Share

JATUH CINTA

Usai hari itu, Aisyah dan Pak Afran semakin sering berbicara melalui whatsapp maupun telephon. Mereka makin intens dan terasa makin dekat. Setiap saat perbincangan mengalir. 

Pak Afran yang kemarin sering sekali menceritakan tentang wanita lain kini sama sekali tidak hingga Aisyah berfikir bahwa Pak Afran memang lelaki yang baik. Andai pernah ada luka dalam lipatan hari-harinya maka itu adalah bagian dari kemanusiaannya. Ia sama sekali tidak bersalah atas itu.

Bila Allah saja demikian pemaaf maka mengapa Aisyah sebagai seorang hamba tak mampu berbuat hal yang sama ?

Di suatu pekan yang dingin, di dalam kamarnya yang sepi Aisyah menulis pesan untuk suaminya.

“Pak…” tulis Aisyah menyapa.

“Nggih..”

“Sedang apa ?”

“Sedang menulis pesan untuk istri bapak.” 

Duar !!so sweet, ribuan purnama berlalu dan ini adalah kalimat pertama terindah yang ditulis oleh Pak Afran untuk Aisyah.

Mata Aisyah berpendar-pendar, hatinya berbunga-bunga. Jelaslah, wanita mana yang tidak bahagia dipanggil istri oleh sang suami. Itu hanya kata namun itu adalah refleksi cinta, sebuah pengakuan luar biasa yang terucap demikian indah. Andai semua lelaki mampu melakukannya pasti deretan bangku di ruang pengadilan agama tidak akan penuh terisi orang-orang yang ingin bercerai. 

“Bapak…”

“Kenapa, Ais ?” tulis beliau lagi.

“Kenapa Bapak begitu baik ?”

Diam..lama tak ada jawaban sedangkan jelas tertulis beliau sedang online, saat seperti itu Aisyah resah. Ia selalu memposisikan dirinya sedang berhadapan dengan para lelaki yang pernah mendekatinya dulu. Kemudian otak tengah wanita yang tebal itupun memancarkan sinyal berupa pendar-pendar kekhawatiran yang diciptakan oleh persepsinya sendiri. Bila sudah begini sedikit salah bicara akan berdampak buruk pada sebuah hubungan.

“Karena kamu istri bapak.” 

Huft, beruntung kalimat itu yang ditulis oleh Pak Afran, kalimatnya tidak salah, kalimatnya langsung ke jiwa.

Kalimat yang ditulis oleh Pak Afran sejenak bisa menenangkan.

“Ais tidur dulu ya, Pak ..” Tulis Aisyah.

“Silahkan..” Santun sekali perbincangan hari ini. Dua orang yang terpaut jauh dalam usia namun saling menjaga rasa dalam bicara dengan cinta sebagai landasannya.

Berbagai perkataan yang berpendar itupun sirna seketika. Menorehkan cinta yang luar biasa.

Subuh tiba, sebelum beranjak dari tempat tidur Aisyah menghubungi Pak Afran. Ia tahu saat ini Pak Afran pasti sudah duduk di atas sajadah menunggu waktunya melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid depan rumahnya.

“Assalamualaikum cinta..” Tulis Aisyah mesra.

“Waalaikum salam ,”

“Hari ini Bapak akan kemana ?” Tanya Aisyah. Kalimat dengan kata yang sama sering terucap hanya karena Aisyah ingin tahu kemana aktivitas suaminya, bukan untuk mengekang tapi semata karena ia tidak ingin saat tiba-tiba ia mengirimkan sebuah pesan singkat ternyata Pak Afran sedang sibuk bersama dengan yang lain. 

Tugas seorang Walikota sangatlah berat, jadual yang teratur dan memang sudah tertata bahkan di hari sebelumnya. Itulah mengapa Aisyah bertanya karena ia takut salah dalam bertingkah.

“Pak..” Panggil Aisyah melalui percakapan singkatnya lagi.

“Iya..”

“Bapak kemana ?”

“Tidak kemana-mana, Ais. Masih tetap di hatimu.” Gubrak. Wanita berusia tiga puluh tujuh tahun itu sontak tersenyum dari tempatnya. Mengirimkan emoticon senyum sembari melempar selimutnya dan bergegas menuju kamar mandi, berwudhu kemudian sholat.

Percintaannya kali ini demikian berbeda, ia benar-benar menemukan muara dari semua resahnya.

Aisyah, wanita tiga puluh tujuh tahun dengan empat anak yang semakin hari makin dewasa, pernah menikah tiga kali dan gagal tiga kali. Kepercayaannya yang mulai hilang pada sebuah lembaga yang bernama perkawinan membuat ia memutuskan untuk sendiri selama bertahun-tahun. Melalui pahit getir kehidupannya sendiri. Wanita cantik, langsing, bermata bening dengan pendidikan akhir seorang magister pendidikan itu memutuskan untuk bekerja seadanya demi mendapatkan nafkah untuk buah hatinya. Berbagai pekerjaan telah ia geluti, bahkan ia rela menjadi pedagang sayur keliling yang bangun dini hari demi mendapatkan nafkah halal.

Atas karunia Allah ia akhirnya bertemu kembali dengan Pak Afran, cintanya yang ia tanggalkan sepuluh tahun yang lalu. Bersama Pak Afran ia menjadi semakin baik. Keinginannya untuk menata hidupnya usai permasalahan hidup yang banyak itu justru mendapatkan hadiah sebuah pernikahan dengan lelaki sebaik Pak Afran. Disinilah Aisyah demikian mensyukuri kebaikan Allah padanya.

Di atas sajadah panjang itu ia terisak, ia meraba palung hatinya yang dalam. Ia merasa tidak percaya, setelah semua dosanya, setelah semua amarahnya pada Allah, dalam pertaubatannya yang belum usai ia justru dipertemukan dengan Pak Afran. 

Sebagai seorang Walikota dengan segudang agenda pasti mempunyai kesibukan yang luar biasa dan saat Aisyah berkisah maka pasti Pak Afran menjawab meski hanya melalui selarik kalimat. Mestinya Aisyah sadar bahwa dirinya istimewa bagi Pak Afran namun gejolak kewanitaannya membuat ia sering merasa patah. Bagaimana tidak, kadang Aisyah menjelaskan panjang lebar sampai berlarik-larik mengharap sebuah persetujuan namun Pak Afran hanya membalas dengan jawaban jempol belaka. Sungguh menjengkelkan, setidaknya begitu suara hati Aisyah.

Hal tersebut berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Pak Afran, banyak sekali wanita yang hadir saat ini namun tidak semua mendapat jawaban dari whatsappnya, ia menjawab Aisyah karena ia mencintai Aisyah bukan sekedar karena Aisyah istrinya belaka. Namun sungguh apa yang terjadi seharian ini telah membuat Aisyah jatuh cinta pada Pak Afran serta menyesali semua prasangkanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status