Share

HMT 3 - Ruang Rahasia

Sang surya belum menunjukkan wajahnya. Namun Lu Sicheng sudah terjaga dari tidurnya sejak beberapa saat yang lalu. Jelas, dia tak bisa tidur tenang malam ini. Sebuah kenyataan tentang dirinya sungguh membuatnya gelisah sepanjang malam.

Kenapa?

Kenapa nasib buruk ini harus menimpanya. Ayahnya dibunuh oleh orang kepercaannya sendiri. Sedangkan ibunya? Dimana dia sekarang? Apakah masih hidup atau sudah tiada di tangan penghianat bernama Yang Jingmi itu.

Lu Sicheng berdiri sembari menatap langit yang masih kelabu. Pikirannya sudah tak sabar menunggu pagi tiba. Kakinya sudah gatal ingin melangkah ke Timur saat ini juga. Sedangkan tangannya pun sudah menariknya untuk segera pergi. Memenggal kepala Yang Jingmi segera.

"Lu Sicheng, kau sudah terjaga rupanya." Suara Guru Li tak membuat pria batu es itu menoleh padanya. Dia tampak asik sendiri dengan tatapannya yang kosong.

Guru Li mengulas senyum tipis. Sepasang tungkainya melaju mendekat sekitar satu meter dari jarak punggung pemuda di hadapannya itu.

"Langit tampak murung. Sepertinya sinar bintang sedang menggodanya untuk tersenyum. Namun langit tak punya hati dan indera perasa. Dewa sudah merenggut semua itu darinya sejak lama. Karena para Dewa cemas, kalau langit akan menghasut manusia untuk memujanya." Guru Li menggunakan sebuah kiasan untuk membuka percakapan dengan muridnya itu.

Tapi sial! Lu Sicheng si batu es itu tak merespon sedikit pun. Apakah dia tuli? Atau dia sedang mengalami sindrom tidur berjalan? Guru Li yang penasaran segera mendekat pada pemuda dengan hanbok hitam itu. Dia mencondongkan tubuhnya untuk menengok wajah Lu Sicheng.

"Hentikan tingkah konyolmu itu, Guru Li."

Guru Li terkekeh geli dengan apa yang diucapkan Lu Sicheng barusan. Astaga, pemuda yang satu ini memang sangat istinewa. Dia bahkan berani berkata sinis pada pria yang sudah membesarkannya ini, pikir Guru Li masih terkekeh geli.

"Jangan tertawa. Aku tidak senang melihamu seperti itu. Sebagai Guru Besar, harusnya kau lebih beretika, bukan? Bagaimana kalau muridmu yang lain melihatnya? Mau kau taruh dimana mukamu itu?"

Sial! Ucapannya semakin berani saja. Guru Li segera mengatupkan bibirnya. Ya, bagaimanapun Lu Sicheng adalah Putra Mahkota Kerajaan Dong Taiyang, satu-satunya keturunan raja besar dinasti Lu. Pantas kalau pemuda ini sipatnya sangat menjengkelkan. Dia bahkan berani menasehati gurunya itu.

"Baiklah, Batu es. Kau memang sulit untuk tertawa. Aku saja bingung padamu. Apa benar menurut para gadis di desa Lan Hua ini? Hm, sepertinya rumor itu menang benar," ucap Guru Li terdengar sedikit mengandung makna meledek secara tidak langsung.

"Memangnya apa yang para gadis bodoh itu katakan?" Lu Sicheng bertanya tanpa mau memutar tubuhnya pada Guru Li.

Guru Li tersenyum tipis, ternyata Lu Sicheng sangat sensitif terhadap image-nya. Dia pun berkata kemudian.

"Ya, para gadis itu mengatakan kalau kau pemuda yang sombong, keras kepala, menyebalkan dan dingin seperti balok es." Tidak tanggung-tanggung Guru Li berkata. Akibatnya Lu Sicheng mengulum senyumnya.

"Guru, sebaiknya kau tak perlu mendengarkan keluhan para gadis itu. Lagi pula, berapa usiamu sekarang? Apa pantas kau mendengarkan ocehan mereka?"

Sial!

Pemuda itu berkata seenaknya saja. Guru Li jadi sedikit geram mendengar ocehannya itu. Tapi ini bukan saatnya memberi hukuman pada murid menyebalkan yang satu ini.

Niatnya tadi menemui Lu Sicheng untuk sebuah tujuan khusus. Ya, lupakan ucapan konyol pemuda itu. Guru Li menghela napas. Dia segera mendekat pada Lu Sicheng. Berdiri sejajar dengan pemuda itu.

"Lu Sicheng, aku menemuimu untuk mengajakmu ke sebuah tempat. Tutup mulutmu dan ikutilah aku sekarang. Mengerti?" tukas Guru Li. Ternyata sulit juga menyembunyikan rasa kesalnya pada muridnya itu.

"Untuk apa aku harus mengikutimu? Aku sedang menunggu pagi. Kau sendiri 'kan yang berkata, aku harus berangkat ke Timur pagi ini juga," balas Lu Sicheng acuh. Wajahnya masih memandangi langit hitam di atas sana.

"Lu Sicheng!" Guru Li mendengkus kesal. Namun, Lu Sicheng hanya tersenyum tipis melihatnya. Dia memang selalu begitu. Dia seperti langit yang tak punya indera perasa.

"Jangan marah-marah. Lihat usiamu, pantaskah kau bersikap seperti itu?" cetus Lu Sicheng sembari melangkah menuju keluar kamar,"ayo! Katanya tadi kau mau mengajakku ke sebuah tempat," lanjutnya setelah melangkah keluar.

"Batu es itu! Ugh!" Guru Li mendengkus kesal. Langkah cepatnya segera menyusul Lu Sicheng.

"Mau kemana kita? Kenapa menuju dapur? Apa kau ingin aku buatkan pangsit sebelum aku berangkat?" tanya Lu Sicheng sembari tersenyum tipis saat dirinya tengah berjalan bersisian dengan Guru Li.

"Bodoh. Ikuti saja. Nanti juga kau akan mengetahuinya," balas Guru Li yang masih tampak kesal pada Lu Sicheng.

"Baiklah," ucap Lu Sicheng sembari tersenyum tipis. Tangannya menyatu di belakang pinggang dengan dadanya yang membusung. Dia tampak sangat gagah.

"Itu dia Kakak Cheng!"

"Wah, tampan sekali!"

"Kakak Cheng!"

Suara para gadis yang kebetulan sedang berada di halaman dapur rumah Guru Li. Hh, para gadis itu memang selalu datang ke rumah Guru Li sesuka hati. Bahkan mereka juga sering memasak makanan untuk Guru Li. Semua itu mereka lakukan semata hanya untuk melihat Lu Sicheng.

Lu Sicheng tampak tidak tertarik sedikit pun dengan teriakan heboh para gadis itu. Baginya, tak ada satu gadis pun yang bisa menggetarkan hatinya. Dan menurutnya, para gadis hanya akan membuatnya kerepotan saja. Ya, sejauh ini begitulah pemikirannya. Namun, kita tak tahu hari esok dan seterusnya. Bisa saja Lu Sicheng jatuh hati pada seorang gadis.

Ya, kita lihat saja nanti.

Langkah Guru Li berhenti di dalam sebuah kuil Budha yang ada di halaman belakang dapur. Lu Sicheng hanya menatap heran dengan apa yang sedang si tua bangka itu lakukan. Guru Li tampak sedang mengusap-usap sebuah relief Budha pada dinding. Dia mengusapnya begitu teliti seperti sedang mencari sesuatu.

'Apa sebenarnya yang sedang si tua bangka ini lakukan? Konyol sekali,' bathin Lu Sicheng. Bibirnya mengulas senyum tipis melihat apa yang sedang gurunya itu lakukan.

Braaak!

Sepasang mata Lu Sicheng membulat sempurna melihat dinding di hadapannya itu terbuka bak sebuah pintu rahasia. Apa ini? Pintu rahasia, kah? Lu Sicheng bertanya-tanya dalam hati.

"Ayo masuk, Lu Sicheng." Guru Li segera melangkah memasuki ruangan yang baru saja terbuka di hadapannya itu.

Lu Sicheng masih tercengang heran. Dia pun segera menyusul gurunya itu. Manik hitam Lu Sicheng memindai seisi ruangan. Astaga, tampak puluhan, tidak, tapi ratusan pedang dilihatnya di ruangan itu.

Pedang-pedang itu tampak tertata rapi pada dudukannya masing-masing. Sepasang matanya kemudian terpusat pada sebilah pedang yang berada di paling ujung ruangan itu. Pedang itu berada di bawah sebuah patung Budha.

Mata pedang itu berkilauan terkena sinar lentera pada ruangan itu. Pedang yang sangat memukau.

Lu Sicheng segera melangkah menghampirinya.

"Pedang Suci Tiga Elemen. Itu adalah pedang yang biasa mendiang ayahmu gunakan untuk menghabisi para musuhnya di medan tempur," ucap Guru Li yang sudah berdiri di samping Lu Sicheng.

Sejenak Lu Sicheng menoleh pada gurunya itu. Namun pandangannya kembali pada pedang yang bertengger di hadapannya.

"Ambilah pedang itu, Lu Sicheng. Kau adalah satu-satunya keturunan dinasti Lu. Darah mendiang Raja Lu mengalir dalam tubuhmu. Hanya kau yang bisa mengangkat pedang suci itu dari dudukannya." Guru Li berkata lagi.

Lu Sicheng menoleh padanya.

Guru Li mengangguk meyakinkan. Pemuda itu pun mengembalikan pandangan pada pedang di hadapannya. Dengan gerakkan mantap ia segera meraih pedang itu, mengangkatnya.

"Bagus, Lu Sicheng. Dengan ini kau sudah membuktikan, kalau dirimu memang Putra Mahkota Lu dari Dong Taiyang. Kau adalah putera Raja Lu Cia-Hao dan Permaisuri Fang Yin. Hanya kau yamg bisa mengendalikan pedang suci itu," tukas Guru Li. Dia tersenyum kagum melihat Lu Sicheng mengangkat pedang itu.

Lu Sicheng hanya tersenyum tipis.

Dia bangga pula akan dirinya. Ternyata benar, dirinya memanglah seorang Putra Mahkota.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Khanza altafunisa Arsy
tokoh utama nya mnurut ku terlalu angkuh. gk ada rasa sopan santun ny kpada orang tua dan am orang yg udah mau merawat dan mengajari ilmu bela diri,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status