77Aku hampir saja bangun kesiangan pagi ini, kalau saja Fera tidak menggedor pintu berulang kali. Kebetulan dia tidak menginap tadi malam. Gara-garanya aku tidak bisa tidur tadi malam. Ucapan Pak Alvin terus saja terngiang dan mengganggu. Dia menyuruhku menjadi sekretarisnya mulai hari ini tanpa tes sama sekali. Sementara dia masih punya Sesil sebagai sekretarisnya yang resmi. Aku tidak bisa mengambil begitu saja posisi orang lain tanpa bukti aku bisa bekerja. Semalaman berpikir apa aku tidak usah datang saja hari ini ke kantornya untuk menghindari masalah. Ya, masalah. Aku yakin ini awal dari masalah baru yang datang menerpa. Aku mengacak rambut sesaat setelah keluar dari kamar mandi. Aku pikir di tempat baru, semua akan berjalan lancar dan baik-baik saja. Menjalani pekerjaan sebagai OG dengan menyenangkan walaupun memiliki leader aneh dan gaji yang pas-pasan. Nyatanya, di mana pun, tetap saja masalah menerpaku tiada henti. Semua karena kelancangan diri ini yang mengerjakan p
78Aku gegas berdiri lagi, kemudian mengangguk hormat ke arah wanita paruh baya yang menatap penuh selidik. “Ini Tante! Dia yang merebut posisiku. Padahal dia hanya OG! Masih baru pula. Tapi bisa-bisanya Pak Alvin menggantikanku dengan seorang office girl!” Sesil mengadu penuh emosi. Telunjuknya menunjuk tepat di wajahku. Lagi, wanita yang sudah terlihat kerutan di wajahnya itu memindai diri ini dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuatku salah tingkah. “Siapa namamu?” Wanita itu bertanya setelah puas memindai diri ini. Aku melirik sekilas sebelum menjawab. “Viola, Bu,” jawabku sopan seraya kembali menunduk. “Bagaimana Tante? Menyedihkan bukan nasibku harus digantikan seorang OG? Entah apa yang dipikirkan Pak Alvin, hingga mengangkat seorang tukang bersih-bersih menjadi sekretaris. Coba Tante bayangkan, bagaimana jika Tante berada di posisiku?” Sesil terus mengoceh mempengaruhi wanita yang aku yakin ibunya Pak Alvin ini. Aku semakin menunduk. Tidak tahu harus melakukan apa. T
79Aku mengembus napas panjang setelah semua yang terjadi. Lega? Tentu belum. Hanya untuk saat ini bisa bernapas sedikit lega. Sesil sudah pergi dengan segala dramanya, dan Pak Alvin pamit mengantar ibunya pulang. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, ibunya Pak Alvin bukan wanita tua dan kolot yang menelan bulat-bulat pengaduan yang masuk. Beliau bahkan terkesan netral dan bijak. Pak Alvin juga sangat menghormati ibunya. Ia bahkan melibatkan sang ibu untuk menilai kami tadi. Sayangnya, Sesil malah kabur sebelum perang dimulai. Mungkin ia sudah tidak percaya diri. Padahal aku sudah sangat bersemangat. Sejak awal memang ingin mendapatkan pekerjaan dengan tes yang memadai, agar mereka dapat menilai kinerjaku. Jadi, seandainya kinerjaku buruk, mereka tidak merasa dirugikan. Aku mulai mengerjakan pekerjaan yang Pak Alvin berikan walaupun orangnya tidak berada di tempat. Tidak ada kendala berarti karena aku sudah terbiasa. Semua berjalan lancar. Bahkan saat seseorang mengantar p
80Aku baru akan mengetik lagi balasan untuk Fera, saat suara Pak Alvin terdengar kemudian. “Sebutkan nama perusahaan atau nama pemiliknya! Mungkin aku mengenalnya!”Serta merta aku menoleh ke samping, di mana Pak Alvin duduk mengemudikan mobil. Ya, aku duduk di depan, di sampingnya. Padahal aku sudah ingin duduk di belakang, tetapi dia marah dengan mengatakan jika dirinya bukan sopir. “Maksud Bapak?” Aku bertanya heran. Sungguh tak mengerti maksud perkataannya. Dia mengamati benda pintar yang kugenggam, sebelum berkata lagi. “Hanya sekretaris perusahaan besar yang menggunakan ponsel seperti itu!”Mataku melebar seketika. Tangan ini refleks bergerak ke belakang. Menyembunyikan benda yang sejak tadi kugenggam. Aku lupa memakai benda ini di depannya. Tentu ia bisa dengan mudah mengetahui berapa harga benda ini. Benda yang kupakai saat bekerja dengan Tuan Sultan untuk mencatat hal-hal penting, mengatur jadwal atau apa pun yang berhubungan dengan pekerjaan. Aku membuang pandangan. M
81Bukannya bergerak mendekat seperti ajakan wanita paruh baya itu, aku malah mematung di tempat dengan kaki yang terasa kaku. Kalimat yang keluar dari mulut wanita itu bagai petir yang menyambar. Bagaimana bisa seseorang yang tidak kukenal tiba-tiba mengatakan jika aku ini calon menantunya? Apa aku sedang bermimpi? Atau pendengaranku yang terganggu? Aku ingin menampar diri sendiri untuk memastikan jika ini bukan mimpi, saat kembali terdengar suara wanita itu. “Kemarilah, Nak. Ayo, peluk Bunda! Sudah lama sekali Bunda menantikan momen ini. Bunda bahkan sudah khawatir, takut Alvin tidak menyukai wanita.”Apa? Mataku memicing, dahi berkerut. Aku melirik lelaki yang memerah wajahnya. Mungkin ia malu dikatakan begitu. Aku masih mematung bingung. Ingin kukatakan jika aku bukan calon menantu wanita itu. Kami hanya atasan dan bawahan. Kami bahkan baru bertemu beberapa kali. Namun, saat mengingat pesan Pak Alvin tadi yang mengatakan jika aku jangan membantah apa pun, akhirnya aku mengu
82“Apa yang harus kujelaskan? Aku sama sepertimu tidak tahu apa-apa, Viona!”“Viona lagi? Sudah berapa kali kukatakan jika namaku Viola, Pak. Vi-o-la! Huruf L bukan N!” Aku semakin berang. Sudah kesal karena difitnah keji, dia masih saja salah menyebut namaku. Aku bahkan mengeja dengan keras. Aarghhh! Ingin rasanya kucakar wajahnya yang tetap santai itu sampai berdarah-darah. Aku benar-benar kesal pada laki-laki ini. “Iya, maaf! Aku tidak akan mengulang lagi! Jika aku salah menyebut namamu lagi, akan kubayar gajimu dobel di hari itu!”“Tidak perlu! Aku tidak butuh gaji dobel! Aku hanya butuh penjelasan!” ujarku marah. Entah untuk ke berapa kali dia menarik napas panjang. Yang aku salut darinya, ia tak meladeni kekesalanku. Ia tetap saja bersikap santai seolah aku tidak sedang marah-marah. “Sudah sampai, kita makan dulu, ya! Aku lapar.”Ya Allah ya tuhanku....Aku menyurukkan wajah di atas dasbor mobil, saat menyadari kami sudah berada di depan sebuah restoran. Setelah semua kek
83Meskipun dengan raut wajah heran, akhirnya Pak Alvin melajukan mobilnya meninggalkan pelataran parkir. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Feli–saudara tiriku—karena terus merunduk di dasbor mobil. Padahal, sebenarnya Pak Alvin juga menutup kaca mobilnya. Entahlah, tetap saja aku merunduk. Aku baru mengangkat kepala setelah mobil cukup jauh meninggalkan tempat itu. Kutiupkan napas untuk membuang sesak yang barusan meraja, karena sekian lama menahan napas. “Ada apa?” tanya Pak Alvin setelah melihatku agak tenang. Aku menoleh sekilas, sebelum kembali membuang muka. Sungguh, aku masih kesal dengan orang ini karena ide konyolnya. Namun, aku berterima kasih karena dirinya aku bisa lolos dari saudara tiriku. Setidaknya untuk sekarang ini. Entah bagaimana untuk ke depannya, yang pasti Yuni akan terus memburuku. Terlebih sekarang Feli sudah melihat wujud baruku. Selama ini mungkin aku merasa aman, karena pasti Yuni mengira aku masih gendut. Dia akan fokus mencari perempuan gendut.
84Aku mencoba menelan omelet mie yang sebelumnya sudah dikunyah lama. Bahkan, meski sudah kukunyah sangat lembut, makanan itu sangat sulit untuk masuk kerongkongan. Padahal aku sengaja memesan makanan itu agar kenyang. Tetap tidak mau rugi, dong. Dia mengajakku keluar untuk menghadiri sebuah pertemuan katanya. Nyatanya malah ke klinik. Namun kini, bahkan selera makan entah terbang ke mana. Aku mendadak kenyang karena tawaran konyol Pak Alvin. Aku tidak ingin menjawab tawaran itu. Karenanya aku tak bicara sepatah kata pun setelah itu. Bahkan hingga menghabiskan sisa hari ini. Di kantor juga bicara seperlunya. Hanya urusan pekerjaan. Aku bahkan sebisa mungkin menghindari bertemu dengannya. Setelah jam kerja berakhir, aku pergi ke toilet. Mengganti baju dengan seragam OG lagi. Kemudian dilapis dengan hoodie. Masker tidak lupa kupakai lagi. Ada yang kurang, mulai besok aku akan memakai topi setiap berangkat dan pulang bekerja. Ingat Viola, Yuni pasti memburumu lagi! Geramku dalam h