Home / Pendekar / PEDANG NAGA LANGIT / Bab 102 – Mata-Mata dalam Istana

Share

Bab 102 – Mata-Mata dalam Istana

Author: Andi Iwa
last update Last Updated: 2025-04-20 08:30:21

Angin malam berdesir lembut melewati jendela-jendela istana, membawa bisikan rahasia yang tak bisa didengar oleh telinga biasa. Di balik tirai megah yang membalut istana utama, Putri Ling’er duduk diam di dalam ruang pribadinya, matanya tertuju pada sebuah lencana besi yang tampak asing di telapak tangannya.

“Ini... ini bukan milik pasukan kekaisaran,” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Lencana itu bersimbol kepala naga terbelah dua—lambang militer dari negara bagian sebelah barat, Bai Yue. Tapi, bagaimana bisa benda seperti ini ditemukan di kamar salah satu pengawal pribadi Kaisar?

Hatinya bergemuruh. Dadanya sesak oleh kekhawatiran yang belum punya bentuk. “Tidak mungkin... tidak mungkin ini hanya kebetulan,” gumamnya sembari berdiri dan menyembunyikan lencana itu dalam lengan bajunya.

Beberapa jam sebelumnya...

Ling’er, dengan langkah hati-hati dan penuh curiga, menyusuri koridor sempit yang hanya digunakan o
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 103 – Pengkhianatan Sang Guru

    "Hah...?!" Li Feng membeku. Suara itu. Suara yang begitu akrab namun kini terdengar asing, seperti sebilah pisau yang menembus langsung ke dalam hatinya. Ia perlahan menoleh ke arah suara tersebut, dan matanya membelalak saat melihat sosok berjubah putih dengan rambut panjang yang sebagian telah memutih. Cahaya remang dari obor yang tergantung di lorong bawah tanah istana memperlihatkan wajah yang pernah ia hormati lebih dari siapa pun di dunia ini. "Master Bai...?!" Sosok itu tersenyum samar, namun bukan senyum kebijaksanaan yang biasa Li Feng lihat dulu. Senyum itu penuh rahasia, dingin, dan... getir. Sejenak, tak ada suara lain kecuali bunyi tetesan air dari langit-langit lorong tua itu. "Kau tumbuh lebih cepat dari yang kuduga, Feng'er," ucap Master Bai pelan, nadanya seperti angin musim gugur yang melintasi padang kematian. "Sayangnya, kau tumbuh untuk menentang takdirmu." "Takdir...?!" Li Feng menggeram

    Last Updated : 2025-04-21
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 104 - Rencana Kaisar yang Terlambat

    “Hah… terlalu banyak darah di tanah ini,” desah Kaisar perlahan, memandang keluar jendela ruang strateginya. Mata tuanya, yang dulu tajam dan penuh wibawa, kini suram dan bergetar. Di luar, langit kelabu seperti ikut meratap. Asap tipis mengepul dari kejauhan — sisa-sisa serangan malam yang telah merenggut ratusan nyawa. Tanah kekaisaran, dulu damai, kini nyaris tak bisa dibedakan dari medan perang. “Ampun, Paduka…” suara Perdana Menteri Han bergetar. “Jika kita tak bertindak segera, gerbang selatan bisa jatuh dalam dua hari.” “Dua hari?” Kaisar memalingkan pandangan. “Tidak. Mereka akan menyerang malam ini.” Seketika ruangan itu hening. Bahkan para jenderal yang berdiri di sisi kanan dan kiri ruangan saling pandang, kaget. “Mal—malam ini, Yang Mulia?” tanya Jenderal Mo sambil menahan napas. Kaisar mengangguk. “Aku bisa merasakannya. Mereka sudah menyusup terlalu dalam. Bahkan dalam mimpiku, ak

    Last Updated : 2025-04-21
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 105 – Musuh dalam Selimut

    Udara pagi di ibu kota terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman dalam Istana Timur, tempat Dewan Perang biasa berkumpul. Suara langkah kaki terdengar nyaring memecah keheningan, disusul oleh suara pintu besar yang berderit pelan saat dibuka. "Masuklah," ujar suara berat Jenderal Panglima Wei, tatapannya tajam menelusuri satu per satu wajah para jenderal dan penasihat yang hadir. Ia mengenakan jubah perang dengan benang emas di bahunya, lambang kepercayaan penuh dari Kaisar. Li Feng berdiri di sudut ruangan, dengan tatapan waspada. Ia sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres sejak laporan tentang dokumen rahasia yang dibakar tersebar. Ia tahu, ada pengkhianat di antara mereka—dan pagi ini, kebenaran itu akan terungkap. "Tutup pintunya," perintah Panglima Wei. Suasana menjadi hening. Tak ada suara selain napas tertahan dan detak jantung yang memburu. Panglima Wei mengangkat satu gulun

    Last Updated : 2025-04-22
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 106 – Kebenaran Tentang Ayah Li Feng

    Gubrak! Kursi di ruang sidang Dewan Perang jatuh ke lantai ketika Li Feng berdiri mendadak. Matanya menatap lurus ke depan, namun dunia di sekelilingnya seolah memutar cepat dan memudar. "Jenderal Yu…?" gumamnya, nyaris tak terdengar. "Mustahil…" Tetapi tatapan kosong para perwira dan ekspresi getir Kaisar mengkonfirmasi satu hal: ini bukan kesalahan. Ini kenyataan. Pahit dan tajam. Jenderal Yu, lelaki tua yang selama ini dianggap sebagai pilar setia kekaisaran… ternyata bagian dari konspirasi yang selama ini menghancurkan negeri. "Aku... tak percaya...," desis Li Feng. "Feng'er, kendalikan dirimu," bisik Putri Ling’er di sampingnya. Ia menggenggam lengan pemuda itu erat-erat, seakan mencoba menahan tubuh Li Feng yang nyaris roboh oleh beban kabar itu. Namun hatinya bukan hanya remuk oleh pengkhianatan Jenderal Yu. Ada hal lain. Sebuah nama yang berputar-putar dalam pikirannya, t

    Last Updated : 2025-04-22
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 107 – Serangan di Malam Hari

    Langit malam begitu pekat. Bintang-bintang seolah lenyap di balik selimut mendung yang menggantung berat. Suara jangkrik yang biasanya mengiringi malam terasa sunyi, terlalu sunyi. Seolah seluruh alam menahan napas. "Hm?" Li Feng membuka matanya perlahan. Dada kirinya terasa sesak. Entah kenapa, firasat buruk menyelimutinya, membuat tengkuknya dingin meski api unggun masih menyala di tengah kamp. Baru saja ia hendak bangkit dari balai-balai tempatnya beristirahat, terdengar pekikan—keras, tajam, memilukan! "Serangaaaan!! Musuh menyerang!!" BRAAAK! Tembok kayu sisi utara roboh dihantam benda berat. Api menyala dari arah dapur logistik. Dalam hitungan detik, kamp utama kekaisaran berubah menjadi neraka di tengah malam. "Ling’er!! Di mana Putri Ling’er!?" Li Feng melonjak bangun, menghunus Pedang Naga Langit yang kini bersinar samar, seolah menyerap cahaya kebencian di sekelilingnya.

    Last Updated : 2025-04-23
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 108 – Ling’er yang Terluka

    "Ling’er! Ling’er!!" Li Feng menerobos asap tebal dan kobaran api yang menjilat langit malam. Debu, bara, dan darah bercampur jadi satu. Tubuhnya penuh luka, pakaiannya koyak oleh pertempuran, namun matanya liar mencari satu sosok—sosok yang ia rindukan, yang tak pernah ingin ia lepaskan lagi. Tapi... kosong. "Tidak!!" Ia berlari menuju tenda tempat terakhir ia melihat Putri Ling’er. Di sana—puing-puing tenda terbakar, bercak darah segar, dan... sehelai kain merah. Kain itu, terburai ditiup angin malam, tertancap panah hitam panjang di ujungnya. Jantung Li Feng seakan diremas. Ia berlutut. Tangannya gemetar saat ia menyentuh kain merah itu. Bekas sobekan di pinggirnya—ia mengenalinya. Itu dari gaun tempur milik Ling’er. Gaun yang ia pilihkan sendiri, saat mereka bersiap menyambut serangan pertama dari musuh. “Supaya kau bisa bertarung dengan tetap anggun,” katanya waktu itu. Dan ia tertawa, jenaka seperti biasa.

    Last Updated : 2025-04-23
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 109 – Jalan Sunyi Seorang Pendekar

    Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan darah yang belum kering dari pertempuran semalam. Di kejauhan, suara burung hantu terdengar menyayat, seolah ikut meratapi nasib yang tertulis malam itu. Di balik bayang-bayang pepohonan gelap, seorang pria muda melangkah pelan, membawa luka dalam dada yang tak kasat mata. "Ling’er..." bisik Li Feng, nyaris tanpa suara. Sehelai kain merah—robek dan ternoda darah—masih tergenggam erat di tangannya. Panah yang menancapkannya di batang pohon telah ia patahkan, tetapi rasa sakit yang ditinggalkan lebih dalam dari luka mana pun yang pernah ia terima. Ling’er... ditangkap. Ling’er... terluka. Dan ia... gagal. "ARGHHH!!!" Pekikan itu menggema di hutan, menggetarkan dedaunan dan membuat burung-burung malam beterbangan. Li Feng jatuh berlutut, kedua tangannya menggenggam tanah. Gigi terkatup rapat, rahangnya bergetar. Luka di bahu kirinya belum kering, tetapi amarah dan rasa

    Last Updated : 2025-04-24
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 110 – Dua Pedang yang Berbicara

    Langit malam dipenuhi awan gelap, seperti menutupi bisikan alam yang tahu bahwa sesuatu besar akan terjadi. Angin berhembus pelan namun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Li Feng berdiri terpaku di hadapan sosok berjubah hitam, di tengah hutan sunyi di perbatasan wilayah musuh. Nafasnya terengah, tubuhnya dipenuhi debu dan luka dari perjalanan panjang. Namun matanya—ya, matanya—tetap tajam, penuh tekad. Sosok itu tidak bergerak. Hanya helai jubahnya yang berkibar lembut mengikuti angin malam. Di kedua sisi pinggangnya tergantung dua pedang: satu berwarna hitam kelam dengan gagang berukir naga, satunya lagi keperakan dengan kilau samar seperti cahaya bulan. "Siapa kau?" tanya Li Feng dengan suara serak, tangannya menggenggam erat sarung Pedang Naga Langit di punggungnya. "Namaku tak penting," jawab sosok itu, suaranya dalam dan bergema, seperti datang dari dua arah sekaligus. "Yang penting adalah—kau membawa pedang itu."

    Last Updated : 2025-04-24

Latest chapter

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 134 – Surat Wasiat yang Tertinggal

    Angin malam berdesir di antara pilar-pilar Istana Selatan, membawa aroma darah yang masih hangat. Li Feng berdiri mematung. Di hadapannya, tubuh Perdana Menteri Gao tergeletak tak bernyawa, darah mengalir perlahan dari luka di lehernya — merah pekat di atas lantai batu putih yang bersih. "Guru..." gumamnya lirih, hampir seperti bisikan yang hilang tertiup angin. Ia mengepalkan tinjunya, gemetar. "Mengapa harus begini...?!" Di tangan Gao yang membeku, sebuah gulungan kecil tampak tersembunyi, hampir terlewatkan jika Li Feng tidak memperhatikannya dengan saksama. Dengan langkah berat, seolah setiap gerakan menambah beban di pundaknya, ia berlutut dan mengambil gulungan itu. Kulitnya sudah rapuh, nyaris retak di setiap sudutnya, seperti usianya yang sudah terlalu tua untuk membawa rahasia besar. Li Feng menarik napas dalam-dalam. Srek! Ia membuka gulungan itu perlahan, takut bahwa sedikit saja kecerobohan akan m

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 133 – Kesetiaan yang Palsu

    Langkah-langkah itu terdengar menggema di lorong panjang Istana Timur, seirama dengan detak jantung Li Feng yang berdentam di telinganya. “Hah... hah...” Napasnya berat, tapi matanya tetap tajam, menusuk kegelapan seperti pedang yang terhunus. Bayangan Perdana Menteri Gao sudah tampak di depan. Tubuh tua itu berdiri tenang, seolah-olah telah menunggunya sejak lama. Sebuah senyum getir melintas di wajah keriput itu, penuh kelelahan... dan penyesalan. "Li Feng..." Gao mengangguk pelan, suaranya serak. "Akhirnya kau datang." Li Feng berhenti beberapa langkah di depannya. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. "Mengapa, Guru...?" suaranya pecah, setengah berteriak, setengah memohon. "Mengapa Anda... Anda yang dulu mengajarkan saya tentang kehormatan, tentang kesetiaan pada negeri ini... malah berkhianat?!" Perdana Menteri Gao menghela napas panjang. "Kesetiaan?" Ia terkekeh pahit. "Apa itu kesetiaan, anak muda? Pada siapa ka

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 132 – Jejak Pengkhianat di Istana

    Malam itu, langit di atas ibu kota menggantung berat, seolah menahan ribuan jeritan yang tak pernah diucapkan. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan batu, membuat istana megah di kejauhan tampak seperti bayangan raksasa yang menyamar di balik dunia nyata. Li Feng menarik napas dalam-dalam. Sial… pikirnya. Setiap langkah yang ia ambil di atas tanah kekaisaran kini terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Tidak ada lagi tempat yang aman. Tidak ada lagi wajah yang bisa dipercayai. "Kau yakin mau melakukan ini?" suara Mei Yue, pelan seperti desir angin, membelah kebisuan malam. Li Feng menoleh. Mata perempuan itu bersinar dalam temaram lentera jauh di belakang mereka. Ada ketegangan, ada keraguan. Tapi yang paling kuat… ada ketakutan. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuknya — untuk Li Feng. "Huh," Li Feng mendengus, setengah tersenyum getir. "Kalau bukan aku, siapa lagi?" Tanpa menunggu jawaban, ia melangka

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 131 – Negeri yang Telah Lama Hilang

    Langit abu-abu menggantung berat di atas reruntuhan Tianxiang, seakan langit sendiri menangisi kota yang pernah bersinar seperti permata di tengah kekaisaran. Angin membawa debu dan bau darah, menusuk ke dalam lubuk jiwa mereka yang masih bertahan. Li Feng berdiri diam, memegang gulungan kuno erat-erat di tangannya, seolah-olah kertas tua itu adalah satu-satunya jangkar yang mengikatnya pada kenyataan. "Sumpah Kaisar Pertama..." gumamnya lirih, matanya yang merah menatap kosong ke depan. "Shen Lu... negeri yang sudah lama dikabarkan lenyap... ternyata belum pernah benar-benar hilang..." Di sampingnya, Mei Yue memandang dengan tatapan gelap, seakan hatinya tahu lebih banyak daripada apa yang berani ia katakan. Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik, “Li Feng, kita harus berbicara. Sekarang.” Li Feng mengangguk tanpa suara. Keduanya bergegas ke sebuah bangunan setengah roboh — bekas rumah seorang saudagar, kini hanya kerangka

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 130 – Sumpah Kaisar Pertama

    Angin malam menusuk kulit, bagai jarum-jarum halus yang menari di sepanjang reruntuhan Kota Tianxiang. Asap membubung ke langit gelap, dan di antara puing-puing, Li Feng berlutut dengan tubuh menggigil, memeluk tubuh rapuh Putri Ling’er. “Ling’er…” suaranya serak, hampir tak terdengar. Putri itu menggenggam tangan Li Feng, lalu — dengan napas tersengal — menyerahkan sebuah gulungan tua, warnanya pudar, talinya nyaris rapuh. "Ini... rahasia... takdir kita," bisiknya. "Bawa... gulungan ini... ke tempat yang aman, Li Feng... Demi kita semua..." Dan kemudian—duk!—kepalanya terkulai di pelukan Li Feng. Li Feng menahan napas. “T-tidak… Tidak! Jangan tinggalkan aku!” Ia mengguncang tubuh Ling’er, matanya memanas, suara di dadanya bergemuruh seperti badai. "Aaaaaargh!" pekiknya, membebaskan kemarahan, kepedihan, dan penyesalan dalam satu teriakan panjang yang menggetarkan udara. Namun, t

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 129 – Air Mata Pendekar

    Api masih membara di mana-mana. Langit di atas Kota Tianxiang bukan lagi biru — melainkan merah darah, seperti dewa-dewa marah menumpahkan kemarahan mereka ke bumi. Debu dan asap membuat napas terasa berat. Setiap langkah terasa seolah melangkah ke dalam dunia yang baru saja dilahirkan kembali… lewat penderitaan. "Li... Feng..." Suara itu... lemah, serak. Hampir tak terdengar di tengah gemuruh bangunan yang runtuh. Tapi bagi Li Feng, suara itu lebih nyaring daripada semua guntur di dunia ini. "Aku di sini!" teriak Li Feng dengan panik, berlutut di sisi tubuh rapuh Putri Ling'er yang tergeletak di atas reruntuhan bata dan kayu. "Ya Tian... ya Langit..." gumamnya. Luka di tubuh Ling’er begitu parah—darah mengalir di sudut bibirnya, dan kulitnya lebih pucat dari salju. Tapi matanya... mata itu masih mencari-cari dirinya. Masih hidup. Li Feng meraih tangan Ling’er yang gemetar, mengangkat tubuhnya

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 128 – Api yang Tak Bisa Dipadamkan

    Angin malam menerpa keras, membawa bau logam darah dan asap terbakar ke setiap sudut kota. "Sialan... Apa ini?!" Li Feng terhuyung beberapa langkah ke belakang, matanya membelalak saat melihat lautan api melalap jalanan utama Kota Tianxiang. Gedung-gedung kayu runtuh satu demi satu, jeritan manusia, ringkik kuda, dan dentang senjata saling bertubrukan di udara, menciptakan kekacauan yang mencekik. "Tidak mungkin..." bisiknya. Hanya dalam semalam, kota megah itu — yang dulunya penuh hingar-bingar pedagang dan rakyat yang bercanda riang — berubah menjadi neraka di bumi. "Li Feng!" Teriakan Mei Yue mengembalikannya ke dunia nyata. Wanita itu berlari mendekat, wajahnya dipenuhi abu dan darah — entah darah siapa. "Pasukan asing! Mereka menyerang!" serunya, napas memburu. "Kita harus segera keluar dari sini sebelum—" BOOM! Ledakan keras mengguncang tanah. Dari kejauhan, sebuah menara pengawas runtuh, meng

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 127 – Kepingan Takdir

    "Tidak mungkin..." bisik Li Feng, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kesunyian Hutan Terlarang. Bayangan-bayangan makhluk hitam yang tadinya mengepung mereka telah lenyap, sirna bersama alunan nyanyian kuno Mei Yue. Namun, yang tersisa bukanlah ketenangan—melainkan kekacauan yang menggerogoti batin mereka. Mei Yue berdiri terpaku, matanya membelalak, bibirnya bergetar. "Aku..." katanya dengan suara serak. "Aku tak pernah tahu... bahwa ibuku..." Li Feng mengatupkan kedua tangan, mencoba menahan getaran di dadanya. Sial! Dunia terasa seakan terbalik. Seluruh perjalanan mereka, seluruh pertarungan mereka, semuanya—ternyata terikat pada sesuatu yang lebih besar, lebih kelam daripada yang pernah ia bayangkan. "Aku harus tahu lebih banyak," katanya tegas, langkahnya tertatih mendekati Mei Yue. "Kau... kau harus memberitahuku semua!" Mei Yue menggeleng perlahan. "Aku... aku hanya i

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 126 – Nyanyian Kematian

    Kabut hitam itu... astaga, seperti lautan tak berujung, bergulung dari segala penjuru. Li Feng menggenggam erat Pedang Naga Langit di tangannya yang gemetar. Tubuhnya penuh luka gores, nafasnya memburu. "Li Feng!" seru Mei Yue, matanya membelalak ngeri. "Kita harus menyanyikan lagu itu... atau kita mati di sini!" Li Feng mengayunkan pedangnya, membelah satu makhluk hitam. Namun, sialan, tubuh itu tak hancur — malah membentuk diri kembali seperti asap pekat! "T-tidak mungkin...," desah Li Feng, mundur selangkah, lalu dua langkah. Makhluk-makhluk itu mendekat dengan gerakan aneh, seperti boneka-boneka yang digerakkan oleh tali tak kasatmata. "Apa maksudmu lagu? Lagu apa?!" raung Li Feng, kebingungan di tengah kekacauan. Mei Yue menggigit bibirnya, wajahnya pucat. Lalu, dengan suara yang bergetar, ia mulai bersenandung. Nada itu... oh! Nada itu seperti desir angin di padang gurun, sedih, mera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status