Home / Rumah Tangga / PELAN PELAN SAYANG / 54 - SURAT PANGGILAN DARI PENGADILAN AGAMA.

Share

54 - SURAT PANGGILAN DARI PENGADILAN AGAMA.

last update Last Updated: 2025-08-23 17:46:48

Dengan ragu, ia membuka pintu perlahan. “Apa itu... Mas Rain?” bisiknya. Ia kembali mengintip, menahan napas, lalu mendapati wajah asing yang jelas bukan Rain.

“Bukan...” gumamnya lega, lalu membuka pintu sedikit lebih lebar.

“Iya?” tanya Gendis hati-hati, menatap tamunya.

“Oh, em... Mbak yang nungguin kamar ini?” ucap Pria itu dengan ramah.

“Iya, saya. Ada apa ya?” tanya Gendis yang tampak bingung.

“Saya boleh numpang charger hape?” tanya pria tampan itu sambil tersenyum ramah. Senyumnya hangat, membuat Gendis kikuk seketika.

Gendis menoleh ke belakang, melirik stopkontak yang terletak di dekat ranjang. “Boleh... tapi Mas-nya jangan masuk. Maksud saya...”

“Iya, saya ngerti, Mbak. Ini chargernya, ini hape saya. Nanti saya ambil lagi,” sahut pria itu cepat, menegaskan dengan senyum sopan.

“I-iya...” jawab Gendis, tangannya sedikit bergetar saat menerima ponsel dan charger milik pria itu.

“Terima kasih, Mbak. Soalnya listrik saya mati, mau ngisi tapi hapenya keburu mati juga,”
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • PELAN PELAN SAYANG    103 - RAIN MEMELUK MAYA DAN MELAKUKAN...

    “Wanita tolol... bahkan gairahmu bisa jadi senjata untuk menghancurkanmu sendiri,” gumam Adi, nadanya getir sekaligus puas. Dan saat ia berbalik, bayangannya sendiri di kaca koridor menatap balik—gelap, bengkok, penuh niat jahat yang bahkan Maya tak pernah bayangkan. “Padahal dia bilang cinta mati dengan suaminya, tapi ternyata dia malah menikahi pengangguran! Sampah!” ucap Adi sambil menghisap rokok, matanya tajam memandang layar laptop. Senyumnya melebar, dingin. “Sepertinya Pak Rain memang tidak bisa disentuh oleh hukum. Dia orang yang punya kuasa. Dan Maya? Dia bahkan sudah kalah sebelum perang,” lanjutnya dengan nada getir, seperti meramal kehancuran yang pasti datang. Di kamar penuh aroma rokok dan parfum mahal, Maya berbaring letih, tubuhnya masih lengket oleh sisa gairah. Meski lelah, sorot matanya berkilat, seperti wanita yang hidup dari dendam dan nafsu. “Kamu mau ke mana pagi ini?” tanya suami sirinya dengan datar, sambil mengancingkan kemejanya. “Aku mau ketemu

  • PELAN PELAN SAYANG    102 - WANITA ITU BERNAMA MAYA

    “Tapi, aku takut Mama sama Papa kamu datang kayak waktu itu Mas...” ucap Gendis yang tampak sedikit ragu dan teringat sesuatu yang menyakiti hatinya. “Tenang aja, Sayang. Saya seharian ini temani kamu dan nggak ada yang berani menyakiti kamu lagi,” ucap Rain meyakinkan Gendis. “Oke! Aku mau, Mas! Sekalian belanja ya, Mas,” ucap Gendis dengan semangat. “Iya, Sayang. Apa aja yang mau kamu beli, kita beli,” ucap Rain sambil menatapnya penuh kasih. “Yes! Terima kasih, Sayang...” ucap Gendis sambil tersenyum lebar, lalu memeluk Rain dengan hangat. Pagi itu, Gendis merasa lebih bertenaga dan bahagia. Rain menemaninya menonton TV sambil menikmati camilan buah yang asam. “Ah... Sayang... ini terlalu...” ucap Rain yang tak bisa lagi menahan ekspresinya saat mencoba buah kering itu. “Mas, ini tuh enak banget. Nggak asem kok, malah manis,” ucap Gendis sambil mengunyah dengan santai. “Nggak bisa, saya nggak kuat, Sayang... Kamu aja, ya. Please. Saya nyerah kali ini,” ucap Rain s

  • PELAN PELAN SAYANG    101 - “Ah!” Rain mengerang, napasnya berat saat klimaks menyalip.

    “Ah... Mas... terus...” bisik Gendis parau, jemarinya mencengkeram sprei, tubuhnya bergetar tak terkendali saat Rain terus menjilati bagian paling sensitif miliknya. “Ah... ah... Mas...” desahnya pecah, tubuhnya menegang, lalu ia terhempas ke puncak. Cairan hangat mengalir deras, membuat Rain menelannya rakus seolah tak ingin menyisakan setetes pun. “Hmm...” Rain mendengus di sela hisapan terakhirnya. Ia bergerak naik, lalu menekan tubuhnya masuk dari sisi samping. Gerakannya penuh kendali, menjaga Gendis yang tengah hamil kecil tetap aman tapi tetap merasakan setiap sentuhan mendalam. “Sayang... sempit banget...” bisik Rain di telinganya, suaranya serak penuh gairah. Tubuh Gendis ikut terhentak, napasnya memburu. “Nikmati aku, Mas... aku cuma punya kamu... oh, Mas...” suaranya pecah di antara desah, pasrah pada ritme tubuh Rain yang terus menghujam pelan tapi dalam. ••• Di kamar kosan, suasana berbeda. Hanya cahaya layar laptop yang menyoroti wajah Angga. Ia menelusuri

  • PELAN PELAN SAYANG    100 - PELAN-PELAN, SAYANG. AKU LAGI HAMIL!

    Rain menggeleng pelan, lalu bersuara dengan nada dingin. “Pengecut adalah orang yang sudah tahu salah, sudah tahu kalah… tapi tetap berusaha mencari-cari kesalahan orang lain.” “Sekarang keluar dari perusahaan saya. Anda resmi, mulai detik ini juga, bukan bagian dari Brawijaya Construction Corporation,” ucap Rain dengan tenang. Ia lalu meninggalkan Ruang Cendrawasih dengan langkah tegap dan kuat, segera memasuki lift untuk turun ke lantai dasar. Raka merasa dipermalukan di depan semua orang. Amarahnya menyalakan bara di dadanya, membuatnya tak bisa tinggal diam. Ia segera meninggalkan ruangan itu dan mengejar Rain. Rain baru saja tiba di parkiran. Saat hendak masuk ke dalam mobil, suara lantang memanggilnya. “Rain!” teriak Raka. Rain menoleh. Ia tersenyum tipis, lalu menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Hampir semua staf berdesakan di balik kaca gedung tinggi, menyaksikan dengan jantung berdegup kencang. Sebagian yang lain bahkan berlarian ke lantai dasar agar bisa l

  • PELAN PELAN SAYANG    99 - RAKA MENUNJUK RAIN DAN MENYEBUTNYA SEBAGAI PEBINOR DIHADAPAN PARA STAF KANTOR!

    “Biarin dulu. Saya mau lihat sampai di mana wanita itu bertindak,” ucap Rain sambil tersenyum tipis. Ia melangkah ringan, seolah tidak ada beban, hingga tiba di klinik. Rain bergegas merapikan tas, lalu menghubungi Gendis. “Sayang...” suara Gendis terdengar lembut dari seberang telepon. “Sayang, saya sudah selesai di klinik. Sekarang mau ke kantor dulu, ya,” ucap Rain sambil tersenyum, melangkah mantap menuju parkiran mobil dengan tas ransel di punggungnya. “Oke deh... Tadi makan siang sudah? Habis nggak?” tanya Gendis, suaranya terdengar penuh perhatian. “Habis dong, Sayang. Kamu lagi ngapain?” tanya Rain. “Nonton drakor sambil makan keripik. Aku bingung mau ngapain lagi,” jawab Gendis dengan nada manja. “Nanti ya, kita jalan keluar rumah. Oh iya, Sayang... kalau ada apa-apa langsung telepon saya. Dan jangan asal buka pintu. Kamu cek dulu dari CCTV siapa yang datang, oke?” ucap Rain sambil duduk di mobil dan menyalakan mesin. “Iya, Sayang. Hati-hati di jalan, ya...” u

  • PELAN PELAN SAYANG    98 - RAIN BERKATA JUJUR PADA AYAH GENDIS, BAHWA DIA ADALAH...

    Saat itu juga, Rain segera menuju sebuah kafe yang tak jauh dari klinik. Ia berjalan kaki pagi itu, langkahnya tenang. Sesekali ia tersenyum kecil saat membaca ulang pesan-pesan dari Gendis di layar ponselnya. Setibanya di kafe, Rain memesan dua gelas kopi hangat. Ia memilih duduk di sudut ruangan, menunggu dengan sabar, pagi itu. Tak lama, ayah Gendis datang. “Rain?” ucapnya ramah sambil melambaikan tangan. “Pa,” sahut Rain, berdiri menyambut. “Sudah lama nunggu Papa?” tanya ayah Gendis sambil duduk. “Baru kok, Pa. Rain baru aja pesan kopi,” jawab Rain dengan senyum tipis. “Terima kasih ya. Oh iya... Gimana Gendis?” tanya ayah Gendis, wajahnya tampak sumringah. “Dia sehat, Pa. Masih sering mual, tapi sekarang sudah rajin bangun pagi,” ucap Rain sambil tertawa kecil. “Hahaha, syukurlah. Papa mau ketemu dia lagi, rencananya,” balas ayah Gendis, matanya berbinar. Pelayan datang membawa pesanan kopi. Aroma hangat memenuhi meja mereka. Ayah Gendis menatap Rain seje

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status