"Tante Mila!!!" Aqila menjerit seraya memanggil nama tetangga kami. "Sayang, ada apa?" Kurengkuh tubuh mungil putriku dan menciumi wajahnya berkali-kali. Putriku masih memejamkan mata, tetapi bibirnya tak henti-henti memanggil nama Jamilah. "Ada apa dengan Aqila, Sayang?" tanya Mas Abi dengan wajah tak kalah khawatirnya denganku. Aku menggeleng cepat. "Entahlah, Mas. Tapi ini badan Aqila panas banget.""Ayo kita bawa Aqila ke rumah sakit!"Mas Abi bergegas meraih tubuh Aqila dari pangkuanku dan menggendongnya. Sementara aku langsung bangkit dan bersiap. Dengan cepat, kami pun membawa putri kami ke rumah sakit terdekat. Aku sangat terkejut ketika mengetahui apa yang diberitahukan dokter padaku, bahwa Aqila over dosis obat tidur. Bagaimana bisa putri kecilku dinyatakan keracunan obat tidur, sementara dia tidak pernah meminumnya."Lalu bagaimana, Dok?" Aku sangat panik. Kukirim putri kecilku sudah mulai tenang, tidak teriak memanggil nama tetanggaku itu lagi. Namun, kedua matanya ma
Kebingunganku semakin membuncah ketika putriku menginap di rumah Jamilah. Aku mengizinkannya untuk menginap satu malam dan akan menjemputnya di pagi hari. Pagi-pagi sekali aku ke rumah Jamilah untuk menjemput Aqila. Satu malam ditinggal menginap putriku di rumah tetangga membuat tidurku tidak nyenyak. Aku keluar dari rumah dengan cepat menuju rumah Jamilah, mengetuk pintu dengan semangat karena ingin membawa putriku kembali pulang ke rumah. Namun, aku harus menerima kekecewaan karena jawaban dari putriku. Aqila tidak mau ikut pulang denganku karena alasan ingin pulang nanti sore. Ia masih ingin bermain Boneka Barbie kesukaannya. "Pokoknya Qila nggak mau pulang sekarang! Qila mau pulang nanti sore aja!" bentak putriku dengan wajah memerah. Sangat tidak sopan seperti aku ini bukan ibunya.Hal yang lebih membuatku sakit adalah dia berkata kasar padaku di depan Jamilah. Entah mengapa aku merasa seolah-olah, ibu dari putriku ini adalah perempuan bercadar yang berdiri di sampingnya, buka
Aku pulang dengan keadaan hati yang tak karuan. Pikiran dan hatiku kembali kalit seperti beberapa minggu yang lalu ketika aku mendapati banyak hal yang mencurigakan tentang Mas Abi. Benar kata orang, sebaik-baik menyimpan bangkai pasti bau busuknya akan tercium juga. Seperti kelakuan Mas Abi yang tak sengaja kulihat hari ini. Sepertinya dia sudah berusaha keras untuk menyembunyikan perselingkuhannya, tetapi Allah sangat menyayangiku, sehingga Dia memberi petunjuk padaku dengan apa yang kulihat hari ini. Aku melihat dengan jelas wajah wanita berambut pirang itu. Kulit mulus terawat dengan hidung mancung sangat cantik. Ah, berbeda jauh dari wajahku yang kusem dan kucel ini. Sampai di rumah aku menyuruh Aqilla untuk mandi, setelahnya kami makan siang bersama. Karena terbakar api cemburu, aku tidak sempat mengajak putriku makan siang di rumah makan kesukaannya. Untungnya Aqilla sama sekalian tidak protes dan sikapnya serasa melunak padaku."Ma, Qilla ngantuk. Mau tidur dulu," ucapnya s
Huh! Akhirnya aku bisa menunjukkan diriku yang sebenarnya! Setelah ini aku tidak perlu bersembunyi lagi dari wanita itu. Aku juga tidak perlu berpura-pura baik di depannya dan para tetangga. Dari kejauhan, kulihat wanita itu terkejut ketika melihatku turun dari mobil. Aku pastikan hatinya sedang bergemuruh saat ini. Dia pasti syok dan bertanya-tanya kenapa tetangganya yang berpenampilan syar'i bisa melakukan hal ini.Merebut suaminya?Ah, aku bukanlah pelakor karena aku tidak merebut suami perempuan mana pun. Karena pria itulah yang datang padaku dan memohon padaku untuk menjadikannya suami. Karena apa?Jawabannya hanya karena harta! ***Namaku Mila Cantika. Perempuan muda yang menjadi ahli waris tunggal seorang pengusaha kaya raya. Untuk urusan harta aku tidak perlu khawatir karena kakekku seorang miliarder yang mempunyai banyak cabang perusahaan.Kedua orang tuaku sudah meninggal karena kecelakan mobil tunggal. Sementara itu, kakekku sibuk mengurus perusahaan besarnya dan meneta
"Mas, mau sampai kapan aku harus nungguin kamu ceraikan wanita itu? Ini sudah hampir setahun lho. Kamu masih nunda-nunda terus." Aku protes pada Mas Abi ketika kami bermalam di hotel. Ya, kembali dari kampung kami singgah dan bermalam di hotel. Bukan kehendakku karena lagi-lagi Mas Abi tidak mau kuajak pulang. Katanya takut kalau tetangga melihat kami kembali bersama.Padahal, biasanya dia juga mengendap-endap masuk ke rumahku ketika aku menginginkan malam bersamanya. Setelah menyelesaikan pertemp*ran panas aku kembali mendesak pria itu agar cepat menceraikan istri pertamanya."Nanti dululah, Mila. Aku mau nyelesain proyek besar yang ditugaskan langsung dari kakekmu. Habis ini, aku janji bakalan ceraikan Kanaya secepatnya.""Kebanyakan alesan kamu, Mas! Ngomong aja kalau kamu nggak pengen ceraikan Kanaya itu!" sungutku seraya membalikkan badan memunggungi Mas Abi yang kini berbaring di belakangku. Perlahan pria itu memeluk dan mengec*pku dari belakang. "Mas janji, Sayang. Udah ya, j
"Mas, sejak kapan kamu memiliki hubungan dengan Jamilah?" tanyaku dengan air mata yang sudah tak dapat kubendung lagi. Mungkin Mas Abi terkejut dari mana aku tahu tentang hubungannya dengan Jamilah. Itu terlihat jelas dari kedua netranya yang terperangah ketika mendengar pertanyaanku. "Kamu tahu dari mana?" "Nggak penting aku tahu dari mana. Yang ingin aku tahu, sejak kapan kamu punya hubungan dengan wanita itu? Dan sejauh apa hubungan kalian sampai kamu ingin menceraikanku?"Mas Abi semakin menunduk dalam-dalam, "Maaf, Dek. Sebenarnya Mas dan Mila sudah menikah lama.""Astaghfirullah, Mas!" Bagai disambar petir di siang bolong, pengakuan Mas Abi merobohkan benteng pertahananku. Tanpa sadar, aku menangis sejadi-jadinya di hadapan pria itu. Namun, tampaknya Mas Abi sudah sangat yakin dengan pilihannya. Sedikit pun dia tak berusaha untuk menenangkanku dan malah membiarkanku larut dalam kesedihan. "Mas akan urus perceraian kita. Kamu dan Aqilla akan tetap tinggal di sini. Rumah ini
"Nanti kalau papa ke sini nyariin Qilla sama Mama, gimana?" tanya putriku dengan wajah polos. Tak terasa air mataku kian membasahi pipi. Aku berusaha memalingkan wajah sedihku dari hadapan Aqilla. "Ma, kok diem aja? Mama kenapa?" tanyanya lagi semakin membuat hatiku tersayat. "Nggak apa-apa, Sayang." Aku menjawab dengan cepat seraya menyeka air mata yang membasahi pipi. "Emmm ... gimana kalau kita telepon papa? Kita kabarin papa kalau kita nunggu papa di rumah nenek. Jadi nanti pas papa pulang, papa bisa langsung jemput kita di rumah nenek."Mendengar saranku, wajah gadis kecil ini seketika berbinar. "Iya, Ma! Qilla setuju! Biar Qilla aja yang ngomong langsung sama papa! Qilla udah kangeeen banget sama papa!"Iya, aku tahu perasaanmu, Sayang. Karena sejak kepergian papamu, kamu belum pernah berhubungan lagi dengannya. Jangankan menghubungi, papamu bahkan tidak berpamitan padamu sebelum dia melangkah pergi meninggalkan kita.Kusodorkan telepon pintar yang sudah kutekan nomor Mas Abi
"Kamu Kanaya, kan?" tanya pria bertubuh jakung itu dengan tatapan penasaran padaku. Dengan ragu aku mengangguk pelan. "Iya, benar. Tapi maaf, kamu siapa?" Mungkinkah aku pernah mengenalnya? Tapi untuk saat ini aku benar-benar lupa. Pria itu tersenyum kecil. "Aku Farid, Kanaya. Teman SMP-mu dulu." "Farid?" Aku masih berusaha mengingat karena waktu yang telah lama berlalu dan kejadian demi kejadian menimpa hidupku membuatku melupakan kenangan masa-masa sekolah dulu. Dan iya, SMP? Sangat lama bukan? Aku dulu SMP di desa. Ya, hanya lulusan SMP, karena keadaan yang tidak memungkinkan untukku melanjutkan sekolah lagi. Saat itu, bapak meninggal dan Rayyan masih kecil, membuatku memutuskan berhenti sekolah dan membantu mencari nafkah untuk keluarga. Kenangan yang tak mungkin kulupakan adalah masa-masa sulit itu, hingga aku tumbuh dewasa dan bertemu Mas Abi ketika dia tak sengaja melakukan KKN di desa kami. Hanya dengan modal cinta monyet aku memutuskan untuk menerima lamaran pria itu ta