Suara di seberang terdengar gugup. “Sepertinya soal… kebocoran proyek lama, Pak. Dan… mungkin dia masih nggak terima dengan pemecatan itu.” “Hm…” Rain menyandarkan tubuh pada meja dapur. Mata Rain langsung berkilat dingin. Jemarinya mengetuk pelan meja kayu, ritmenya teratur tapi mencekam. “Dan pas di parkiran, saya lihat Pak Raka menemui Angga,” ucap stafnya dengan suara ragu. “Angga?” Rain mengulang sambil tersenyum tipis. Ia tetap tenang, menata barang belanjaan satu per satu ke dalam kulkas seakan berita itu tidak penting. “Iya, Pak. Apa mungkin dia justru… mengajak Angga buat serang balik Bapak? Kerja sama?” Suara stafnya terdengar tercekat, takut salah bicara. Rain berhenti sejenak, lalu menutup pintu kulkas dengan tenang. Senyumnya melebar, tapi matanya dingin menusuk. “Bagi saya… dia cuma nyamuk. Kalau dia kenyang, dia susah bergerak. Dan di situlah… kematian dia sangat dekat.” Diam sejenak. Hanya suara napas Rain yang terdengar, berat dan penuh ancaman, seolah kal
“Leher kamu… putus.” Rain tersenyum tipis, matanya dingin menusuk ke arah Maya. Maya menelan ludah kasar, panik mulai menguasai wajahnya, meski ia masih berusaha melawan. “Aku nggak bakalan diam aja. Mungkin sekarang kamu bisa nakutin aku, tapi liat nanti!” seru Maya dengan suara gemetar. “Kamu yakin?” tanya Rain pelan, namun penuh ancaman. Maya terdiam. Seketika lehernya terasa dingin—sesuatu berbahan stainless menempel di kulitnya. “Yakin?” Rain mengulang lagi, suaranya bagai pisau yang mengiris pelan. Maya menggeleng cepat. Wajahnya memucat, tubuhnya bergetar, napasnya makin tersengal. “Waktu kamu nggak banyak. Pergilah menjauh. Tapi…” Rain mendekat, berbisik di telinganya. “Hati-hati. Karena saya nggak akan pernah jauh dari kamu.” Ia mendorong Maya keluar dari kontrakan dengan kasar. Maya menoleh sejenak, menyeka keringat di wajahnya, berusaha merapikan pakaian yang kusut. Lalu ia segera berlari kecil menuju mobilnya di ujung jalan, hampir tersandung karena gemet
“Wanita tolol... bahkan gairahmu bisa jadi senjata untuk menghancurkanmu sendiri,” gumam Adi, nadanya getir sekaligus puas. Dan saat ia berbalik, bayangannya sendiri di kaca koridor menatap balik—gelap, bengkok, penuh niat jahat yang bahkan Maya tak pernah bayangkan. “Padahal dia bilang cinta mati dengan suaminya, tapi ternyata dia malah menikahi pengangguran! Sampah!” ucap Adi sambil menghisap rokok, matanya tajam memandang layar laptop. Senyumnya melebar, dingin. “Sepertinya Pak Rain memang tidak bisa disentuh oleh hukum. Dia orang yang punya kuasa. Dan Maya? Dia bahkan sudah kalah sebelum perang,” lanjutnya dengan nada getir, seperti meramal kehancuran yang pasti datang. Di kamar penuh aroma rokok dan parfum mahal, Maya berbaring letih, tubuhnya masih lengket oleh sisa gairah. Meski lelah, sorot matanya berkilat, seperti wanita yang hidup dari dendam dan nafsu. “Kamu mau ke mana pagi ini?” tanya suami sirinya dengan datar, sambil mengancingkan kemejanya. “Aku mau ketemu
“Tapi, aku takut Mama sama Papa kamu datang kayak waktu itu Mas...” ucap Gendis yang tampak sedikit ragu dan teringat sesuatu yang menyakiti hatinya. “Tenang aja, Sayang. Saya seharian ini temani kamu dan nggak ada yang berani menyakiti kamu lagi,” ucap Rain meyakinkan Gendis. “Oke! Aku mau, Mas! Sekalian belanja ya, Mas,” ucap Gendis dengan semangat. “Iya, Sayang. Apa aja yang mau kamu beli, kita beli,” ucap Rain sambil menatapnya penuh kasih. “Yes! Terima kasih, Sayang...” ucap Gendis sambil tersenyum lebar, lalu memeluk Rain dengan hangat. Pagi itu, Gendis merasa lebih bertenaga dan bahagia. Rain menemaninya menonton TV sambil menikmati camilan buah yang asam. “Ah... Sayang... ini terlalu...” ucap Rain yang tak bisa lagi menahan ekspresinya saat mencoba buah kering itu. “Mas, ini tuh enak banget. Nggak asem kok, malah manis,” ucap Gendis sambil mengunyah dengan santai. “Nggak bisa, saya nggak kuat, Sayang... Kamu aja, ya. Please. Saya nyerah kali ini,” ucap Rain s
“Ah... Mas... terus...” bisik Gendis parau, jemarinya mencengkeram sprei, tubuhnya bergetar tak terkendali saat Rain terus menjilati bagian paling sensitif miliknya. “Ah... ah... Mas...” desahnya pecah, tubuhnya menegang, lalu ia terhempas ke puncak. Cairan hangat mengalir deras, membuat Rain menelannya rakus seolah tak ingin menyisakan setetes pun. “Hmm...” Rain mendengus di sela hisapan terakhirnya. Ia bergerak naik, lalu menekan tubuhnya masuk dari sisi samping. Gerakannya penuh kendali, menjaga Gendis yang tengah hamil kecil tetap aman tapi tetap merasakan setiap sentuhan mendalam. “Sayang... sempit banget...” bisik Rain di telinganya, suaranya serak penuh gairah. Tubuh Gendis ikut terhentak, napasnya memburu. “Nikmati aku, Mas... aku cuma punya kamu... oh, Mas...” suaranya pecah di antara desah, pasrah pada ritme tubuh Rain yang terus menghujam pelan tapi dalam. ••• Di kamar kosan, suasana berbeda. Hanya cahaya layar laptop yang menyoroti wajah Angga. Ia menelusuri
Rain menggeleng pelan, lalu bersuara dengan nada dingin. “Pengecut adalah orang yang sudah tahu salah, sudah tahu kalah… tapi tetap berusaha mencari-cari kesalahan orang lain.” “Sekarang keluar dari perusahaan saya. Anda resmi, mulai detik ini juga, bukan bagian dari Brawijaya Construction Corporation,” ucap Rain dengan tenang. Ia lalu meninggalkan Ruang Cendrawasih dengan langkah tegap dan kuat, segera memasuki lift untuk turun ke lantai dasar. Raka merasa dipermalukan di depan semua orang. Amarahnya menyalakan bara di dadanya, membuatnya tak bisa tinggal diam. Ia segera meninggalkan ruangan itu dan mengejar Rain. Rain baru saja tiba di parkiran. Saat hendak masuk ke dalam mobil, suara lantang memanggilnya. “Rain!” teriak Raka. Rain menoleh. Ia tersenyum tipis, lalu menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Hampir semua staf berdesakan di balik kaca gedung tinggi, menyaksikan dengan jantung berdegup kencang. Sebagian yang lain bahkan berlarian ke lantai dasar agar bisa l