หน้าหลัก / Rumah Tangga / PELAN PELAN SAYANG / 391 - SEKALIPUN DIPAKSA, SAYA TIDAK MAU!

แชร์

391 - SEKALIPUN DIPAKSA, SAYA TIDAK MAU!

ผู้เขียน: Dara Tresna Anjasmara
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-24 15:27:22

“Iya, Ma. Semalam Yuda telepon juga,” ucap Rain sambil merapikan earphone di telinganya dan menjauhkan ponsel dari dekat wajah anaknya.

“Masa dia hilang tanpa kabar? Mama kaget dengarnya. Tante kamu sudah lapor ke kantor Om Kevin, tapi hasilnya masih nihil,” ucap ibu Rain dengan suara yang terdengar goyah.

“Sabar aja, Ma. Biarin polisi yang kerja. Memang itu sudah tugas mereka,” ucap Rain pelan sambil menatap wajah putranya yang masih nyaman di gendongan.

“Iya sih… kamu benar juga, Rain. Mama juga sudah bilang begitu ke tante kamu. Ya udah, Mama cuma mau kasih tahu soal itu aja. Oh iya, mana cucu Oma? Tidur, ya?” tanya ibunya lagi, suaranya berubah lembut.

“Nggak, Ma. Ini Rain gendong. Lagi nikmatin matahari pagi, Oma,” ucap Rain sambil tersenyum kecil.

“Haduuuh… gemes deh. Pengen lihat dia terus. Kalian kapan sih balik ke rumah Mama? Janjinya, kan, pas udah lahiran,” ucap ibunya dengan nada manja sekaligus rindu.

Rain menarik napas perlahan, menahan semua rasa yang menump
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • PELAN PELAN SAYANG   481. HADIAH ISTIMEWA DIBUKA PAGI ITU!

    “Ini barang buat gue?” tanya Darmadi, sambil menepuk-nepuk permukaan dus, matanya menyipit penuh selidik. “Iya, Bos,” jawab salah satu anak buahnya cepat. “Beda sendiri. Kayaknya memang khusus.” “Mungkin bonus, Bos,” sahut yang lain sambil tertawa kecil. “Apalagi Bos kan udah banyak ngirim ‘paket’. Cuannya juga makin jadi aja.” “Iya, Bos,” timpal rekannya. “Berkat jaringan yang Bos kelola, penjualan makin naik.” Darmadi sontak tertawa puas. “Bisa aja lo pada,” ucapnya sambil mengibaskan tangan. “Ya udah, gue jadi penasaran sama paketan ini.” Darmadi mengelus sisi dus yang tebal itu. “Kayaknya barang mahal, nih. Dusnya aja beda… tebel banget,” katanya sambil terkekeh bahagia. Tawa Darmadi masih menggantung ketika ia meraih sebilah pisau tajam dari meja. Tanpa ragu, ujung pisau itu diarahkan ke dus—siap membelah hadiah yang pagi itu sama sekali belum ia pahami isinya. “Sayang, dia udah ambil pisau tuh…” ucap Gendis tak sabar. Ia segera duduk di atas pangkuan Rain, matany

  • PELAN PELAN SAYANG   480. KEJUTAN. PAKET ITU TIBA!

    “Pulang sendiri? Maksudnya apa, ya?” ucap Ari lirih sambil duduk bersandar pada tembok. Ia mengisap sebatang rokok dalam-dalam, matanya waspada menyapu sekitar, seolah mencari jawaban dari rasa takut yang mulai merayap. “Ari, dipanggil bos!” Ari tersentak. Ia segera berdiri, mematikan rokoknya asal, lalu melangkah cepat menuju lantai dua. “Iya, Bos,” ucap Ari singkat saat berdiri di depan atasannya, bahunya tampak tegang. “Lo tahu di mana teman kita dua lagi?” tanya bos itu dingin, sorot matanya tajam menekan. “Gue nggak tahu, Bos. Terakhir mereka mau nganterin barang,” jawab Ari cepat, berusaha terdengar tenang meski tenggorokannya terasa kering. “Nggak usah pura-pura polos,” potong sang bos tajam. “Lo tahu, kan, mereka berdua gue kasih izin buat eksekusi korban?” “Sumpah, gue nggak tahu sama sekali, Bos,” ucap Ari cepat. Suaranya terdengar kaku, rahangnya mengeras menahan gugup. “Anak-anak bilang… lo ini mata-mata,” ucap bosnya datar, tapi sorot matanya tajam menusuk

  • PELAN PELAN SAYANG   479. RAIN KIRIM BALIK, ARI PANIK.

    “Apa semua udah beres, Mas?” tanya Gendis berbisik pelan sambil menyentuh dada bidang suaminya malam itu. Rain mengangguk sambil tersenyum, matanya sempat melirik ke arah Bima yang tertidur pulas tak jauh dari mereka, wajah kecil itu terlihat damai dalam keheningan malam. “Udah semua, Sayang,” ucap Rain lembut sambil mengusap punggung istrinya pelan, penuh kasih sayang—kontras dengan apa yang ia lakukan beberapa jam lalu di ruang kamar tamu yang dipenuhi darah dan peluh keringat. “Aku takut, Mas… sumpah aku takut...” bisik Gendis lirih. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang tak ia sembunyikan, tubuhnya makin dalam terbenam dalam pelukan suaminya, mencari rasa aman. “Saya nggak akan lukai kamu sama Bima. Saya cuma… ngelakuin hal yang seharusnya, mempercepat masalah hidup mereka,” ucap Rain pelan sambil tersenyum, lalu mengecup pucuk kepala istrinya dengan lembut. “Bisa nggak kamu nggak ngelakuin itu lagi? Terlebih di dalam rumah kita sendiri, Mas…” ucap Gendis sambil menangis

  • PELAN PELAN SAYANG   478. SATPAM MALAM-MALAM CARI KURIR KERUMAH RAIN?

    “Tadi siang, ada kurir dua orang masuk ke perumahan kita, Pak. Um… terus… sampai malam ini, mereka nggak balik juga. Saya sama temen saya khawatir,” ucapnya kebingungan, suaranya terdengar ragu-ragu. “Soalnya kenapa?” tanya Rain dengan tenang, ekspresinya tetap santai. “Takut mereka masuk ke rumah warga, Pak. Tapi… alarm warga nggak ada yang bunyi. Apa dirusak atau gimana? Duh… bingung, Pak,” lanjutnya, napasnya terdengar berat menahan cemas. “Dua orang?” tanya Rain pelan, alisnya sedikit terangkat, matanya menatap tajam namun senyumnya tak pernah benar-benar hilang. “Iya, Pak. Dua orang, dan… yang bikin saya kaget… mereka masuk ke rumah kosong yang dijual itu, Pak. Motornya ada di sana, tapi orangnya nggak ada,” ucap sekuriti itu lirih, wajahnya terlihat makin gelisah. “Hmm… bahaya juga, ya,” ucap Rain sambil tersenyum tipis, seolah menimbang sesuatu di kepalanya. “Itu dia, Pak. Saya lewat pas lihat tadi Pak Rain ngapain, saya kira orang asing masuk,” katanya cepat, lalu

  • PELAN PELAN SAYANG   477. TAKUT NGGAK?

    Rain segera memfoto dua paket itu, menyimpan hasil foto dengan tenang, senyum dan terlihat bahagia. Ia menatapnya sebentar, kemudian menarik napas dalam-dalam, merenggangkan tubuhnya, sebelum bersiap menguburkan dua jasad tanpa kepala di pekarangan belakang rumahnya. Hujan kini sudah reda, hanya sisa tetesan air yang menetes perlahan dari dedaunan. Dengan tenang namun penuh kewaspadaan, Rain mulai mencangkul tanah di bawah pohon beringin, tak jauh dari gazebo tempat keluarganya biasanya berkumpul—duduk santai, makan siang bersama, sambil menikmati ikan koi yang berenang di kolam. Tubuhnya berkeringat deras, air mengucur dari pelipis dan rambutnya, bercampur tanah basah yang menempel di tangannya. Setiap hentakan cangkul terdengar menggema di pekarangan, seakan menyadarkan dirinya akan kengerian yang sedang ia lakukan. Sementara itu, sekuriti perumahan elite tempat ia tinggal tengah kebingungan mencari kurir pemilik motor tersebut. “Bro, jam berapa mereka masuk?” tanyanya pada

  • PELAN PELAN SAYANG   476. REAKSI GENDIS WAKTU TAHU APA YANG DILAKUKAN SUAMINYA.

    “Ini… jasad, Sayang,” ucap Rain pelan sambil melangkah mendekati dua bungkusan di lantai. Gerakannya membuat Gendis tersentak. Ia mundur perlahan, punggungnya menekan sandaran ranjang. “Kamu bunuh orang lagi?” tanya Gendis dengan suara bergetar, nyaris tak sanggup menatapnya. Rain terdiam sejenak. “Maaf, Sayang. Saya… saya ngerasa harus,” katanya lirih. “Mereka masuk ke rumah ini dan—” “Mas!” potong Gendis keras, suaranya pecah oleh tangis. “Kamu janji nggak bakal ngelakuin itu lagi sama aku. Kenapa kamu ingkar?” isaknya makin menjadi. Rain menunduk. Tatapannya jatuh pada bungkusan itu sebelum tangannya meremas kaus yang masih bernoda darah. “Saya terpaksa, Sayang…” ucapnya pelan, suaranya berat, seolah menahan sesuatu yang lebih gelap dari yang berani ia akui. “Sekalipun terpaksa, kamu bisa, kan, laporin mereka ke polisi?” ucap Gendis dengan suara bergetar. “Atau dipukul aja… jangan sampai begini,” lanjutnya, tangisnya tertahan di ujung kata. Rain terdiam. Rahangnya

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status