Share

MENEMUI ANAK-ANAK PAK AFRAN

Wajah mereka menatap nanar pada Aisyah, tiga anak berjajar di depan Aisyah dengan tatapan kebencian yang luar biasa. Mereka mungkin menganggap bahwa Aisyah adalah wanita penyebab ayahnya melupakan almarhumah umminya. Mereka mungkin menilai bahwa Aisyah adalah wanita yang akan menghabiskan harta orang tuanya. Dan siapa yang tidak kenal Aisyah dengan masa lalunya yang buruk. 

Aisyah hanya wanita biasa ketika ia bekerja di rumah megah nan mewah ini. Aisyah hanya seorang sekretaris biasa, Aisyah bekerja dan dibayar di rumah ini. Sedangkan Pak Afran dan keluarga memiliki trah dan jabatan terpandang di mata masyarakat. Aisyah bukan siapa-siapa. Itu sebabnya putri Pak Afran  marah besar saat tahu bahwa Aisyah adalah wanita yang saat ini diajukan oleh Sang Bapak untuk menjadi istri dan ibu baru mereka. Untuk menempati singgasana indah rumah mereka.

“Bapak mestinya sadar, siapa dia, Pak..” Pekik putri pertama Pak Afran. Meski lirih dan masih sopan namun jelas sekali amarah dan kecewa terpancar di wajahnya.

“Sabar, Bapak bisa menceritakan semuanya.”

“Apalagi yang mesti diceritakan, Pak ?”

“Bapak harus bicara siapa sebenarnya Aisyah yang ada di hadapan kalian. Aisyah yang ada sekarang berbeda dengan Aisyah yang dulu.”

“Aduh.. Pak, tidak usah dijelasan kami tidak setuju.” Begitu tandas putri ke dua beliau.

Aisyah menunduk, perasaannya teraduk-aduk, ia ingin bangkit lalu menjerit. Menumpas segala beda yang tadi dikisahkan. Luka hatinya menganga. Betapa nama baik, harkat, pangkat dan derajat demikian kuat bertahta di hatinya. Namun siapa yang dapat membaca tangisnya saat ini. Hanya Aisyah dengan Tuhan.

Pak Afran, Walikota yang baik dan teduh hati itu menghela nafas panjang. Aisyah benar, mestinya ia tidak perlu membawa Aisyah ke depan anak-anaknya. Namun ia demikian ingin menjadikan cerita antara dirinya dan Aisyah menjadi cerita yang utuh dan tidak terpisah. 

Niat yang baik memang tidak selalu berakhir baik, mungkin itu kalimat yang tepat dalam kisahnya kali ini.

Ada tangis, ada amarah, ada kalimat-kalimat bertebaran yang tidak mampu ia lawan.

Saat ucapan demi ucapan makin tak terkendalikan dan hampir tak ada jeda untuk sebuah penjelasan. Aisyah bangkit, ia berdiri kemudian memohon pamit.

“Saya mohon ijin pamit.” Hanya itu kalimat yang keluar dari tenggorokannya yang tersekat. Rasa peddih di kerongkongannya jauh ratusan kali lebih pedih dibandingkan dengan sariawan yang ia derita berbulan-bulan.

“Aisyah..” Panggil Pak Afran.

“Aisyah..” Pak Afran mencoba mengejar langkah Aisyah menuju mobilnya. Aisyah berhenti tanpa memandang.

“Hari ini untuk pertama kalinya, sepanjang pernikahan kita Aisyah tidak menuruti perkataan Bapak.”

Aisyah tak berpaling dari tatapannya, ia tetap menatap lurus mobil Avanza hitam 1321 miliknya. Sama sekali ia tidak memandang Pak Afran. Bukan karena ia membenci lelaki yang telah menikahinya enam bulan yang lalu dalam pernikahan diam-diamnya. Aisyah tidak membencinya ia justru mencintai lelaki tersebut. Sangat mencintainya. Itu sebabnya ia tidak ingin memandang wajah teduh itu. Cinta di hatinya terlampau besar bahkan saat bertahun-tahun yang silam.

Aisyah melangkah, membuka mobil yang ia beli dari uangnya sendiri bukan atas pemberian dari suaminya. Bukan mahar pernikahannya. Bukan seperti yang mereka bayangkan.

Aisyah duduk di bangku tengah, samping kaca mobilnya.

“Kita pulang, Mas.”  Perintahnya pada Pak Sopir. Sopirpun melaju mengikuti perintah Aisyah tanpa menanyakan satu hal pun.

Aisyah diam merenungi kisah cintanya. Ada cinta yang demikian besar namun ada juga luka yang tak kalah besar. Keinginannya untuk mengabdi kepada suaminya pun luar biasa besar.

Sesampainya di rumah, Aisyah menuju kamar mandi, membersihkan dirinya dan mengganti baju yang tadi ia kenakan dengan baju tidur. Ia rebah di ranjang empuk beralaskan kain berwarna merah yang jelas menampilkan eksotisme kulit putihnya. Aisyah kembali terisak.

Anak-anak itu sama sekali tidak bersalah, mereka memandang sesuatu dengan pandangan lahiriyahnya. Ya.. semua orang yang tahu masa lalu Raha pasti akan sepakat bahwa Aisyah hanya ingin numpang keren, numpang hidup enak dan numpang kenyamanan. Lain tidak. Tapi saat ini Aisyahpun telah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik, memiliki rumah, memiliki mobil, memiliki usaha sendiri lalu dimana letak kekerdilannya, dimana letak ketidakmampuan dirinya bila harkat dan derajat manusia dihitung dengan harta. Saat ini Aisyah telah memiliki itu. Namun bila masa lalu pun menjadi bagian dari sesuatu yang harus dinilai maka Aisyah kalah.

Mana ada orang yang percaya pada cinta dan ketulusan di jaman sekarang, kecuali orang-orang yang memilki iman yang kuat dan bertanggung jawab. Untuk sampai di titik itu memang butuh sebuah perjalanan panjang. Hingga akhirnya sampai pada proses sebuah pemahaman.

Memahami, bukan hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa bukan.

Aisyah menangis hingga terlelap.

“Karena anak-anak tidak bisa menerima kehadiranmu maka bapak bermaksud menceraikan kamu, Aisyha.” Aisyah terbelalak. Ia tidak percaya Pak Afran yang ia puja, Pak Afran yang selalu berhasil meluruskan pikiran bengkok banyak orang di luar sana, Pak Afran yang bijak dan selalu mampu meredam segala gejolak. Hari ini Pak Afran datang dengan sosok yang berbeda. 

“Bercerai” hanya karena anak-anak tidak berkenan pada hubungan yang telah disahkan Tuhan....

Aisyah meradang menunggu kalimat selanjutnya.

Tak bisakah Pak Afran bertahan menunggu sejenak sambil membiarkan semua berjalan dengan tenang. Bukankah selama ini beliau selalu bercerita tentang ketenangan dan kesabaran ?.

Hati Aisyah berdegup sangat kencang.

Tak bisakah Pak Afran bersabar sambil menunggu keadaan membaik dan menjelaskan pada anak-anak pelan-pelan. Mengapa lebih memilih mengakhiri hubungan dan mengajukan perceraian ? Semudah itukah ?

Aisyah memandang, menunggu atraksi kesekian, menunggu kalimat selanjutnya yang akan terucapkan.

"Aisyah... " panggil beliau lagi. 

Dan belum sempat kalimat talak itu Pak Afran ucapkan Aisyah segera berteriak. 

Betapa terkejutnya ternyata semua ini hanya mimpi. Sebuah mimpi buruk yang sangat menakutkan. 

Aisyah terlanjur mencinta lalu disaat cinta sedang besar-besarnya ia harus menerima kenyataan untuk dipisahkan. Menyedihkan. 

Aisyah menutup wajah dengan ke dua tangannya, ia tidak membayangkan bila suatu hari mimpinya jadi kenyataan. Bagaimana dengan perasaannya ?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status