayamnya di depan rumah si bekicot. Tak ada reaksi.

“Coba sentuhin ke badannya,” kata Dimas sambil menunjuk.

Saat ujung daun itu menyentuh daging bekicot yang lembek, dua antena panjang keluar dari kepalanya, bergerak-gerak aktif.

“EWWWWW ….” Dimas dan gadis itu sama-sama geli, merinding kompak. 

“Makhluk apa ini? Alien,” komentar Dimas dengan muka masam.

Bekicot itu perlahan mulai bergerak, mengikuti arah daun bayam di tangan si gadis yang dengan sabar menuntunnya.

Dimas tiba-tiba tersadar bahwa jaraknya dengan gadis itu sangat dekat. 

Secara biologis, otak laki-laki didesain sebagai makhluk visual yang agresif. Ketika retina menangkap keberadaan lawan jenis dalam radius intim, nucleus accumbens—pusat sirkuit penghargaan di otak—berteriak menuntut asupan data visual yang lebih detail. Ini bukan sekadar rasa ingin tahu, melainkan respons testosteron untuk melakukan pengamatan terhadap "sesuatu" yang dianggap menarik.

Akibat kalah telak oleh dorongan biologis tersebut, Dimas tidak bisa menahan diri untuk melirik.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 7 ANOMALI

    Gadis itu tampak tenggelam sepenuhnya dalam misi absurd menuntun seekor bekicot ke tempat aman. Seluruh dunianya seolah menyempit, hanya tersisa dia dan si hewan berlendir itu.Namun bagi Dimas, magnet sesungguhnya ada pada sosok bergamis hitam di depannya.Apalagi kalau dilihat dari samping seperti ini. Dimas bisa melihat dengan jelas bagaimana setiap kali kelopak mata gadis itu mengerjap pelan, barisan bulu matanya yang lentik ikut berayun lembut—seperti kipas sutra yang menyihir.Aku harus ngomong sesuatu nggak, ya? Tapi apa? Nanti kalau dia ilfeel gimana? Dalam keputusasaan itu, batinnya menjerit. Woy! Setya, di saat-saat penting gini kamu di mana?! Nama "Setya" yang terlintas di benaknya itu bekerja seperti saklar yang dinyalakan mendadak.Eh, tadi kan telponan sama dia?Dimas tiba-tiba teringat pada ponselnya. Ia menengok ke belakang. Beneran.Di sana, tergeletak pasrah di atas kerasnya trotoar, “setan gepeng” itu tampak mengenaskan. Layarnya menghadap ke atas, menampilkan ret

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 6 GADIS BERCADAR

    Otak Dimas langsung sibuk memproses semua file gosip yang pernah ia dengar. Katanya mereka itu punya “geng” sendiri. Kalau diajak salaman pasti nolak, ngobrol cuma sama yang sejenis, terus kalau ngeliatin orang tatapannya galak. Hidupnya kaku, isinya cuma pengajian sama aturan-aturan ketat. Mereka nggak nongkrong di kafe, nonton bioskop, maraton anime, dan tentu saja, nge-game semaleman.Dimas baru ingat, barusan ada bubaran acara di masjid yang ia lewati; gadis ini pasti salah satu dari mereka. Dimas nggak pernah sekalipun punya minat, apalagi rencana, untuk berinteraksi dengan kaum ini.Tapi sekarang, di sini, salah satunya sedang berdiri di depannya. Habis menyelamatkan nyawanya. Gara-ga

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 5 BEKICOT

    “GUOBLOOOK AS#XB%*^@!” Dimas berjalan lemas mendengarkan caci makian koleksi kebun binatang Setia dengan pasrah. Mungkin dia memang pantas mendapatkannya. Ya, kan? Nggak ada harapan lagi buat punya cewek, batinnya getir. Mereka semua wanginya kayak monster.Bagi Dimas, semua aroma berbahaya. Tapi musuh-musuhnya punya kasta.Bau sampah, keringat abang becak, atau pipis kucing? Itu cuma level kroco. Monster yang serangannya tumpul. Dimas masih bisa menahannya dengan bernapas pendek-pendek.Tapi parfum?Beda level. Mereka adalah penipu ulung. Di hidung orang normal, parfum adalah wewangian yang menyenangkan. Tapi di sensor hiperosmia Dimas, campuran zat kimia sintetis itu bermutasi menjadi makhluk yang jauh lebih mengerikan.Contohnya monster si cewek di taman tadi.Kepalanya mungkin berbentuk mawar raksasa yang cantik, tapi kelopaknya bukan lembaran bunga indah, melainkan mulut besar dengan ribuan gigi tajam. Batang-batangnya yang penuh duri bakal menusuk hidung dan memeras paru-paru

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 4 TAKE A CHANCE

    Dimas duduk lemas di trotoar. Dari sakunya, ia mengeluarkan botol kecil berisi pil andalan anti mual; latihan bertahun-tahun membuatnya fasih menelan obat-obatan itu tanpa air. Setelah beberapa detik, ia memakai tameng andalannya: sebuah masker respirator industrial setengah wajah. Masker biasa? Gak level. Masker ini di sisi kanan kirinya nempel dua kartrid yang isinya karbon aktif, arang sakti yang tugasnya nyedot semua bebauan. Mau asap knalpot, comberan, sampai aroma sate legendaris di ujung jalan—semua di-end dari realita.Hadirin sekalian, perkenalkan: Dimas. Seorang sarjana yang baru hunting kerjaan, dibekali ijazah dan sebuah kutukan bernama hiperosmia. Baginya, indra penciuman bukanlah anugerah, melainkan neraka personal di mana setiap bau menyengat bisa berevolusi. Di dalam otaknya, asap kendaraan bisa jadi raksasa bersenjata gada dan aroma pete menjadi monster tanaman yang siap menembakkan peluru penderitaan.Dengan satu tarikan tegas spidol hitam, Dimas mencoret satu nama

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 3 HOEK

    Kenapa aku sampe gemeteran sama toko parfum? Sebenernya udah lama aku musuhan sama semua bau. Nggak cuman parfum. Tapi trauma ini mendadak naik level gara-gara rentetan kerusuhan pagi tadi.Ingatan Dimas melayang mundur.Saat itu, di ruang HRD studio digital printing, Dimas berusaha duduk tegap. Di depannya ada om-om yang gayanya udah kayak yang paling punya kantor. Kakinya nangkring santai di atas meja, nunjukin sol sandalnya yang semulus pipi artis Korea. Di situ tertempel noda cokelat misterius. Mudah-mudahan bukan eek kucing.Si om HR membolak-balik CV Dimas dengan kecepatan siput, seolah sedang meneliti naskah kuno. Tatapan matanya kosong kayak isi dompet akhir bulan. Dimas melirik jam dinding di sebelah kirinya; sudah sepuluh menit lebih jarumnya bergeser dalam keheningan. Mumpung nganggur, ia pun mengamati sekitar. Ruangan ini ternyata multifungsi: ruang kerja, gudang, sekaligus sauna. Tumpukan kertas dan gulungan spanduk membentuk lanskap pegunungan di setiap sudutnya. Satu

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 2 TAKDIR

    “Waduh, ini mah K-Pop, Mas. Tampangnya sama semua,” keluh si abang ojol, semangatnya amblas.Mampus. Yang mana, nih?! Matanya melesat liar dari satu bus ke bus lainnya.Si abang ojol menunjuk ke depan, ke layar countdown timer lampu lalu lintas."Gawat, Mas," katanya sambil menelan ludah. "Itu bentar lagi ijo. Masalahnya, ini perempatan besar. Semua bus itu bakal mencar, Mas."Ia menoleh ke Dimas. "Mas cuma punya waktu 15 detik buat nentuin mau buntutin yang mana. Mas tadi sempet liat nomor jurusannya, nggak?"Dimas blank. Lupa memperhatikan detail seperti itu. Alhasil abang ojek langsung membuang muka sambil meluncurkan komentar-komentar tidak membangun.Dimas belum menyerah. “Bang, jalan pelan-pelan di samping bus,” nadanya tegas kayak komandan pasukan khusus. “Aku cek penumpangnya.”Rencana rempong itu pun dijalankan. Dimas bangkit berdiri di pijakan kaki belakang, berpegangan pada bahu si abang. Sesekali badannya goyang, berusaha menjaga keseimbangan. Motor mereka merayap pelan d

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status