LOGIN“Bisa nggak… istri Pak Rain bekerja sama—pura-pura mati?” ucap Ega gugup. Kedua tangannya saling menggenggam erat, telapakannya basah oleh keringat.“Hahaha…” Rain tertawa singkat, namun sorot matanya tetap tenang, seolah sedang menimbang sesuatu yang jauh lebih besar.“Maaf, Pak, kalau kedengarannya nggak enak,” lanjut Ega tergesa. Suaranya bergetar. “Kami benar-benar bingung harus gimana. Ari malah pengin cepat balik ke penjara… katanya, di sana dia justru lebih tenang. Nggak ada tekanan, meskipun nama dia hancur.”Ega menunduk dalam-dalam. “Tolong, Pak… kami ini orang kecil.”Rain terdiam sejenak. Ia meneguk minumannya perlahan, lalu menatap Ega dengan senyum tipis yang sulit ditebak.“Saya bantu,” ucap Rain akhirnya, suaranya rendah tapi tegas. “Saya bantu semuanya—termasuk membersihkan nama Ari dari segala tuntutan dan tuduhan.”Ia kembali meneguk min “Maksudnya apa, Pak? Pak Rain jangan bercanda, Pak. Ini serius, kan?” tanya Ega. Suaranya bergetar, matanya menatap Rain penuh har
“Malam ini gue tugasin dia buat ke rumah si psikolog itu,” ucap Darmadi pelan, asap rokok keluar dari sela bibirnya.“Menurut lo, apa dia bersekongkol sama Rain?” tanya Erawan, suaranya datar, tapi tatapannya tajam.Darmadi melirik sekilas. “Kenapa lo bisa mikir kayak gitu?” tanyanya, lalu kembali menghisap rokoknya dalam-dalam.Erawan menyandarkan punggung ke kursi. “Gue ini polisi. Dua puluh tahun gue kerja mecahin kasus kejahatan. Gue bisa baca perilaku orang dari cara dia bicara dan bersikap—bohong atau jujur,” ucapnya tenang, nyaris tanpa emosi.“Jadi menurut lo, dia bohong?” tanya Darmadi sambil menghembuskan asap ke udara.Erawan menggeleng pelan. “Dia jujur…” katanya, lalu berhenti sejenak. “Tapi dia bohong waktu bilang dia nggak tahu siapa pelakunya.”Kalimat terakhir itu menggantung di udara, berat dan menekan, membuat ruangan terasa makin sempit.****Sementara itu, Ega baru saja tiba di kediaman Rain.“Masuk,” ucap Rain sambil tersenyum ketika melihat Ega yang malam itu be
“Ari, ini Pak Erawan mau ketemu sama lo,” ucap Darmadi sambil menggiring Ari menuju tangga lantai dua.Erawan sudah lebih dulu melangkah naik tanpa menoleh.“Ada apaan, Bos?” tanya Ari, raut wajahnya tegang, langkahnya sedikit tertahan.“Udah, ikut aja. Nanti juga lo tahu,” jawab Darmadi singkat, nada suaranya terdengar tenang—terlalu tenang.Sesampainya di lantai dua, mereka duduk saling berhadapan. Suasana ruangan terasa berat, udara seolah mengeras. Erawan menyilangkan tangan di atas meja, menatap Ari tanpa berkedip, seperti polisi yang tengah mengunci tersangka.“Ari,” ucap Erawan pelan namun tajam, “kamu tahu siapa pelaku yang memenggal kepala dua orang ini?”Ari menelan ludah. Tangannya mengepal di atas paha, dadanya naik turun tak beraturan.“Saya nggak tahu sama sekali, Pak,” jawabnya cepat, nyaris refleks, dengan suara sedikit bergetar. ampai di lantai dua, mereka duduk saling berhadapan. Udara terasa berat.“Ari,” ucap Erawan datar, sorot matanya tajam seperti penyidik. “Kam
“Tapi… lo percaya Pak Rain itu ngelakuin semuanya sendirian?” tanya Ega sambil terus mengunyah ubi goreng. Tangannya sesekali meraih gelas kopi dingin, lalu diseruput perlahan. Ari mengangguk pelan. Ia ikut menyeruput kopinya, wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya serius. “Gue percaya, Ega. Gue yakin dia bisa lakuin semua sendirian.” Ega berhenti mengunyah. Alisnya sedikit terangkat, menatap Ari penuh selidik. “Dan… lo minta bantuan apa ke gue?” Ari meletakkan gelas kopinya ke meja dengan gerakan pelan, lalu menatap Ega lurus-lurus. Suaranya menurun, terdengar lebih berat. “Malam ini gue harus ketemu Pak Rain. Tolong lo hubungi dia. Yakinin dia buat percaya sama kita berdua,” ucapnya serius, lalu menarik napas dalam. “Karena gue terancam, dan keluarga dia juga terancam, bro.” “Dengan cara?” tanya Ega, alisnya terangkat, kunyahan ubi gorengnya terhenti. “Bilang apa aja ke dia, terserah lo,” jawab Ari cepat. Nada suaranya terdengar mendesak. “Kalau perlu, datengin
Mendekati dua jam berada di dalam kediaman Rain, para polisi akhirnya menyerah karena tak menemukan petunjuk tambahan apa pun. “Pak, kalau nanti menemukan sesuatu yang mencurigakan, mohon segera hubungi kami berdua,” ucap salah satu polisi sambil mengenakan kembali topinya, tepat sebelum melangkah menuju mobil. Nada suaranya terdengar lelah, namun tetap profesional. “Kami kesulitan melacak ke mana arah mereka pergi.” “Siap, Pak,” jawab Rain mantap. Ia mengangguk pelan. “Saya harap… mereka bisa segera ditemukan.” Ada harap yang samar dalam suaranya, meski wajahnya tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas waktunya siang ini, Pak Rain,” lanjut polisi itu. “Dan terima kasih juga atas minumannya.” “Iya, Pak,” sahut rekannya sambil tersenyum lebar, memeluk dua toples kue kering pemberian Gendis erat-erat di dadanya. “Makanannya enak banget. Makasih banyak, ya.” “Masih banyak kalau mau nambah lagi,” ujar Rain sambil tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Wah, ngisini
“Jadi, mereka sempat masuk ke sini? Bahaya,” ucap salah satu polisi pada rekannya, nadanya mengeras. “Apa perlu panggil tim?” tanya yang lain, waspada. “Nggak usah dulu. Sekarang periksa jejak kaki mereka sampai ke mana,” perintahnya cepat. “Siap, Pak,” sahut rekannya, lalu kembali menelusuri tanah basah di pekarangan. Sementara itu, polisi yang memimpin menoleh ke arah rumah Rain. Tatapannya berhenti pada deretan kamera pengawas yang terpasang di berbagai sudut. “Aku mau ke Pak Rain dulu. Rumah dia ini banyak kamera pengawas—lebih mirip penjara kelas kakap. Kamera hampir ada di tiap titik. Mustahil mereka nggak terekam,” ucapnya pelan, namun sarat keyakinan. Di kejauhan, Rain masih berdiri tenang. Senyumnya tak pudar sedikit pun. “Pak Rain, mohon izin,” ucap salah satu polisi dengan nada sopan namun serius. “Apa boleh saya memeriksa rekaman CCTV? Maksud saya, rekamannya.” Ia menunjuk lantai teras yang tampak bersih. “Kami melihat ada jejak kaki terduga pelaku—dua orang—







