Share

JUMPA TAK SENGAJA

Demi meredam gemuruh hatinya Aisyah pun memutuskan datang menuju rumah dinas Walikota dimana Pak Afran berada disana. Tanpa memberi kabar dan tanpa persetujuan seperti yang Aisyah lakukan biasanya. Ia melangkah saja.

Masih dengan avanza hitam ia melaju kencang. Ia harus menuntaskan semua tanya, selagi hari libur dan masih pagi. Pasti Pak Afran belum terlalu sibuk.

Sesampainya di rumah megah dengan beberapa penjaga Aisyah memarkir mobilnya lalu menyapa Herlambang seorang satuan polisi pamong praja yang telah lama ia kenal.

“Bapak ada ?” Tanya Aisyah dan tanpa curiga Herlambang pun mengatakan.

“Ada “

Aisyah hendak berlari kecil menuju rumah megah itu namun seorang petugas berkata.

“Bapak masih ada tamu mbak.”

Aisyah berhenti sejenak, pikirannya berkelebat tanya.

“Laki atau perempuan ?”

“Perempuan Mbak.”

“Oh… perempuan, ya ga pa pa lah, biar aku tunggu disana.” Aisyah melayangkan jari telunjuknya menuju suatu tempat hingga Herlambangpun mengijinkan Aisyah masuk secara otomatis teman yang lain juga mengijinkan karena dalam satuan tersebut Herlambang adalah pimpinannya.

Aisyah duduk, blazer pastel dalaman kaos ketat juga celana panjang pastel membuat Aisyah Nampak anggun belum lagi ditambah dengan jilbab kuning gading yang menggantung di atas kepala menutupi rambutnya.

Aisyah menutup wajahnya saat lamat-lamat ia mendengar Pak Afran dan tamunya berbicara.

“Bapak minta maaf belum bisa berlaku baik, ya.” Ucap Pak Afran lirih membuat Aisyah gusar.

“Tapi nanti saya mohon Bapak tetap menjaga saya, ya.” Makin lirih dan Aisyah makin tak kuasa menangkap kalimat yang ingin ia dengar.

Aisyah berdiri, rasa penasarannya sudah sampai diubun-ubun. Bila wanita itu memang Henny artinya ia harus sadar diri dan mundur.

Aisyah melangkah menuju pintu utama. Wajah Pak Afran merah padam melihat Aisyah muncul. Henny bingung karena ia merasa tidak mengenal siapa wanita yang datang.

Sejurus mereka bertiga pun terdiam.

“Assalamualaikum, Bapak. Maaf saya lancang tapi saya buru-buru hendak ke Kantor Catatan Sipil itu sebabnya saya memberanikan diri menghadap. “Dalam kegusarannya Aisyah masih sanggup berbohong demi menjaga nama baik Pak Afran.

“Ini Henny.” Pak Afran malah memperkenalkan wanita yang kini tepat berdiri di depan Aisyah. Mereka berjabat tangan. Sebenarnya tanpa dikenalkanpun Aisyah sangat hafal dengan wajah Henny dari foto-foto yang ia pernah lihat.dan bila Aisyah disuruh menggambar wajah wanita itu maka pasti Aisyah mampu melakukannya saking hafalnya.

“Bapak pasti sibuk, kalau begitu Aisyah pulang dulu saja.”

“Lho nggak pa pa Mbak, silahkan saja.” Wanita yang bernama Henny itupun bicara membuat muaknya berlipat ganda. Aisyah tidak menghiraukan kalimat Henny selanjutnya dan Aisyah pun memilih PERGI dari ruangan tersebut.

Menjengkelkan sekali kejadian hari ini, sangat menjengkelkan. Belum cukupkah pengertian-pengertian yang Aisyah bangun ?. Mungkin onlinenya Pak Afran tadi malam adalah online yang diciptakan untuk menunggu Henny dating hari ini.

Di dalam mobilnya Aisyah merenung, bila jalan ini demikian berat maka tekatnya untuk mundur sangat kuat. Ia merasa tidak bisa berkolaborasi dengan rasa yang ia miliki. 

“Pak Afran itu seorang Kepala Daerah, akan sangat banyak wanita yang mendekat pada beliau dengan motif yang berbeda dan aku hanya akan menjadi bagian dari kepedihan yang panjang. Aku tidak sanggup.” Ujar Aisyah pada lirih batinnya.

“Bukankah Pak Afran juga adalah perwujudan dari doa panjangmu ?” Tanya batinya. Tanya yang membuat Aisyah seketika diam.

“Mestinya kamu berjuang dong, mestinya kamu bangkit, kamu tidak boleh menyerah.” Bisik batinnya lagi.

Namun dalam kelemahannya Aisyah hanya mampu menggeleng.

Sesampainya di rumah, Aisyah mengambil air wudhu kemudian shalat, pikiran tidak tenang yang bertengger di kepalanya harus ia hilangkan. Namun kemantapan hatinya untuk meminta “cerai” dari Pak Afran tetap ia gaungkan.

“Assalamualaikum, Pak.”

“Waalaikumsalam……… sudah di rumah kan ?”

Begitulah Pak Afran, terkadang Aisyah bingung hati beliau terbuat dari apa ? Beliau bukan hanya mampu menunjukkan teori-teori kebaikan namun beliau juga mampu menunjukkan bahwa beliau berbuat baik. Hal itu hampir saja mewarnai lelaku Aisyah sebagai istri meski baru beberapa hari mereka menikah.

“Iya, sudah.”

“Alhamdulillah..”

“Pak, saya mau matur sesuatu.”

“Tentang apa ?”

“Begini, Pak… sepertinya Ais tidak sanggup meneruskan jalan ini. Ais tidak mampu bersaing dengan banyak orang di luar sana, Ais ndak bisa.” Tulis Aisyah seadanya.

“Hehehe..” Hanya itu kalimat yang muncul dari larik tulisan Pak Afran membalas kegundahan hatinya.

“Pak, Aisyah serius.”

“Iya, bapak juga serius.”

“Aisyah mohon ceraikan Aisyah, Pak.”

Lama tak ada jawaban, hanya nampak “mengetik”

“Aisyah, bila itu yang Aisyah inginkan, InsyaAllah bapak akan kabulkan tapi tidak sekarang ya.”

“Mohon ijin, kapan, Pak.”

“Tiga hari lagi kita ketemu.”

“Terimakasih.”

Kemudian merekapun berhenti berbincang.

Pertemuan Kesekian

Diantara sinar lampu yang temaram, wajah teduh itu memandang dengan perasaan gamang. Ada Aisyah yang tertunduk diam dan tepat dihadapannya Pak Afran.

“Aisyah, “ panggil Pak Afran lembut. 

“Iya…”

“Katanya mau berbincang ?”

Aisyah makin menunduk dalam. Biasanya sebuah permohonan cerai akan didahului dengan caci maki dan kalimat-kalimat buruk, tidak dengan situasi seperti ini.

“Apakah Aisyah serius ingin kita berpisah ?”

Aisyah makin menunduk, hingga lengan itu menyentuh kepalanya lalu membiarkan kepala ringkih Aisyah berada di pelukannya. Aisyah tenggelam dalam jelaga rasa. Terasa damai berada dalam pelukan Pak Afran suaminya. Pak Afran yang dulu selalu ia beri label ‘lelaki gunung es’ ternyata luar biasa romantis memperlakukan istrinya. Sampai disini Aisyah merasa terharu dan makin cinta.

“Bapak sudah tidak ingin berhubungan dengan wanita manapun, semua sudah selesai. Aisyah boleh percaya boleh juga tidak.”

“Aisyah percaya, Aisyah ingin percaya, tapi ketakutan-ketakutan Aisyah membuat Aisyah tidak bisa bersikap.”

“Ya, harus dihilangkan dong.”

“Caranya bagaimana ?”

“Jangan berprasangka buruk.” Usai mendengar kalimat yang terakhir itu Aisyahpun duduk di pangkuan Pak Afran, lengannya menggelayut manja di lehernya.

“Pak…ini hati bukan warung kopi yang bisa bapak datangi kapanpun.” Suara Aisyah manja. Pak Afran tersenyum, ada tanda merah di pipinya. Tanda merah yang berarti ia malu namun bahagia.

Pak afran adalah lukisan di hati Aisyah, lukisan yang mungkin tidak akan pernah hilang selamanya.

“Aisyah…” Panggil Pak Afran akhirnya.

“Iya, Pak.”

“Aisyah siap bertemu anak-anak ?”

“Maksudnya ?”

“Kita jumpai anak-anak kita minta restu mereka.”

“Aisyah belum siap, Pak.” Jawab Aisyah tegas.

“Kenapa ?”

“Aisyah belum jadi siapa-siapa. Aisyah mohon..”

“Sudahlah, kita coba bicara baik-baik dengan mereka.”

Aisyahpun terdiam, bila sudah begini maka taka da gunanya lagi melawan karena putusannya akan tetap sama.

Hanya tinggal Aisyah memberanikan diri menuju saat itu tiba.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status