Kabut tipis menggantung rendah di atas pepohonan raksasa, melilit batang-batang tua yang menghitam bagai jari-jari kematian. Udara di Hutan Terlarang terasa berat, seolah setiap helai napas yang dihirup membawa serta beban seribu arwah yang belum tenang.
"Huff... tempat ini..." Mei Yue menarik napas pendek, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Terasa... salah." Li Feng menggenggam gagang Pedang Naga Langit lebih erat. "Aku tahu," katanya serak. "Tapi kita tak punya pilihan lain." Di balik suara burung hantu yang sesekali mengerik aneh, terdengar bunyi gemerisik—seperti sesuatu yang merayap perlahan di antara semak-semak. Li Feng menghentikan langkah. Mei Yue mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam. Tiba-tiba—SRRAK!—sebuah bayangan melintas cepat di depan mereka. "Siapa itu?!" seru Li Feng sambil bersiap bertarung. Tak ada jawaban. Hanya keheningan... lalu suara bisikan. Seolah-olahKabut hitam itu... astaga, seperti lautan tak berujung, bergulung dari segala penjuru. Li Feng menggenggam erat Pedang Naga Langit di tangannya yang gemetar. Tubuhnya penuh luka gores, nafasnya memburu. "Li Feng!" seru Mei Yue, matanya membelalak ngeri. "Kita harus menyanyikan lagu itu... atau kita mati di sini!" Li Feng mengayunkan pedangnya, membelah satu makhluk hitam. Namun, sialan, tubuh itu tak hancur — malah membentuk diri kembali seperti asap pekat! "T-tidak mungkin...," desah Li Feng, mundur selangkah, lalu dua langkah. Makhluk-makhluk itu mendekat dengan gerakan aneh, seperti boneka-boneka yang digerakkan oleh tali tak kasatmata. "Apa maksudmu lagu? Lagu apa?!" raung Li Feng, kebingungan di tengah kekacauan. Mei Yue menggigit bibirnya, wajahnya pucat. Lalu, dengan suara yang bergetar, ia mulai bersenandung. Nada itu... oh! Nada itu seperti desir angin di padang gurun, sedih, mera
"Tidak mungkin..." bisik Li Feng, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kesunyian Hutan Terlarang. Bayangan-bayangan makhluk hitam yang tadinya mengepung mereka telah lenyap, sirna bersama alunan nyanyian kuno Mei Yue. Namun, yang tersisa bukanlah ketenangan—melainkan kekacauan yang menggerogoti batin mereka. Mei Yue berdiri terpaku, matanya membelalak, bibirnya bergetar. "Aku..." katanya dengan suara serak. "Aku tak pernah tahu... bahwa ibuku..." Li Feng mengatupkan kedua tangan, mencoba menahan getaran di dadanya. Sial! Dunia terasa seakan terbalik. Seluruh perjalanan mereka, seluruh pertarungan mereka, semuanya—ternyata terikat pada sesuatu yang lebih besar, lebih kelam daripada yang pernah ia bayangkan. "Aku harus tahu lebih banyak," katanya tegas, langkahnya tertatih mendekati Mei Yue. "Kau... kau harus memberitahuku semua!" Mei Yue menggeleng perlahan. "Aku... aku hanya i
Angin malam menerpa keras, membawa bau logam darah dan asap terbakar ke setiap sudut kota. "Sialan... Apa ini?!" Li Feng terhuyung beberapa langkah ke belakang, matanya membelalak saat melihat lautan api melalap jalanan utama Kota Tianxiang. Gedung-gedung kayu runtuh satu demi satu, jeritan manusia, ringkik kuda, dan dentang senjata saling bertubrukan di udara, menciptakan kekacauan yang mencekik. "Tidak mungkin..." bisiknya. Hanya dalam semalam, kota megah itu — yang dulunya penuh hingar-bingar pedagang dan rakyat yang bercanda riang — berubah menjadi neraka di bumi. "Li Feng!" Teriakan Mei Yue mengembalikannya ke dunia nyata. Wanita itu berlari mendekat, wajahnya dipenuhi abu dan darah — entah darah siapa. "Pasukan asing! Mereka menyerang!" serunya, napas memburu. "Kita harus segera keluar dari sini sebelum—" BOOM! Ledakan keras mengguncang tanah. Dari kejauhan, sebuah menara pengawas runtuh, meng
Api masih membara di mana-mana. Langit di atas Kota Tianxiang bukan lagi biru — melainkan merah darah, seperti dewa-dewa marah menumpahkan kemarahan mereka ke bumi. Debu dan asap membuat napas terasa berat. Setiap langkah terasa seolah melangkah ke dalam dunia yang baru saja dilahirkan kembali… lewat penderitaan. "Li... Feng..." Suara itu... lemah, serak. Hampir tak terdengar di tengah gemuruh bangunan yang runtuh. Tapi bagi Li Feng, suara itu lebih nyaring daripada semua guntur di dunia ini. "Aku di sini!" teriak Li Feng dengan panik, berlutut di sisi tubuh rapuh Putri Ling'er yang tergeletak di atas reruntuhan bata dan kayu. "Ya Tian... ya Langit..." gumamnya. Luka di tubuh Ling’er begitu parah—darah mengalir di sudut bibirnya, dan kulitnya lebih pucat dari salju. Tapi matanya... mata itu masih mencari-cari dirinya. Masih hidup. Li Feng meraih tangan Ling’er yang gemetar, mengangkat tubuhnya
Angin malam menusuk kulit, bagai jarum-jarum halus yang menari di sepanjang reruntuhan Kota Tianxiang. Asap membubung ke langit gelap, dan di antara puing-puing, Li Feng berlutut dengan tubuh menggigil, memeluk tubuh rapuh Putri Ling’er. “Ling’er…” suaranya serak, hampir tak terdengar. Putri itu menggenggam tangan Li Feng, lalu — dengan napas tersengal — menyerahkan sebuah gulungan tua, warnanya pudar, talinya nyaris rapuh. "Ini... rahasia... takdir kita," bisiknya. "Bawa... gulungan ini... ke tempat yang aman, Li Feng... Demi kita semua..." Dan kemudian—duk!—kepalanya terkulai di pelukan Li Feng. Li Feng menahan napas. “T-tidak… Tidak! Jangan tinggalkan aku!” Ia mengguncang tubuh Ling’er, matanya memanas, suara di dadanya bergemuruh seperti badai. "Aaaaaargh!" pekiknya, membebaskan kemarahan, kepedihan, dan penyesalan dalam satu teriakan panjang yang menggetarkan udara. Namun, t
Langit abu-abu menggantung berat di atas reruntuhan Tianxiang, seakan langit sendiri menangisi kota yang pernah bersinar seperti permata di tengah kekaisaran. Angin membawa debu dan bau darah, menusuk ke dalam lubuk jiwa mereka yang masih bertahan. Li Feng berdiri diam, memegang gulungan kuno erat-erat di tangannya, seolah-olah kertas tua itu adalah satu-satunya jangkar yang mengikatnya pada kenyataan. "Sumpah Kaisar Pertama..." gumamnya lirih, matanya yang merah menatap kosong ke depan. "Shen Lu... negeri yang sudah lama dikabarkan lenyap... ternyata belum pernah benar-benar hilang..." Di sampingnya, Mei Yue memandang dengan tatapan gelap, seakan hatinya tahu lebih banyak daripada apa yang berani ia katakan. Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik, “Li Feng, kita harus berbicara. Sekarang.” Li Feng mengangguk tanpa suara. Keduanya bergegas ke sebuah bangunan setengah roboh — bekas rumah seorang saudagar, kini hanya kerangka
Malam itu, langit di atas ibu kota menggantung berat, seolah menahan ribuan jeritan yang tak pernah diucapkan. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan batu, membuat istana megah di kejauhan tampak seperti bayangan raksasa yang menyamar di balik dunia nyata. Li Feng menarik napas dalam-dalam. Sial… pikirnya. Setiap langkah yang ia ambil di atas tanah kekaisaran kini terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Tidak ada lagi tempat yang aman. Tidak ada lagi wajah yang bisa dipercayai. "Kau yakin mau melakukan ini?" suara Mei Yue, pelan seperti desir angin, membelah kebisuan malam. Li Feng menoleh. Mata perempuan itu bersinar dalam temaram lentera jauh di belakang mereka. Ada ketegangan, ada keraguan. Tapi yang paling kuat… ada ketakutan. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuknya — untuk Li Feng. "Huh," Li Feng mendengus, setengah tersenyum getir. "Kalau bukan aku, siapa lagi?" Tanpa menunggu jawaban, ia melangka
Langkah-langkah itu terdengar menggema di lorong panjang Istana Timur, seirama dengan detak jantung Li Feng yang berdentam di telinganya. “Hah... hah...” Napasnya berat, tapi matanya tetap tajam, menusuk kegelapan seperti pedang yang terhunus. Bayangan Perdana Menteri Gao sudah tampak di depan. Tubuh tua itu berdiri tenang, seolah-olah telah menunggunya sejak lama. Sebuah senyum getir melintas di wajah keriput itu, penuh kelelahan... dan penyesalan. "Li Feng..." Gao mengangguk pelan, suaranya serak. "Akhirnya kau datang." Li Feng berhenti beberapa langkah di depannya. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. "Mengapa, Guru...?" suaranya pecah, setengah berteriak, setengah memohon. "Mengapa Anda... Anda yang dulu mengajarkan saya tentang kehormatan, tentang kesetiaan pada negeri ini... malah berkhianat?!" Perdana Menteri Gao menghela napas panjang. "Kesetiaan?" Ia terkekeh pahit. "Apa itu kesetiaan, anak muda? Pada siapa ka
Mei Yue terbangun dengan perasaan tercekik, seolah seluruh napasnya ditahan oleh suatu kekuatan yang tak terlihat. Matanya terbelalak, mencoba menangkap jejak dunia yang ia kenal. Namun, yang ia temui hanyalah kekosongan yang mengerikan, dunia yang tampak seperti bayangan dari yang pernah ada. Langit di atasnya berwarna abu-abu, seakan-akan langit itu tak pernah tahu bagaimana warna biru yang sesungguhnya. "Di mana ini?" suara Mei Yue tercekat, namun tak ada yang menjawab. Hanya gema suaranya yang bergema kembali, menyebar tanpa arah. Ia mencoba bangkit, tubuhnya terasa lemah, seolah seluruh energinya terhisap keluar dari tubuhnya saat ia tersedot ke dalam celah realitas beberapa waktu yang lalu. Berkali-kali ia menatap sekeliling, matanya mencari-cari petunjuk apa yang telah terjadi. Dunia ini, yang begitu familiar dan sekaligus asing, seakan terdistorsi dalam setiap detilnya. Bangunan yang pernah dikenalnya kini terlihat seperti siluet tanpa wujud, ru
Langit di atas Lembah Tujuh Langit seakan menjadi saksi bisu dari pertarungan yang akan mengubah nasib dunia. Dua pedang, dua jiwa, dua takdir yang saling bertabrakan. Li Feng berdiri tegak di hadapan lawannya, Jenderal Bayangan, kembaran dirinya, dengan Pedang Naga Langit di tangannya. Keringat mengalir di pelipisnya, wajahnya tegang, namun matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Pedang di tangan kanan Jenderal Bayangan bersinar gelap, seperti bayangan yang siap menelan segalanya. Itu adalah Pedang Naga Kegelapan—ciptaan Shen Lu, senjata yang diciptakan untuk menandingi Pedang Naga Langit, pedang legendaris yang kini dipegang Li Feng. Kedua pedang ini, simbol cahaya dan kegelapan, menjadi lambang dari pertarungan yang lebih besar dari sekadar duel antara dua individu. Ini adalah pertarungan antara dua dunia, dua kekuatan yang tak bisa dipisahkan. "Ini adalah takdir kita, Li Feng," suara Jenderal Bayangan terdengar, berat dan dingin. "Kau dan ak
Li Feng terengah-engah, napasnya terputus-putus, matanya terbelalak seiring dengan pelan terbukanya rahasia yang paling kelam dari pertempuran yang tak kunjung berakhir. Di hadapannya, Jenderal Bayangan, musuh yang selama ini mengancam kehidupannya, berdiri tegak. Wajah yang terungkap setelah topeng itu terkelupas, membuat dunia terasa berputar. Ternyata, wajah yang tertangkap oleh matanya adalah wajahnya sendiri. Li Feng mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar, seolah mencari pegangan. Tetapi, betapa pun ia mencoba untuk menegaskan apa yang dilihatnya, kenyataan itu tetap mengguncang jiwanya. Apa yang baru saja terjadi? Jenderal Bayangan, pria yang telah mengorbankan begitu banyak dalam peperangan ini, ternyata… sama seperti dirinya. "B-Bukan mungkin," Li Feng bergumam pada dirinya sendiri. Tangan yang memegang Pedang Naga Langit terasa lebih berat dari biasanya. Ia hampir tidak bisa mengendalikan pikirannya yang berkecamuk, yang se
Li Feng berdiri dengan napas terengah-engah di tengah medan perang yang terbakar. Api masih menyala di sekelilingnya, melahap sisa-sisa pasukan yang kalah dan menimbulkan asap pekat yang mengaburkan pandangan. Namun, segala kekacauan ini tidak lagi menghalangi pandangannya. Semua perhatiannya tertuju pada satu sosok, yang berdiri di hadapannya, seperti bayangan yang tak bisa disentuh oleh api. Jenderal Bayangan. “Ha!” Li Feng mengangkat Pedang Naga Langit, menghunusnya ke udara. Setiap kilatan pedang itu menciptakan cahaya yang bersinar lebih terang dari api yang menghanguskan tanah. Di hadapannya, Jenderal Bayangan berdiri dengan tenang, matanya yang tersembunyi di balik topeng perak memancarkan aura dingin, tak bisa dibaca. “Mereka bilang kau tak akan bisa menembus pertahananku,” kata Jenderal Bayangan dengan suara serak yang menggema di telinga Li Feng. “Namun kau terus datang. Keterampilanmu memang luar biasa, tetapi kau belum cukup kuat.”
Lembah Tujuh Langit telah menjadi saksi bisu dari ribuan pertarungan legendaris. Terkubur dalam sejarah panjang yang berabad-abad, tempat ini terkenal sebagai medan yang hanya bisa ditaklukkan oleh mereka yang benar-benar memiliki jiwa seorang pendekar. Namun, saat ini, tanah yang dipenuhi dengan aura kekuatan tersebut terasa semakin sunyi dan mencekam. Hanya ada dua pasukan yang mengisi kesunyian itu, satu pasukan yang terdesak, dan satu lagi yang datang dengan harapan untuk merenggut kehidupan mereka. Li Feng berdiri di bibir jurang yang menatap lembah yang terhampar luas di bawah kakinya. Hanya ada tiga ribu prajurit yang tersisa di pihaknya—pasukan yang tersisa setelah bertahan melawan serangan pasukan Shen Lu yang tak kenal ampun. Angin malam yang dingin berdesir melalui rambutnya, menciptakan ketenangan yang seolah bertentangan dengan pertempuran yang sudah di depan mata. “Bai,” panggilnya, suaranya sedikit tercekat, “Apakah kau yakin ini satu-satunya cara?”
Lembah Tujuh Langit—tempat yang dikenal sebagai tanah suci bagi para pendekar sejati—menjadi saksi dari perjuangan yang semakin mendekati garis akhir. Di sini, Li Feng berdiri tegak di samping Jenderal Bai, memandang lurus ke depan dengan tatapan tajam yang tak terhalang. Di belakang mereka, tiga ribu pasukan yang tersisa, masing-masing dengan wajah yang penuh keteguhan, namun tak bisa menutupi ketegangan yang terasa di udara. "Jenderal Bai," suara Li Feng menggema di antara batu-batu besar yang mengelilingi lembah. "Ini adalah satu-satunya tempat di mana kita bisa bertahan." Jenderal Bai mengangguk perlahan, meski raut wajahnya penuh kerut mendalam, seolah beban sejarah masa lalunya kembali menghantui setiap langkah yang ia ambil. "Tujuh Langit... tempat ini menyimpan banyak rahasia," jawabnya, suaranya serak. "Dan aku tidak yakin kita akan keluar dari sini hidup-hidup." Li Feng merasakan beratnya kata-kata itu, namun ia tahu bahwa pilih
Li Feng berdiri tegap di hadapan gua yang gelap. Udara di sekitar Padang Asin ini terasa lebih berat dari biasanya. Angin yang seharusnya menyegarkan malah menambah kesan angker, menggulung sepi yang semakin menyesakkan. Pikirannya berkelana, meraba ke segala arah, berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk menyentuh hati seorang pria yang telah terasing begitu lama—Jenderal Bai. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa mengubah arah pertempuran yang akan datang. Bai, yang dulu dikenal sebagai Jenderal Perang terkuat, kini tinggal bayangannya sendiri, seolah terlupakan oleh dunia. Namun, ada satu hal yang Li Feng tahu pasti: hanya Bai yang bisa menghentikan pasukan Shen Lu yang datang bagaikan badai, menggulung semua yang ada di hadapannya. Li Feng melangkah memasuki gua, diikuti oleh Putri Ling’er yang setia. Setiap langkahnya terasa semakin berat. Mereka mendekati tempat di mana Bai mengasingkan diri, tempat di mana dia memilih untuk melupakan semua
Li Feng menatap horizon dengan pandangan kosong. Langit yang kelabu, penuh dengan awan mendung, seakan menggambarkan beratnya perjalanan yang harus dilalui. Di depan matanya, medan perang semakin mendekat, dan Shen Lu dengan pasukannya yang tak terhentikan hampir mencapai gerbang ibu kota. Namun, Li Feng tahu bahwa ada satu harapan terakhir yang bisa mencegah kehancuran. “Jenderal Bai... di mana dia?” pikirnya, menggenggam erat Pedang Naga Langit yang ada di tangannya. Pedang itu masih terbalut energi gelap yang terus-menerus mengalir ke dalam tubuhnya, mengingatkannya akan kutukan yang kerap mengganggu. Namun, ia sudah terbiasa dengan rasa sakit itu—lebih baik rasa sakit itu daripada kehilangan segalanya. Dari dalam kedalamannya, suara Putri Ling’er terngiang, mengingatkannya pada kata-kata terakhir mereka sebelum berpisah. “Kamu bisa menghadapinya, Li Feng. Tak peduli betapa beratnya jalan ini, kamu harus menemukan jalan keluarnya. Jangan biarkan peda
Angin malam berdesir di antara pilar-pilar Istana Selatan, membawa aroma darah yang masih hangat. Li Feng berdiri mematung. Di hadapannya, tubuh Perdana Menteri Gao tergeletak tak bernyawa, darah mengalir perlahan dari luka di lehernya — merah pekat di atas lantai batu putih yang bersih. "Guru..." gumamnya lirih, hampir seperti bisikan yang hilang tertiup angin. Ia mengepalkan tinjunya, gemetar. "Mengapa harus begini...?!" Di tangan Gao yang membeku, sebuah gulungan kecil tampak tersembunyi, hampir terlewatkan jika Li Feng tidak memperhatikannya dengan saksama. Dengan langkah berat, seolah setiap gerakan menambah beban di pundaknya, ia berlutut dan mengambil gulungan itu. Kulitnya sudah rapuh, nyaris retak di setiap sudutnya, seperti usianya yang sudah terlalu tua untuk membawa rahasia besar. Li Feng menarik napas dalam-dalam. Srek! Ia membuka gulungan itu perlahan, takut bahwa sedikit saja kecerobohan akan m