Hawa dingin menusuk tulang. Salju berjatuhan seperti abu kematian dari langit kelabu. Di hadapan Li Feng terbentang altar batu kuno dengan pahatan naga yang seakan bernapas. Di atasnya, tergeletak sebuah peti kayu gelap, ditutup segel emas yang berkilau samar. Namun, di antara Li Feng dan peti itu, berdiri seorang pemuda berjubah ungu, rambutnya diikat tinggi, dan matanya menyorot tajam bak pedang yang terhunus.
"Kau tak berhak menyentuh senjata suci klan kami," suara pemuda itu dingin, nyaris tanpa emosi, tapi justru itulah yang membuatnya terasa berbahaya. Li Feng menggenggam gagang pedangnya. Hatinya masih diguncang peristiwa sebelumnya—bentrokan dengan para tetua klan yang mencoba menghalangi langkahnya. Banyak darah tertumpah. Tapi bukan itu yang mengusik pikirannya, melainkan kenyataan bahwa orang-orang ini bersumpah menjaga senjata itu demi melindungi dunia... dan sekarang ia akan merebutnya. "Aku tidak datang untuk merampas," ujarHening. Begitu heningnya ruang refleksi itu, hingga napas Li Feng sendiri terdengar seperti lolongan jiwa-jiwa terbuang. Di hadapannya, Mei Yue duduk lemah bersimpuh, dirantai oleh cahaya yang bukan berasal dari dunia ini. Rantai itu berkilauan bagai air, namun beratnya melebihi beban seribu kutukan. Cermin-cermin di sekeliling memantulkan bayangan luka—setiap dosa, setiap kegagalan, setiap keputusan yang pernah mereka sesali. “Li Feng…” suara itu lirih, retak, nyaris tak terdengar. Tapi bagi Li Feng, suara itu lebih nyaring dari guntur di langit. “Aku tak bisa keluar… kecuali kau membunuhku.” “Apa…?” Li Feng bergetar. Tangannya mencengkeram sarung pedangnya, lalu lepas lagi. Kakinya goyah. “Jangan… jangan katakan begitu.” Mei Yue tersenyum. Tipis. Pahit. “Kau tahu aku tak bohong. Ruang ini… ini bukan sekadar penjara. Ini adalah hukuman. Aku melihat semuanya, Li Feng. Setiap hari. Aku melihat kematianku berulang. Aku meliha
Pantulan yang Terlupakan Langkah kaki mereka bergema pelan di lorong batu yang lembab, membelah keheningan pekat di ruang bawah tanah Istana Giok Tua. Dinding di sekeliling ditumbuhi lumut, dan hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Tidak ada nyala obor, tidak ada cahaya bulan, namun entah mengapa Li Feng dapat melihat jalannya dengan jelas—seolah-olah kegelapan itu sendiri memberi ruang baginya untuk lewat. Ling’er mengekor di belakang, napasnya bergetar halus, penuh kekhawatiran. “Feng-ge… kau yakin ini tempatnya?” Li Feng tidak menjawab. Matanya tertumbuk pada sesuatu di ujung ruangan—sebuah cermin perak raksasa berdiri tegak, dikelilingi oleh kabut hitam yang terus berputar seperti asap dari api yang tak padam. Permukaannya tak memantulkan apa pun, hanya kekosongan. Begitu kakinya melangkah lebih dekat, kabut menyusut. Suasana berubah. Bukan hanya dingin yang menyentuh kulitnya—tetapi juga rasa sesak, seperti ada tangan
“Mei Yue…?” Suara itu nyaris tercekat di tenggorokan Li Feng saat ia menatap sosok di hadapannya. Matanya menyipit, mencoba mengusir keraguan yang menggumpal seperti kabut dingin di dalam hatinya. Di ujung arena Api dan Salju itu, berdiri seorang perempuan dengan gaun putih robek yang tampak melambai-lambai ditiup angin dingin. Rambut panjangnya basah dan kusut, menempel di wajah pucatnya. Tapi… mata itu… tatapan itu… Ah! “Itu kau… atau bukan?” gumam Li Feng, satu langkah maju. Tapi langkahnya goyah. Nafasnya terengah, tubuhnya masih bergetar karena suhu ekstrem arena yang telah ia lewati. Tapi bukan itu yang membuatnya ragu. Itu tatapan yang tidak wajar. Terlalu tenang. Terlalu… kosong. “Li Feng…” ucap sosok itu. Suaranya lembut, seperti bisikan di malam yang sunyi. “Kau datang juga…” Brak! Jantung Li Feng seperti dilempar keluar dari dadanya. “Tidak… Kau bukan dia!” serunya tiba-tiba. Ia mencabut Pedang Nag
Li Feng melangkah ke dalam arena yang dikenal sebagai "Api dan Salju", tempat ujian terakhir sebelum mencapai gerbang kultus Pedang Kegelapan. Di sekelilingnya, dinding-dinding es menjulang tinggi, memantulkan cahaya merah dari lava yang mengalir di bawah lantai kristal transparan. Setiap langkahnya terasa seperti menapaki batas antara kehidupan dan kematian. "Huh... tempat ini benar-benar menguji batas tubuh dan jiwa," gumam Li Feng sambil menahan rasa panas dan dingin yang menyerang bersamaan. Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara tawa yang familiar namun mengerikan. "Li Feng... akhirnya kau sampai juga," suara itu bergema, disertai kemunculan sosok Mei Yue dalam wujud iblis. Matanya menyala merah, dan aura kegelapan menyelimuti tubuhnya. "Mei Yue? Tidak... ini pasti ilusi!" teriak Li Feng, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, sosok itu mendekat, mengulurkan tangan dengan lembut. "Datanglah padaku, Li F
Li Feng menatap ke dalam lembah yang diselimuti kabut kelabu. Udara di sekitarnya terasa berat, seolah dipenuhi oleh bisikan-bisikan yang tak kasat mata. Setiap langkah yang diambilnya menggema, menciptakan irama yang menyeramkan di antara keheningan. "Hati-hati, Li Feng," bisik Mei Yue yang berjalan di sampingnya. "Tempat ini bukanlah dunia yang kita kenal." Li Feng mengangguk, matanya tetap fokus menatap ke depan. Mereka telah melewati banyak rintangan untuk mencapai tempat ini, dan kini mereka berada di ambang kebenaran yang selama ini tersembunyi. Kabut yang Menyesatkan Kabut di lembah semakin tebal, menyelimuti segala sesuatu dalam bayangan abu-abu. Li Feng merasakan hawa dingin merayap di kulitnya, menusuk hingga ke tulang. Suara-suara aneh mulai terdengar, seperti bisikan yang memanggil-manggil namanya. "Li Feng..." Ia berhenti sejenak, mencoba mencari sumber suara terse
Langit di atas Kota Perbatasan Luoying berwarna kelabu pekat, seperti pertanda duka yang belum usai. Angin utara membawa aroma besi dan darah, menggulung debu dan bisikan tak kasatmata. Li Feng berdiri di atas gerbang kayu kota, memandangi gulungan surat yang diikat dengan benang merah—warna darah. "Hah... ini bukan sekadar tantangan," gumamnya, suara serak seakan tertahan dalam kerongkongan. Di tangannya, cap hitam berbentuk naga berbalut duri menandai pengirimnya: Penerus Pedang Kegelapan. Mei Yue berdiri di sampingnya, gaun putihnya berkibar diterpa angin. “Kalau kau pergi... kau tahu konsekuensinya, kan?” bisiknya pelan. Li Feng tidak menjawab. Matanya memandangi jauh ke utara, ke arah Pegunungan Hitam yang diselimuti kabut keabadian. Di balik puncak-puncak beku itulah kultus baru Shen Lu bangkit. Dan dari sanalah undangan darah itu dikirim, bersamaan dengan ancaman yang membakar seluruh penjuru negeri. "Kita tak bisa m
Li Feng berdiri di atas reruntuhan sebuah kuil kuno yang hampir seluruhnya tertutup lumut, membiarkan angin dingin utara menyapu wajahnya. Pedang Naga Langit yang kini terasa berat di tangannya mengingatkan dia pada segala pengorbanan yang telah ia lakukan. Namun, di balik ketenangan di luar, ada kekhawatiran yang membakar dari dalam hatinya. Setiap langkah yang dia ambil semakin mendekatkan dirinya pada ancaman yang tak terelakkan. Musuh yang tak pernah ia bayangkan—anak dari Kaisar Shen Lu—kini telah tumbuh dan menyebut dirinya sebagai Penerus Pedang Kegelapan. "Sialan," Li Feng bergumam, menatap reruntuhan kuil yang menjadi saksi bisu dari kebangkitan musuh terbesarnya. Nama itu kembali berputar-putar dalam benaknya, tak bisa ia singkirkan: Penerus Pedang Kegelapan. Anak itu, yang dahulu disembunyikan dalam bayang-bayang perang, kini menguasai kekuatan yang jauh melampaui apa yang pernah dibayangkan. Pendidikan yang diterimanya di sekte sesat utara t
Li Feng berdiri tegak di depan istana Kekaisaran, angin dingin meniup wajahnya, namun hatinya terasa lebih dingin dari segala yang ada di dunia ini. Sesuatu yang buruk akan datang, dan ia bisa merasakannya dengan kuat, meski langit cerah tak ada tanda-tanda apapun. Tidak ada yang tahu, bahkan para jenderal di sekitarnya, bahwa bayangan yang jauh lebih gelap dari apa pun sedang merayap ke arah mereka. Shen Lu. Nama itu menggema dalam benak Li Feng seperti kenangan pahit yang tak akan pernah hilang. Pemimpin kultus yang telah lama jatuh, namun sisa-sisanya tetap ada. Bahkan sekarang, ia tahu bahwa sisa-sisa itu tumbuh menjadi ancaman yang jauh lebih besar daripada sebelumnya. Sekelompok pengikut yang setia—bayangan yang terus berkembang di tempat yang tak terjangkau oleh para penjaga Kekaisaran—telah membentuk sekte baru. Mereka menyembah seseorang yang konon adalah anak dari Kaisar lama, seorang bayi yang disembunyikan selama perang demi menjaga kelangsu
Desa kecil di pegunungan itu mulai bangkit dari luka-luka lama yang ditinggalkan oleh perang dan penderitaan. Li Feng dan Mei Yue, dua sosok yang dulunya terjerat dalam badai peperangan, kini mencari kedamaian di sini. Rumah kayu sederhana yang mereka bangun bersama tampak berdiri kokoh di bawah langit biru yang luas, jauh dari hiruk-pikuk ibu kota yang penuh intrik dan darah. Namun, meski tubuh mereka mungkin telah selamat, hati mereka masih terluka. Setiap kali Li Feng melihat Mei Yue, ada kenangan yang mengalir di dalam dirinya, kenangan tentang pengorbanan, tentang kehilangan, dan tentang cinta yang telah dipertaruhkan. Tetapi, meskipun dia merasa dekat dengan wanita itu, ada sesuatu yang masih membelenggu dirinya—sesuatu yang menghalangi kedamaian yang ia cari. Di malam yang tenang itu, mereka duduk berdua di luar rumah, menatap bintang-bintang yang menghiasi langit malam. Li Feng menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Mei Yue d