LOGIN“Bima tidur, Ma,” ucap Gendis sambil tersenyum tipis, lalu melangkah menuju ruang makan. “Tidur?” ulang ibu Rain sambil duduk santai di ruang keluarga. “Kamu yang nyuruh tidur, ya? Sengaja?” lanjutnya dengan nada menyelidik, lalu melirik ke arah Ujang. “Jang, nyalain TV.” Ujang menyalakan televisi, lalu kembali duduk di sofa sudut. “Kamu ngapain, Jang?” hardik ibu Rain tajam. “Duduk di luar sana!” “Nganu, Bu…” Ujang ragu-ragu, tubuhnya sedikit menegang. “Ma, nggak apa-apa,” potong Gendis cepat, nadanya meninggi tanpa ia sadari. “Pak Ujang di ruang makan juga boleh. Makan dulu, nih. Aku banyak beli kue, loh.” Ia menata piring agak lebih keras dari biasanya. “Kopi bikin sendiri aja, ya.” Udara di ruangan itu seketika terasa tegang. “Siap, Mbak,” sahut Ujang, sopir baru yang belum lama menggantikan sopir sebelumnya—yang memilih mundur karena tak sanggup menghadapi sikap Ibu Rain yang kerap berubah-ubah. “Jangan terlalu baik sama siapa pun, Gendis…,” ucap Ibu Rain santai,
“Mama, aku nggak mau pulang. Aku mau ke Papa,” ucap Bima sambil memutar tubuhnya, menoleh ke belakang, memperhatikan mobil-mobil lain yang melaju beriringan di jalan yang ramai. “Papa lagi kerja, Bima… Oma nanti juga mau ke rumah kita,” ujar Gendis lembut sambil tersenyum, memutar setir ke kanan, mengarahkan mobil menuju rumahnya. “Tapi aku nggak mau Oma…” rengek Bima pelan. Ia menggaruk kepalanya sebentar, lalu meraih botol berisi ASI di konsol tengah mobil dan segera mengisapnya, wajahnya terlihat sedikit cemberut. “Bima nggak boleh gitu… kenapa memangnya? Oma kan baik sama kamu,” ucap Gendis sambil melirik sekilas ke kaca spion. “Aku maunya sama Mbah Utie, sama Eyang Kung,” sahut Bima lirih, suaranya terdengar ngambek. “Mbah Utie lagi sibuk sama Eyang, ada urusan kerjaan,” ujar Gendis lembut sambil mengusap rambut Bima. “Nanti mereka ke rumah kita, kok.” Bima mengangguk cepat, lalu memejamkan matanya perlahan. Di saat yang sama, layar dashboard mobil menyala menampilkan nama
“Iya, Mama? Kita lagi belanja nih. Ada apa, Ma?” tanya Gendis sambil menunduk memilih beberapa bahan makanan di swalayan, matanya sesekali menatap rak-rak dengan teliti. “Kapan pulang? Mama mau ke rumah lihat Bima nih…” ucap ibu mertuanya dengan suara lembut, terdengar rindu dan hangat. Lima belas bulan berlalu, dan semua sudah dilalui Rain dan Gendis dengan sukacita. Rain kembali bekerja, sementara kabar terbaru menyebutkan bahwa Rain dan Gendis sepakat membiayai kuliah Ega dan Ari. Kini, keduanya juga resmi menjadi junior Angga di perusahaan Rain, menandai awal perjalanan baru yang lebih stabil dan penuh harapan. “Pokoknya, kalau nggak tahu, nanya aja, nggak apa-apa,” ucap Angga sambil menatap Ari dan Ega, senyum tipisnya memberi dorongan agar mereka tak ragu bertanya. “Iya, Pak,” sahut Ari sambil mengangguk, matanya masih fokus pada tumpukan berkas yang mereka periksa pagi itu. “Udah bisa ngetik pakai keyboard belum?” tanya Angga lagi, suaranya lembut tapi tegas, menunjukkan p
“Rain, coba buka pintu. Ada tamu kamu yang masih pakai cara lama buat masuk rumah tuh …” ucap salah satu teman Rain sambil menahan tawa saat menghampirinya di ruang makan. Beberapa orang langsung terkekeh pelan. Rain ikut tersenyum tipis, lalu berdiri dan berjalan santai menuju pintu, seolah tak terjadi apa-apa. Di balik sikap tenangnya, beberapa anggota polisi sudah bersiap siaga, posisinya rapi dan waspada, melindungi Rain dari berbagai sudut. Sementara itu, Ega hanya bisa terdiam membeku di kursinya. Tangannya dingin, jantungnya berdegup tak karuan. Ini adalah kali pertama ia menyaksikan penangkapan pelaku kejahatan secara langsung—bukan dari cerita, bukan dari berita, tapi tepat di depan matanya sendiri. Hitungan ketiga… Rain menekan tombol pintu. Tanpa disadari Ari dan teman-temannya, pintu yang semestinya mereka bobol justru terbuka dengan mudah. “Eh… kebuka, nih,” ucap salah satu teman Ari dengan nada bangga, seolah semua itu murni hasil kerja kerasnya. Mereka langsung s
“Eh, dimakan dong…,” ucap Rain sambil mengajak mereka semua menuju ruang makan mewah miliknya dan tampak banyak jenis makanan dan beberapa kotak berisi makanan di tengah meja, senyumnya santai seolah malam itu benar-benar tanpa beban. Mereka pun mulai menikmati hidangan itu bersama, tertawa kecil dan saling menyahut seperti sedang mengadakan pesta biasa di tengah malam. Ega hanya bisa mengangguk-angguk kecil, sesekali tersenyum kikuk. Setiap kali ditanyai, jawabannya tak jauh dari, “Iya, Pak,” atau, “Hehe… iya, Pak,” sambil sesekali menunduk. Nasihat demi nasihat mengalir dari teman-teman Rain—tentang hidup, pilihan, dan keberanian—bercampur dengan obrolan ngawur yang nyeleneh, membuat suasana jadi ringan dan hangat. Di balik tawa yang terdengar santai itu, Ega sadar satu hal: malam ini bukan sekadar jamuan biasa, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dari hidupnya selama ini. Ia menelan ludah pelan, lalu kembali tersenyum, membiarkan dirinya hanyut dalam suasana yan
Perjalanan menuju kediaman Rain berlangsung dalam keheningan yang semu. Ari dan beberapa anak buah Darmadi yang tersisa kini berpakaian rapi—bersih, necis—dengan senjata tersembunyi di bawah bangku mobil. “Kali ini gue jamin kita bakal masuk tanpa banyak ditanyain sama sekuriti,” ucap salah satu dari mereka sambil merapikan jasnya, nada suaranya penuh percaya diri. “Iya,” sahut yang lain sambil tersenyum puas. “Gue juga ngerasa gitu. Apalagi tampilan kita udah persis kalangan atas begini.” “Walaupun barang KW,” timpal yang lain sambil terkekeh. “Hahaha….” Tawa mereka memenuhi kabin mobil, ringan dan ceroboh, seolah malam ini hanyalah urusan biasa. Sementara itu, Ari memilih diam. Ia bersandar pada kursi, menatap keluar jendela—lampu jalan berkelebat cepat, seperti bayangan nasib yang sedang menuju titik akhir. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum senang, melainkan senyum orang yang sudah tahu akhir cerita. “Omongannya nggak penting,” batinnya dingin. “Tapi… lucu juga.” Ia







