Share

HMT 4 - Pedang Suci Tiga Elemen

Lu Sicheng mengulas senyum. Dia bangga akan dirinya sendiri. Pedang besar itu kini berada dalam genggamnya. Bobotnya lumayan berat karena terbuat dari logam suci semesta, itu yang dikatakan Guru Li.

Dengan gerakan halus Lu Sicheng mulai memainkan pedang itu. Aneh. Kenapa pedang itu kini terasa ringan. Dia bukan seperti sedang menghunus sebilah pedang, melainkan sedang memainkan selembar sutera.

Namun kenapa perasaannya terasa berbeda. Pedang itu seolah mendorong jiwanya untuk segera bertempur. Lu Sicheng pun segera menoleh pada Guru Li dengan tegas.

TAK!

PRANG!

"Guru Li!" pekiknya kaget.

Apa yang rerjadi? Kenapa pedang itu menyerang Guru Li tanpa ia kehendaki.

Untung saja Guru Li dengan sigap segera menangkis serangan Lu Sicheng. Sekarang keduanya pun mulai bertarung adu pedang dengan sengit.

"Lu Sicheng, kendalikan pedang itu!" perintah Guru Li sembari menahan serangan Lu Sicheng akan dirinya.

"Bagaimana caranya, Guru Li? Pedang ini bergerak tanpa kehendakku!" Lu Sicheng tampak mulai panik. Tidak. Bisa-bisa ia membunuh si tua bangka itu sekarang juga. Pedang suci Tiga Elemen itu terlalu kuat.

"Lu Sicheng, kau sedang dikuasai energi negatif yang ada pada pedang itu. Cepat pusatkan pikiran. Kendalikan pedang itu seperti yang kau inginkan!" Guru Li mulai kewalahan menangkis serangan Lu Sicheng.

Pedang itu sudah berpuluh-puluh tahun terkurung tanpa tuannya. Pantas saja jika Pedang Suci Tiga Elemen itu mengamuk bak harimau yang terlepas dari kandangnya. Pedang suci Tiga Elemen sedang beradaptasi dengan tuannya yang baru. Guru Li pernah mendengar rumor itu.

"Baik, Guru!" Lu Sicheng memejamkan matanya. Dia memusatkan pikiran untuk mengendalikan pedang suci itu.

Fokus..

Pusatkan pikiran..

Hentikan pertarungan ini sekarang!

Aneh. Tiba-tiba saja gerakkan tangan Lu Sicheng melamban. Tampaknya pedang suci itu sudah menuruti perintahnya. Dia pun segera menghentikan pertarungan.

"Hebat, Lu Sicheng. Kau sudah bisa mengendalikan pedang itu sekarang. Aku bangga padamu," tukas Guru Li sembari membenahi pedangnya. Dia tersenyum kagum pada pemuda di hadapannya itu.

Lu Sicheng hanya tersenyum tipis. Tentu saja dia pun kagum atas dirinya. Pedang Suci Tiga Elemen itu akhirnya bisa ia kendalikan.

"Ayo, Lu Sicheng. Kita minum teh dulu sebelum kau berangkat ke Timur." Guru Li segera menggiring Lu Sicheng menuju teras depan.

Hari mulai pagi. Lu Sicheng harus berangkat ke Timur segera.

"Guru Li, kenapa kau berikan pedang ini kepadaku?" tanya Lu Sicheng saat mereka duduk sembari menikmati secangkir teh panas di teras depan rumah.

"Lu Sicheng, Pedang Suci Tiga Elemen itu milik kakekmu yang diwariskan pada mendiang ayahmu, Raja Lu Cia-Hao. Seharusnya kau sudah menaiki tahta kerajaan sekarang. Oleh karena itu sudah waktunya kau menggunakan pedang suci itu," jawab Guru Li. Kemudian meniup cangkir teh-nya lebih dulu sebelum menyesapnya.

"Lantas, apa keistinewaan pedang ini?" tanya Lu Sicheng lagi. Pendar matanya tampak penasaran menatap wajah Guru Li.

"Pedang Suci Tiga Elemen adalah pedang yang dibuat oleh Tiga Dewa Suci yaitu; Dewa Api, Dewa Air dan Dewa Bumi. Para dewa agung itu membuat pedang ini dari kekuatan alam semesta. Tiga elemen menjadi satu dan menjadi kekuatan yang sangat besar pada pedang itu. Tak hanya itu, bahkan kau pun bisa memanggil ketiga Dewa Suci itu saat sedang membutuhkan bantuan," ringkas Guru Li.

Lu Sicheng mengangguk mengerti. Kemudian dia bertanya lagi,"Guru Li, selain keturunan dinasti Lu, apakah ada orang lain yang bisa mengangkat pedang suci ini?"

Guru Li meletakkan cangkir teh yang sedang dipegangnya. Pendar matanya meredup. Dipandanginya para gadis yang sedang mencuri pandang pada Lu Sicheng. Astaga, para gadis itu tak ada kapoknya menggoda pemuda batu es ini, pikirnya sembari tersenyum tipis.

"Setahuku tak ada. Namun, aku pernah mendengar, siapa pun bisa saja menguasai dan menggunakan Pedang Suci Tiga Elemen itu. Asalkan dirinya sudah mencapai sebuah kesempurnaan, berupa bersujud selama sepuluh tahun pada pedang suci itu," ringkas Guru Li kemudian.

"Apa? Bersujud selama sepuluh tahun?" tanya Lu Sicheng kaget bukan kepalang. Mustahil ada orang yang mau melakukan hal bodoh macam itu hanya untuk sebuah pedang saja, pikirnya hampir tak percaya.

Guru Li segera mengangguk membenarkan.

"Lu Sicheng, Pedang Suci Tiga Elemen itu jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tamak dan picik, karena Pedang Suci Tiga Elemen hanya akan mematuhi perintah tuannya saja. (orang yang bisa mengangkatnya) Meski pun seseorang bisa mencapai kesempurnaan, itu tidak menjamin dirinya bisa menggunakan pedang suci itu. Salah-salah pedang itu akan menyerang dirinya sendiri." Guru Li berkata lagi.

Lu Sicheng terdiam mendengarkan. Benar, Pedang Suci Tiga Elemen itu memanglah sangat sakti dan istinewa. Pantas saja kalau banyak pendekar menginginkannya. Namun, pedang itu ternyata berbahaya pula. Lu Sicheng bisa merasakan energi negatif yang sangat besar saat pedang itu menguasainya tadi.

"Lu Sicheng, meski begitu, kau harus tetap berhati-hati saat berangkat ke Timur nanti." Nasehat Guru Li sembari menepuk bahu Lu Sicheng yang duduk pada bangku di hadapannya.

"Baik, Guru." Lu Sicheng agak tersentak dari lamunannya.

"Baiklah. Ayo, aku antar dirimu sampai gerbang." Guru Li segera bangkit dari bangkunya.

Lu Sicheng hanya mengangguk sembari bangkit dari bangku yang ia duduki. Mereka berjalan bersisian menuju pintu gerbang.

Beragam nasehat Guru Li sematkan untuk Lu Sicheng. Meski usianya sudah dua puluh enam tahun, tapi bagi Guru Li pemuda itu masih tetap anak kecil yang harus ia perhatikan. Ya, Lu Sicheng memang bisa diandalkan. Bahkan pemuda gagah itu adalah muridnya yang paling cerdas dan tangkas.

Tentu saja, karena di dalam tubuh Lu Sicheng mengalir darah Raja Lu Cia-Hao, ksatria tangguh yang berhati lembut. Bedanya Lu Sicheng lebih berhati dingin dan sedikit ketus. Lain dengan ayahnya yang ramah dan baik hati.

Meski begitu, Lu Sicheng tetap sangat menawan di mata Guru Li. Dialah satu-satunya pewaris dinasti Lu yang masih hidup. Guru Li berharap Lu Sicheng bisa kembali merebut tahta kerajaan Dong Taiyang. Menjadi raja seperti mendiang ayahnya.

"Ingatlah pesanku, Lu Sicheng. Bunuh Yang Jingmi dan bawa kepalanya padaku. Setelah itu kau harus menaiki tahta kerajaan Dong Taiyang." Guru Li memegang kedua bahu Lu Sicheng sembari menatapnya tajam, penuh harap.

"Tenanglah, Guru Li. Aku pasti akan membunuh Yang Jingmi lalu mempersembahkan kepalanya padamu," jawab Lu Sicheng. Sorot matanya tampak dipenuhi api dendam.

Guru Li tersenyum kagum melihat tekad anak muda itu. Mereka melanjutkan langkahnya lagi menuju pintu gerbang yang terbentang di depan sana.

"Kakak Cheng!"

"Tunggu, Kakak Cheng!

"Kakak Cheng!"

Lu Sicheng dan Guru Li menghentikan langkahnya mendengar suara-suara cicitan itu. Mereka pun menoleh serempak. Astaga, mau apa para gadis itu datang? Lu Sicheng tampak memasang wajah tidak senang menyambut ketiga gadis itu menghampirinya.

"Kakak Cheng, kami dengar kau akan berangkat ke Timur. Apa benar?"

"Kakak Cheng, bawalah kue beras ini. Aku membuatnya khusus untukmu."

"Kakak Cheng, aku dengar di Timur sangatlah dingin. Pakailah jubah ini. Ini adalah jubah kesayanganku. Aku akan sangat senang bila kau mengenakannya."

Guru Li mengulum senyumnya melihat para gadis itu tampak sedang menunjukkan perhatiannya pada Lu Sicheng. Sedangkan Lu Sicheng sendiri tampak dingin menatap mereka. Dia sama sekali tidak tertarik dengan barang-barang yang kereka sodorkan padanya itu.

"Maaf, aku tidak membutuhkan semua barang itu. Terima kasih," cetus Lu Sicheng segera berpamitan pada Guru Li. Dia harus segera berangkat sekarang. Persetan dengan para gadis itu.

"Tunggu, Kakak Cheng. Paling tidak bawalah kue yang kubuat ini. Perjalanan ke Timur sangatlah jauh. Kau pasti akan merasa lapar nantinya," ucap Han Siah, salah satu dari tiga gadis itu. Dia berhasil menghadang Lu Sicheng yang hendak menaiki kudanya.

Lu Sicheng memutar bola matanya bosan. Gadis ini memang selalu pantang menyerah. Tapi akan lebih buruk lagi bila dia menolak pemberiannya seperti yang sudah-sudah.

"Baiklah. Terima kasih," ucapnya sembari menerima bungkusan kain yang disodorkan oleh Han Siah.

Gadis itu tersenyum sipu malu-malu. Lu Sicheng segera memalingkan wajahnya. Sial! Pasti Han Siah besar kepala karena dia menerima pemberiannya itu, pikirnya.

Dua gadis lainnya tampak kecewa melihat hal itu. Persetan dengan mereka, Lu Sicheng segera menaiki kudanya dan berlalu. Guru Li beserta tiga gadis itu memandangi kepergian Lu Sicheng.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status