“Sekaligus?” tanya ayah Gendis sambil menurunkan posisi kacamata bacanya. “Psikolog reproduksi,” ucap Rain mantap. Mendengar itu, Gendis merasa lega. Napasnya kembali normal bersamaan dengan reaksi ayah dan ibunya. “Oalah…” ucap mereka berdua hampir bersamaan sambil tersenyum lega. “Jadi Nak Rain ini psikolog, ya?” ucap ibunya. “Iya, Bu,” jawab Rain sambil tersenyum, matanya sempat melirik Gendis penuh arti. “Maaf, Nak, tapi kok bisa anterin Gendis pulang ke rumah sini?” tanya ayah Gendis. “Oh iya, jadi gini, Pak, Bu. Gendis ini ada jadwal konsultasi sama saya,” ucap Rain tenang. “Konsultasi soal apa?” tanya ayah dan ibunya hampir bersamaan. Rain menoleh ke arah Gendis. “Gimana?” tanyanya, seolah meminta izin. “Iya, nggak apa-apa, Mas,” ucap Gendis sambil mengangguk, meski matanya berkaca-kaca. Rain pun menjelaskan bagaimana Gendis datang padanya untuk konsultasi mengenai masalah yang ia hadapi: rasa kurang percaya diri terhadap kesuburan hingga hubungan rumah ta
“Raka? Mama tahu kamu di rumah. Itu siapa yang duduk di ruang TV?” tanya ibunya lagi. Raka baru menyadari ibunya sudah mengetahui keberadaannya. Video call yang masih tersambung membuatnya terkejut. Dengan buru-buru, ia segera mematikan panggilan. Napasnya memburu, wajahnya tegang. “Sialan!” umpat Raka, suaranya berat menahan panik. “Mas, kenapa sih? Siapa yang telepon tadi?” tanya Suzan, heran sekaligus cemas. “Mama,” jawab Raka singkat. Tangannya mengusap wajah dengan kasar, lalu ia berjalan mendekati Suzan. “Mama? Kenapa?” Suzan menatapnya penuh tanda tanya. “Harusnya hari ini aku pergi ke acara syukuran anaknya Dila. Tapi aku nggak pergi,” ucap Raka dengan nada menyesal, lalu duduk dan menengadah, seolah mencari jawaban di langit-langit. “Harusnya kamu bilang aja kalau lagi sama aku. Mama pasti nggak marah,” ucap Suzan, mencoba menenangkan. “Masalahnya… aku punya strategi sendiri. Aku harus buat Gendis yang lebih dulu salah. Supaya perjanjian harta pra-nikah aku sa
“Sayang, ayo! Udah siap nih!” Suara Rain terdengar jelas saat baru saja memasuki ruang tengah dan hendak mendekati Gendis. Gendis terkejut. Ia menoleh, tak bisa berkata-kata selain mematikan teleponnya. Namun justru yang terjadi… “Who?” tanya Rain pelan, suaranya terdengar seperti tekanan yang menusuk dada Gendis. “Mas…” ucap Gendis dengan wajah panik sambil memegang erat ponselnya. “Gendis? Halo? Itu siapa? Raka, ya? Gendis?” suara ibu mertuanya tiba-tiba terdengar dari seberang. Sementara Rain kembali mengulang pertanyaannya. “Siapa, Sayang?” tanyanya, kali ini lebih menekan. “Ini…” Gendis terbata-bata. “Can I just talk to that person?” ucap Rain dengan senyum samar, tangannya perlahan meraih ponsel Gendis. “Mas…” Gendis cepat-cepat menggeleng, matanya penuh ketakutan. Rain menatap wajah Gendis yang pucat. Sekejap ia terdiam, lalu mengurungkan niatnya berbicara di telepon. Ia menyerahkan kembali ponsel itu kepada Gendis, tersenyum tipis, kemudian beralih mengha
Ibu Rain sontak terdiam. Pertanyaan Gendis barusan menusuk jantungnya. Ia menatap wajah menantunya itu lekat-lekat, lalu menggenggam tangan Gendis lebih erat. “Duh, Gendis… kamu ini bicara apa?” ucap ibu Rain yang tampak terkejut mendengar ucapan dari Gendis. “Maaf, Ma. Saya cuma takut akan ada penolakan,” ucap Gendis sambil menundukkan wajahnya. “Mama sama sekali nggak akan berubah! Keturunan itu urusan Allah. Yang penting kalian bahagia dulu. Cucu itu bonus, bukan syarat sayang Mama ke kamu,” ucap ibu Rain dengan suara bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. Gendis langsung menunduk, air matanya jatuh perlahan. Ada kelegaan, tapi juga rasa haru yang menyesakkan. Namun tiba-tiba, suara Wanda terdengar dari arah belakang. “Kalau nggak bisa kasih keturunan… terus gimana, Ma? Rain kan anak lelaki satu-satunya. Masa Mama sama Papa nggak pengen punya cucu dari darah daging mereka?” tanyanya dengan nada sinis, kedua tangannya terlipat di dada. Suasana langsung menegang. Gendis
Putri menajamkan pandangannya, melihat seseorang di kejauhan. Matanya membesar, napasnya tercekat. “Sayang!” ucap Putri sambil menepuk lengan suaminya yang tengah memilih barang. “Sayang… itu Raka, kan?” tanya Putri, suaranya bergetar di antara keterkejutan dan rasa tak percaya, matanya tak lepas menatap sosok yang pernah jadi sumber luka bagi sahabatnya. “Um? Kenapa?” sahut suaminya, keningnya berkerut. “Raka? Raka suaminya…” ucap suami Putri, matanya mengerjap tak percaya. “Iya, Gendis!” sahut Putri, nadanya meninggi penuh emosi. “Dan itu bukan Gendis! Itu perempuan lain!” seru Putri sambil berbisik cepat, pandangannya tajam, sementara panggilan video dengan teman-temannya masih aktif. “Kok…?” ucap suami Putri, wajahnya memucat antara bingung dan kaget. “Aku harus foto! Kalau perlu aku rekam!” ujar Putri dengan nada mantap, lalu segera mematikan panggilan telepon dan mengangkat ponselnya, siap membidik Raka dan Suzan. “Sayang, hati-hati… nanti jadi masalah,” ucap
“Aku takut nanti nama kamu jelek. Karier kamu sebagai Psykologi Reproduksi bisa rusak karena ini. Aku nggak mau,” ucap Gendis, menatap Rain dengan mata berkaca-kaca. “Terus, maunya kamu gimana?” tanya Rain, nada suaranya mulai meninggi, campuran frustrasi dan khawatir. “Aku mau… aku kembali ke rumah. Dan aku harus cari bukti lebih banyak lagi—lebih dari sekadar pesan dari wanita itu soal baju kemeja Mas Raka,” ucap Gendis, matanya kini dipenuhi tekad. “Saya nggak mau kamu balik ke sana,” potong Rain cepat, suaranya tajam penuh larangan. “Tapi harus, Mas… kalau nggak—” suara Gendis terhenti, seolah kata-kata selanjutnya terlalu berat untuk diucapkan. Udara di antara mereka pun mendadak terasa sesak. Rain menatapnya tajam, lalu dengan satu gerakan cepat memegang kedua pipi Gendis, memaksa perempuan itu menatap matanya. “Kamu pikir Saya bakal biarin kamu balik ke rumah itu?!” suaranya rendah tapi dinginnya menusuk, membuat jantung Gendis berdegup tak karuan. “Mas…” Gendis m