Malam itu sedang turun salju di kayangan. Permaisuri menangis saat bayinya diambil oleh Dewa Ming. Dikecup berkali-kali wajah bayi laki-laki itu sebelum diserahkan pada Dewa Ming.Kaisar Langit hanya mengangguk dengan wajah sedih saat istrinya menoleh. Permaisuri menangis semakin cetar saat Dewa Ming melangkah pergi."Bayiku!" jerit Permaisuri. Ingin rasanya dia mengejar Dewa Ming lalu mengabil bayinya lagi.Kaisar Langit segera merangkul bahu istrinya. Dia pun amat sedih akan kehilangan Putra Mahkota. Namun, takdir semesta tak bisa dirubah. Putra Mahkota merupakan suku dewa terpilih. Dia yang kelak akan menghabisi suku iblis.Langkah Dewa Ming kian menjauh dari pintu kamar Permaisuri. Penasehat Yu dan kedua Dewa Utama mengikuti dari belakang. Bayi laki-laki itu digendong oleh Dewa Ming menuju aula istana.Sinar jingga menyambut di depan pintu saat langkah mereka nyaris keluar dari istana. Mata Dewa Ming menanggah ke langit hitam malam itu. Salju masih berjatuhan disertai embusan angi
Malam itu udara sangat dingin karena sedang turun salju. Seorang wanita berjubah merah marun tampak sedang berlarian di tengah kegelapan hutan. Dia tidak sendiri, di belakangnya tampak seorang pria berjubah hitam yang terus mengapit langkahnya.Sembari mendekap tubuh mungil bayi laki-laki di dadanya, wanita itu terus berlari sebisanya. Napasnya terengah-engah. Dia sudah tak kuat lagi untuk berlari. Sedangkan kejaran para musuh masih mengintai mereka.Dengan langkah yang sudah sempoyongan, wanita itu pun berhenti di bawah sebatang pohon maple yang daunnya cukup rindang. Cukup untuk menaungi dirinya dari serpihan putih yang terus turun semakin deras."Ayo, Yang Mulia. Kita harus segera pergi dari sini," tukas Guru Li, pria jubah hitam yang mengapitnya. Guru Li adalah perdana menteri di istana Dong Taiyang."Guru Li, aku sudah tak kuat lagi untuk berlari," lirih Fang Yin, wanita yang sedang kita bicarakan tadi. Rupanya dia adalah permaisuri raja di istana Dong Taiyang, kerajaan terbesar
25 Year Later..Seorang pemuda tampak sedang berbaring di tengah ranjang yang sudah usang dimakan waktu. Tubuhnya dibasahi peluh dingin dengan bibirnya yang gemetaran, mengigau. Matanya masih tertutup rapat, namun bibirnya tak henti bersuara."Ibu ... ibu ..."Kata itu terus keluar dari mulutnya dengan suara yang gemetaran. Sepertinya dia sedang bermimpi buruk. Bisa dilihat dari posisi tidurnya yang tampak tidak tenang."Ibu!!"Dia berteriak kali ini. Sepasang netranya terbuka seketika. Tubuhnya bangkit mengambil posisi duduk di tengah ranjang dengan napasnya yang terengah-engah seperti habis berlari kencang."Astaga, mimpi itu lagi," gumannya pelan masih dengan napasnya yang terengah. Dia pun mengusap wajahnya. Mimpi itu. Kenapa ia selalu mengalami mimpi buruk itu?Tak tahu sejak kapan. Seingatnya mimpi buruk itu selalu menghantui beberapa malam dalam satu pekan di tiap tidurnya. Apa arti mimpi itu? Kenapa dia sangat gelisah setiap kali terjaga dari mimpi itu?"Lu Sicheng, kau bermim
Sang surya belum menunjukkan wajahnya. Namun Lu Sicheng sudah terjaga dari tidurnya sejak beberapa saat yang lalu. Jelas, dia tak bisa tidur tenang malam ini. Sebuah kenyataan tentang dirinya sungguh membuatnya gelisah sepanjang malam.Kenapa?Kenapa nasib buruk ini harus menimpanya. Ayahnya dibunuh oleh orang kepercaannya sendiri. Sedangkan ibunya? Dimana dia sekarang? Apakah masih hidup atau sudah tiada di tangan penghianat bernama Yang Jingmi itu.Lu Sicheng berdiri sembari menatap langit yang masih kelabu. Pikirannya sudah tak sabar menunggu pagi tiba. Kakinya sudah gatal ingin melangkah ke Timur saat ini juga. Sedangkan tangannya pun sudah menariknya untuk segera pergi. Memenggal kepala Yang Jingmi segera."Lu Sicheng, kau sudah terjaga rupanya." Suara Guru Li tak membuat pria batu es itu menoleh padanya. Dia tampak asik sendiri dengan tatapannya yang kosong.Guru Li mengulas senyum tipis. Sepasang tungkainya melaju mendekat sekitar satu meter dari jarak punggung pemuda di hadapa
Lu Sicheng mengulas senyum. Dia bangga akan dirinya sendiri. Pedang besar itu kini berada dalam genggamnya. Bobotnya lumayan berat karena terbuat dari logam suci semesta, itu yang dikatakan Guru Li.Dengan gerakan halus Lu Sicheng mulai memainkan pedang itu. Aneh. Kenapa pedang itu kini terasa ringan. Dia bukan seperti sedang menghunus sebilah pedang, melainkan sedang memainkan selembar sutera.Namun kenapa perasaannya terasa berbeda. Pedang itu seolah mendorong jiwanya untuk segera bertempur. Lu Sicheng pun segera menoleh pada Guru Li dengan tegas.TAK!PRANG!"Guru Li!" pekiknya kaget.Apa yang rerjadi? Kenapa pedang itu menyerang Guru Li tanpa ia kehendaki.Untung saja Guru Li dengan sigap segera menangkis serangan Lu Sicheng. Sekarang keduanya pun mulai bertarung adu pedang dengan sengit."Lu Sicheng, kendalikan pedang itu!" perintah Guru Li sembari menahan serangan Lu Sicheng akan dirinya."Bagaimana caranya, Guru Li? Pedang ini bergerak tanpa kehendakku!" Lu Sicheng tampak mulai
Bunga-bunga bermekaran indah dan mewangi pada taman yang ada di sebelah barat istana Dong Taiyang. Aneka bunga tumbuh di sana. Salah satunya bunga sakura yang sedang berbunga lebat saat ini.Istana Dong Taiyang terletak di sebelah timur gunung Huan Zhu. Gunung yang diyakini sebagai tempat bersemayam pada dewa dan leluhur. Gunung Huan Zhu memiliki ketinggian 3.776 meter dari permukaan laut. Gunung itu menjulang membelah antara Timur dan Barat.Kerajaan Dong Taiyang sendiri dulunya adalah tahta dinasti Lu yang turun temurun. Namu5 tahun berlalu pasca pemberontakkan yang terjadi. Kini dinasti Lu sudah menghilang dari ingatan semua rakyat Dong Taiyang.Gugurnya sang raja serta hilangnya sang ratu beserta putra mahkota, membuat lambat laun dinasti Lu mulai dilupakan.Kerajaan Dong Taiyang sendiri kini dipimpin oleh seorang ratu muda bernama, Yang Zhu atau Ratu Yang, begitu semua rakyat dan petinggi istana biasa menyapanya.Ratu Yang sendiri baru berusia 22 tahun. Dia terpaksa menaiki tahta
Matahari mulai mencondongkan sinarnya. Bertanda hari mulai petang. Ratu Yang dan Yihua tanpak asik menikmati perjalanan. Jalan menuju bukit Huan Zhu memang sangatlah indah. Di sana terdapat lembah-lembah bukit yang menghijau yang ditumbuhi bunga-bunga liar yang indah dan mewangi.Tak heran jika tempat ini dijuluki serambi istana langit oleh semua orang. Dari udara segar yang berhembus tercium wangi bunga Lie Mie. Bunga keabadian yang tumbuh di tebing bukit gunung Huan Zhu.Bunga Lie Mie dipercaya semua orang dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Namun bunga Lie Mie hanya mekar menjelang malam bulan purnama saja. Seperti petang ini."Wangi itu, aku sangat menyukainya," ucap Ratu Yang segera menyikap tirai pentutup jendela tandunya. Sepasang mata melihat bunga Lie Mie yang mulai bermekaran seolah menyambut kedatangannya di gunung Huan Zhu sore itu."Yihua akan meminta prajurit memetik bunga Lie Mie untuk Yang Mulia Ratu. Kemudian Yihua akan membuatkan parfum dari sari bunga suci i
Hari mulai gelap. Namun tampaknya sang surya enggan untuk terbenam menutup hari. Terlihat dari sinar jingganya yang masih mengapung di atas permukaan laut gunung Huan Zhu.Lu Sicheng menaiki kudanya dengan santai. Rumput di bukit Huan Zhu sangatlah hijau. Sepertinya dia harus menepi dan bermalam di tempat ini. Terlebih kudanya pun membutuhkan makan.Baru saja Lu Sicheng turun dari kudanya. Dia berjalan menuju sungai yang mengalir di antara bukit-bukit. Airnya sangat jernih. Sepertinya bisa ia gunakan untuk minum dan membersihkan diri.Bibir kemerahan pria muda itu mengulas senyum. Dia segera berjongkok di tepi sungai kecil itu. Saking jernihnya air sungai itu, dia bahkan bisa menangkap siluet dirinya di sana. Lu Sicheng menyibak rambut panjangnya ke belakang, lantas ia segera meraih air sungai dengan kedua telapak tangannya. Meminumnya serta membasuh wajahnya.Perjalanan menuju kerajaan Dong Taiyang memang sangat jauh. Sudah sepuluh hari dirinya menaiki kuda dan bermalam di beberapa t