Sang surya belum menunjukkan wajahnya. Namun Lu Sicheng sudah terjaga dari tidurnya sejak beberapa saat yang lalu. Jelas, dia tak bisa tidur tenang malam ini. Sebuah kenyataan tentang dirinya sungguh membuatnya gelisah sepanjang malam.
Kenapa?Kenapa nasib buruk ini harus menimpanya. Ayahnya dibunuh oleh orang kepercaannya sendiri. Sedangkan ibunya? Dimana dia sekarang? Apakah masih hidup atau sudah tiada di tangan penghianat bernama Yang Jingmi itu.Lu Sicheng berdiri sembari menatap langit yang masih kelabu. Pikirannya sudah tak sabar menunggu pagi tiba. Kakinya sudah gatal ingin melangkah ke Timur saat ini juga. Sedangkan tangannya pun sudah menariknya untuk segera pergi. Memenggal kepala Yang Jingmi segera."Lu Sicheng, kau sudah terjaga rupanya." Suara Guru Li tak membuat pria batu es itu menoleh padanya. Dia tampak asik sendiri dengan tatapannya yang kosong.Guru Li mengulas senyum tipis. Sepasang tungkainya melaju mendekat sekitar satu meter dari jarak punggung pemuda di hadapannya itu."Langit tampak murung. Sepertinya sinar bintang sedang menggodanya untuk tersenyum. Namun langit tak punya hati dan indera perasa. Dewa sudah merenggut semua itu darinya sejak lama. Karena para Dewa cemas, kalau langit akan menghasut manusia untuk memujanya." Guru Li menggunakan sebuah kiasan untuk membuka percakapan dengan muridnya itu.Tapi sial! Lu Sicheng si batu es itu tak merespon sedikit pun. Apakah dia tuli? Atau dia sedang mengalami sindrom tidur berjalan? Guru Li yang penasaran segera mendekat pada pemuda dengan hanbok hitam itu. Dia mencondongkan tubuhnya untuk menengok wajah Lu Sicheng."Hentikan tingkah konyolmu itu, Guru Li."Guru Li terkekeh geli dengan apa yang diucapkan Lu Sicheng barusan. Astaga, pemuda yang satu ini memang sangat istinewa. Dia bahkan berani berkata sinis pada pria yang sudah membesarkannya ini, pikir Guru Li masih terkekeh geli."Jangan tertawa. Aku tidak senang melihamu seperti itu. Sebagai Guru Besar, harusnya kau lebih beretika, bukan? Bagaimana kalau muridmu yang lain melihatnya? Mau kau taruh dimana mukamu itu?"Sial! Ucapannya semakin berani saja. Guru Li segera mengatupkan bibirnya. Ya, bagaimanapun Lu Sicheng adalah Putra Mahkota Kerajaan Dong Taiyang, satu-satunya keturunan raja besar dinasti Lu. Pantas kalau pemuda ini sipatnya sangat menjengkelkan. Dia bahkan berani menasehati gurunya itu."Baiklah, Batu es. Kau memang sulit untuk tertawa. Aku saja bingung padamu. Apa benar menurut para gadis di desa Lan Hua ini? Hm, sepertinya rumor itu menang benar," ucap Guru Li terdengar sedikit mengandung makna meledek secara tidak langsung."Memangnya apa yang para gadis bodoh itu katakan?" Lu Sicheng bertanya tanpa mau memutar tubuhnya pada Guru Li.Guru Li tersenyum tipis, ternyata Lu Sicheng sangat sensitif terhadap image-nya. Dia pun berkata kemudian."Ya, para gadis itu mengatakan kalau kau pemuda yang sombong, keras kepala, menyebalkan dan dingin seperti balok es." Tidak tanggung-tanggung Guru Li berkata. Akibatnya Lu Sicheng mengulum senyumnya."Guru, sebaiknya kau tak perlu mendengarkan keluhan para gadis itu. Lagi pula, berapa usiamu sekarang? Apa pantas kau mendengarkan ocehan mereka?"Sial!Pemuda itu berkata seenaknya saja. Guru Li jadi sedikit geram mendengar ocehannya itu. Tapi ini bukan saatnya memberi hukuman pada murid menyebalkan yang satu ini.Niatnya tadi menemui Lu Sicheng untuk sebuah tujuan khusus. Ya, lupakan ucapan konyol pemuda itu. Guru Li menghela napas. Dia segera mendekat pada Lu Sicheng. Berdiri sejajar dengan pemuda itu."Lu Sicheng, aku menemuimu untuk mengajakmu ke sebuah tempat. Tutup mulutmu dan ikutilah aku sekarang. Mengerti?" tukas Guru Li. Ternyata sulit juga menyembunyikan rasa kesalnya pada muridnya itu."Untuk apa aku harus mengikutimu? Aku sedang menunggu pagi. Kau sendiri 'kan yang berkata, aku harus berangkat ke Timur pagi ini juga," balas Lu Sicheng acuh. Wajahnya masih memandangi langit hitam di atas sana."Lu Sicheng!" Guru Li mendengkus kesal. Namun, Lu Sicheng hanya tersenyum tipis melihatnya. Dia memang selalu begitu. Dia seperti langit yang tak punya indera perasa."Jangan marah-marah. Lihat usiamu, pantaskah kau bersikap seperti itu?" cetus Lu Sicheng sembari melangkah menuju keluar kamar,"ayo! Katanya tadi kau mau mengajakku ke sebuah tempat," lanjutnya setelah melangkah keluar."Batu es itu! Ugh!" Guru Li mendengkus kesal. Langkah cepatnya segera menyusul Lu Sicheng."Mau kemana kita? Kenapa menuju dapur? Apa kau ingin aku buatkan pangsit sebelum aku berangkat?" tanya Lu Sicheng sembari tersenyum tipis saat dirinya tengah berjalan bersisian dengan Guru Li."Bodoh. Ikuti saja. Nanti juga kau akan mengetahuinya," balas Guru Li yang masih tampak kesal pada Lu Sicheng."Baiklah," ucap Lu Sicheng sembari tersenyum tipis. Tangannya menyatu di belakang pinggang dengan dadanya yang membusung. Dia tampak sangat gagah."Itu dia Kakak Cheng!""Wah, tampan sekali!""Kakak Cheng!"Suara para gadis yang kebetulan sedang berada di halaman dapur rumah Guru Li. Hh, para gadis itu memang selalu datang ke rumah Guru Li sesuka hati. Bahkan mereka juga sering memasak makanan untuk Guru Li. Semua itu mereka lakukan semata hanya untuk melihat Lu Sicheng.Lu Sicheng tampak tidak tertarik sedikit pun dengan teriakan heboh para gadis itu. Baginya, tak ada satu gadis pun yang bisa menggetarkan hatinya. Dan menurutnya, para gadis hanya akan membuatnya kerepotan saja. Ya, sejauh ini begitulah pemikirannya. Namun, kita tak tahu hari esok dan seterusnya. Bisa saja Lu Sicheng jatuh hati pada seorang gadis.Ya, kita lihat saja nanti.Langkah Guru Li berhenti di dalam sebuah kuil Budha yang ada di halaman belakang dapur. Lu Sicheng hanya menatap heran dengan apa yang sedang si tua bangka itu lakukan. Guru Li tampak sedang mengusap-usap sebuah relief Budha pada dinding. Dia mengusapnya begitu teliti seperti sedang mencari sesuatu.'Apa sebenarnya yang sedang si tua bangka ini lakukan? Konyol sekali,' bathin Lu Sicheng. Bibirnya mengulas senyum tipis melihat apa yang sedang gurunya itu lakukan.Braaak!Sepasang mata Lu Sicheng membulat sempurna melihat dinding di hadapannya itu terbuka bak sebuah pintu rahasia. Apa ini? Pintu rahasia, kah? Lu Sicheng bertanya-tanya dalam hati."Ayo masuk, Lu Sicheng." Guru Li segera melangkah memasuki ruangan yang baru saja terbuka di hadapannya itu.Lu Sicheng masih tercengang heran. Dia pun segera menyusul gurunya itu. Manik hitam Lu Sicheng memindai seisi ruangan. Astaga, tampak puluhan, tidak, tapi ratusan pedang dilihatnya di ruangan itu.Pedang-pedang itu tampak tertata rapi pada dudukannya masing-masing. Sepasang matanya kemudian terpusat pada sebilah pedang yang berada di paling ujung ruangan itu. Pedang itu berada di bawah sebuah patung Budha.Mata pedang itu berkilauan terkena sinar lentera pada ruangan itu. Pedang yang sangat memukau.Lu Sicheng segera melangkah menghampirinya."Pedang Suci Tiga Elemen. Itu adalah pedang yang biasa mendiang ayahmu gunakan untuk menghabisi para musuhnya di medan tempur," ucap Guru Li yang sudah berdiri di samping Lu Sicheng.Sejenak Lu Sicheng menoleh pada gurunya itu. Namun pandangannya kembali pada pedang yang bertengger di hadapannya."Ambilah pedang itu, Lu Sicheng. Kau adalah satu-satunya keturunan dinasti Lu. Darah mendiang Raja Lu mengalir dalam tubuhmu. Hanya kau yang bisa mengangkat pedang suci itu dari dudukannya." Guru Li berkata lagi.Lu Sicheng menoleh padanya.Guru Li mengangguk meyakinkan. Pemuda itu pun mengembalikan pandangan pada pedang di hadapannya. Dengan gerakkan mantap ia segera meraih pedang itu, mengangkatnya."Bagus, Lu Sicheng. Dengan ini kau sudah membuktikan, kalau dirimu memang Putra Mahkota Lu dari Dong Taiyang. Kau adalah putera Raja Lu Cia-Hao dan Permaisuri Fang Yin. Hanya kau yamg bisa mengendalikan pedang suci itu," tukas Guru Li. Dia tersenyum kagum melihat Lu Sicheng mengangkat pedang itu.Lu Sicheng hanya tersenyum tipis.Dia bangga pula akan dirinya. Ternyata benar, dirinya memanglah seorang Putra Mahkota.Lu Sicheng mengulas senyum. Dia bangga akan dirinya sendiri. Pedang besar itu kini berada dalam genggamnya. Bobotnya lumayan berat karena terbuat dari logam suci semesta, itu yang dikatakan Guru Li.Dengan gerakan halus Lu Sicheng mulai memainkan pedang itu. Aneh. Kenapa pedang itu kini terasa ringan. Dia bukan seperti sedang menghunus sebilah pedang, melainkan sedang memainkan selembar sutera.Namun kenapa perasaannya terasa berbeda. Pedang itu seolah mendorong jiwanya untuk segera bertempur. Lu Sicheng pun segera menoleh pada Guru Li dengan tegas.TAK!PRANG!"Guru Li!" pekiknya kaget.Apa yang rerjadi? Kenapa pedang itu menyerang Guru Li tanpa ia kehendaki.Untung saja Guru Li dengan sigap segera menangkis serangan Lu Sicheng. Sekarang keduanya pun mulai bertarung adu pedang dengan sengit."Lu Sicheng, kendalikan pedang itu!" perintah Guru Li sembari menahan serangan Lu Sicheng akan dirinya."Bagaimana caranya, Guru Li? Pedang ini bergerak tanpa kehendakku!" Lu Sicheng tampak mulai
Bunga-bunga bermekaran indah dan mewangi pada taman yang ada di sebelah barat istana Dong Taiyang. Aneka bunga tumbuh di sana. Salah satunya bunga sakura yang sedang berbunga lebat saat ini.Istana Dong Taiyang terletak di sebelah timur gunung Huan Zhu. Gunung yang diyakini sebagai tempat bersemayam pada dewa dan leluhur. Gunung Huan Zhu memiliki ketinggian 3.776 meter dari permukaan laut. Gunung itu menjulang membelah antara Timur dan Barat.Kerajaan Dong Taiyang sendiri dulunya adalah tahta dinasti Lu yang turun temurun. Namu5 tahun berlalu pasca pemberontakkan yang terjadi. Kini dinasti Lu sudah menghilang dari ingatan semua rakyat Dong Taiyang.Gugurnya sang raja serta hilangnya sang ratu beserta putra mahkota, membuat lambat laun dinasti Lu mulai dilupakan.Kerajaan Dong Taiyang sendiri kini dipimpin oleh seorang ratu muda bernama, Yang Zhu atau Ratu Yang, begitu semua rakyat dan petinggi istana biasa menyapanya.Ratu Yang sendiri baru berusia 22 tahun. Dia terpaksa menaiki tahta
Matahari mulai mencondongkan sinarnya. Bertanda hari mulai petang. Ratu Yang dan Yihua tanpak asik menikmati perjalanan. Jalan menuju bukit Huan Zhu memang sangatlah indah. Di sana terdapat lembah-lembah bukit yang menghijau yang ditumbuhi bunga-bunga liar yang indah dan mewangi.Tak heran jika tempat ini dijuluki serambi istana langit oleh semua orang. Dari udara segar yang berhembus tercium wangi bunga Lie Mie. Bunga keabadian yang tumbuh di tebing bukit gunung Huan Zhu.Bunga Lie Mie dipercaya semua orang dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Namun bunga Lie Mie hanya mekar menjelang malam bulan purnama saja. Seperti petang ini."Wangi itu, aku sangat menyukainya," ucap Ratu Yang segera menyikap tirai pentutup jendela tandunya. Sepasang mata melihat bunga Lie Mie yang mulai bermekaran seolah menyambut kedatangannya di gunung Huan Zhu sore itu."Yihua akan meminta prajurit memetik bunga Lie Mie untuk Yang Mulia Ratu. Kemudian Yihua akan membuatkan parfum dari sari bunga suci i
Hari mulai gelap. Namun tampaknya sang surya enggan untuk terbenam menutup hari. Terlihat dari sinar jingganya yang masih mengapung di atas permukaan laut gunung Huan Zhu.Lu Sicheng menaiki kudanya dengan santai. Rumput di bukit Huan Zhu sangatlah hijau. Sepertinya dia harus menepi dan bermalam di tempat ini. Terlebih kudanya pun membutuhkan makan.Baru saja Lu Sicheng turun dari kudanya. Dia berjalan menuju sungai yang mengalir di antara bukit-bukit. Airnya sangat jernih. Sepertinya bisa ia gunakan untuk minum dan membersihkan diri.Bibir kemerahan pria muda itu mengulas senyum. Dia segera berjongkok di tepi sungai kecil itu. Saking jernihnya air sungai itu, dia bahkan bisa menangkap siluet dirinya di sana. Lu Sicheng menyibak rambut panjangnya ke belakang, lantas ia segera meraih air sungai dengan kedua telapak tangannya. Meminumnya serta membasuh wajahnya.Perjalanan menuju kerajaan Dong Taiyang memang sangat jauh. Sudah sepuluh hari dirinya menaiki kuda dan bermalam di beberapa t
Jenderal Chou dan Ratu Yang menatap pada Lu Sicheng penuh harap. Sedangkan Lu Sicheng sendiri masih terdiam tampak sedang berpikir. Sepertinya para dewa memang memberikan jalan padanya untuk segera bertemu dengan pria bernama Yang Jingmi."Baik, Yang Mulia." jawab Lu Sicheng setelah hening cukup lama.Ratu Yang dan Jenderal Chou tampak tersenyum puas."Silakan, Yang Mulia." Jenderal Chou mempersilakan sang ratu untuk mulai berjalan. Sedangkan dirinya dan Lu Sicheng mengapit wanita cantik itu dari belakang.Jenderal Chou tampak langsung menyukai Lu Sicheng. Dia bertanya banyak pada pemuda itu. Namun seperti yang kita ketahui, Lu Sicheng adalah pemuda yang tak suka banyak bicara. Dia hanya menjawab secukupnya saja."Yang Mulia Ratu! Syukurlah Anda sudah kembali," sambut Perdana Menteri Han yang langsung menyambut Ratu Yang saat mereka tiba di tenda."Yang Mulia, Anda baik-baik saja?" Kali ini Yihua yang bertanya. Sepasang netranya menatap wajah sang ratu dengan cemas."Aku baik-baik saj
Malam tinggal sepertiganya. Rombongan Ratu Yang meninggalkan bukit Huan Zhu untuk kembali ke tenda mereka di kaki bukit.Dari atas langit malam yang gelap tampak beberapa asap hitam tebal yang terpecah ke seluruh arah. Gerakkan asap hitam itu sangat cepat. Melesat dari satu sisi ke sisi yang lain. Namun tampaknya asap hitam itu sedang mengincar tandu Ratu Yang.Tiga asap hitam itu berkumpul tepat di atas atap tandu sang ratu. Sedangkan dua lainnya mulai turun mendekati tandu. Perdana Menteri Han yang melihat hal itu sangat kaget. Raja Iblis? Dia segera turun dari kudanya. Jenderal Chou dan Lu Sicheng saling pandang heran."Hentikan perjalanan, lindung Yang Mulia!" teriak Perdana Menteri pada semua prajurit.Lu Sicheng segera turun dari kudanya. Ada apa ini? Dia tampak heran. Sedangkan Jenderal Chou segera menghunus pedangnya. Sepasang netranya memperhatikan asap hitam yang terus berterbangan di atas tandu sang ratu."Raja iblis? Mau apa mereka?" Ratu Yang berguman sembari menyikap tir
Panglima PerangMatahari pagi tampak baru muncul di upuk timur. Sinar jingganya begitu cerah menerpa bangunan megah nan menjulang istana Dong Taiyang. Rombongan Ratu Yang tampak memasuki gerbang tinggi istana. Karena insiden penculikkan yang di alami Ratu Yang, Perdana Menteri Han memutuskan untuk segera pulang.Setelah Lu Sicheng dan Jenderal Chou kembali membawa Ratu Yang, mereka segera meninggalkan gunung Huan Zhu. Perdana Menteri Han cemas jika mereka tetap bermalam di sana. Musuh bisa datang kapan saja, terutama di saat mereka sedang lengah.Lu Sicheng dan Jenderal Chou yang berada di barisan paling depan tampak segera turun dari kudanya. Kemudian keduanya menyambut Ratu Yang keluar dari tandunya. Para dayang segera berbaris di pelataran luas istana untuk menyambut kedatangan sang ratu.Taburan bunga serta karpet merah mereka gelar untuk ratu berjalan menuju pintu masuk istana. Jenderal Chou tersenyum sambil menoleh pada Lu Sicheng. Dia sangat senang karena mereka akhirnya tiba d
Lu Sicheng masih terdiam untuk berpikir. Ekor matanya menoleh kemudian pada Jenderal Chou. Pria itu memberinya sebuah anggukkan sembari tersenyum. Dari pendar matanya Lu Sicheng melihat jika Jenderal Chou berharap dirinya menerima tawaran Ratu Yang."Maaf, Yang Mulia. Apakah ini tidak terlalu cepat Anda putuskan? Anda baru saja mengenal hamba," tukas Lu Sicheng pada Ratu Yang tanpa berani menatapnya.Ratu Yang mengulas senyum. Pemuda di hadapannya itu sungguh sangat mengagumkan. Entah kenapa dirinya serasa menyukai Lu Sicheng. Terlebih pemuda tampan itu telah muncul dalam mimpinya."Lu Sicheng, aku yakin padamu. Aku ingin kau mau menerima tawaran ini. Kerajaan Dong Taiyang membutuhkan orang sepertimu," ucap Ratu Yang. Suaranya terdengar sangat lembut dan manja."Tapi, Yang Mulia ..." Lu Sicheng tampak menunjukkan rasa ragunya."Adik Lu, terimalah tawaran Yang Mulia. Aku sangat senang jika kau bisa mengabdi pada kerajaan Dong Taiyang." kali ini Jenderal Chou yang berkata.Ratu Yang men