Xabier berdiri menghadap ke jendela, sementara Batari dan Xinda duduk di sofa, mereka berada dalam ruang keluarga. Tatapan panjang Xabier menyiratkan marah tertahan, ia berusaha keras mengendalikan diri."Apapun alasannya, tidak punya niat buruk sekalipun, kamu harus tahu kalau laki-laki itu sudah dihapus dari hidup kita."Ada getar setiap kali Xabier menarik nafas. Saat itu pertengkaran orang tua bersamaan hubungannya memburuk dengan Serafina menyulut kebencian Xabier pada Groban."Kalau mama dan papa bertengkar terus, lebih baik berpisah saja," ucap Xabier kala itu."Tidak, Xabi. Mama sangat mencintai papa kamu."Hingga satu waktu, Xabier mendapat berita perceraian kedua orang tuanya dari sosial media. Xabier terpukul sebab ada orang ketiga di balik kehancuran rumah tangga orang tuanya."Dia yang meninggalkan kita Xinda, dia yang melangkah pergi dari rumah." Tangan Xabier mengepal erat disertai rahang mengetat.Pandangan Batari bergantian melihat kakak beradik yang tengah diguncang
Andalaska sebenarnya enggan masuk ke rumah Xabier. Ia pernah mengatakan kalau tidak lagi menginjak rumah Xabier selama Batari masih menjadi istrinya.Namun, rayuan Xabier tak mampu ditolak oleh Andalaska, ada sedikit keterpaksaan. Mau bagaimana lagi, Andalaska membutuhkan sokongan psikologis untuk melewati trauma.Andalaska masih diselimuti ketakutan sekaligus kebencian saat bertemu mantan suaminya. Ditambah lagi, kecemasan Andalaska bila Groban akan mencarinya bila ia berada sendiri di rumah.Pertemuan mereka yang lalu pasti bukan kali pertama dan terakhir, Andalaska mengenal karakter mantan suaminya yang gigih bila sedang mengejar sesuatu. Entah apapun motivasi Groban menemui Andalaska, dirinya tetap tidak bersedia berkomunikasi kembali dengan pria itu.Rumah Xabier terlihat sepi, Andalaska menyapukan pandangan ke penjuru rumah. Di mana perempuan itu?Sesaat kemudian, Andalaska menegur diri sendiri yang refleks mencari Batari, padahal ia tidak menyukai istri anaknya itu."Ayo, Ma, a
"Loh, Bu Uni ke mana?" tanya Xabier melihat Batari menggendong Xaba sekalian mengurus pakaiannya untuk kerja di pagi ini."Semalam sudah pamit, pagi-pagi tadi pergi. Bu Uni dapat kabar kalau anaknya kecelakaan di kampung," jelas Batari sembari melakukan pekerjaannya."Baru juga beberapa hari kerja, sudah izin."Batari tersenyum menanggapi gurauan suaminya. "Namanya musibah siapa yang tahu, Pak.""Berapa lama izinnya?" Xabier mengambil alih Xaba ke pelukannya."Tidak bisa dipastikan, katanya agak parah. Semoga saja baik-baik, kasihan Bu Uni."Xabier mengangguk menyetujui ucapan Batari."Pak, ajak Nyonya Andalaska sarapan pagi, ya. Saya mau mandikan Xaba sebentar.""Kamu tidak sarapan bersama memangnya?"Batari bingung menjawab, ia hanya ingin menjaga suasana hati Andalaska. Lebih baik mereka tidak sering bertemu agar kondisi mental Andalaska segera pulih."Tidak apa-apa, nanti saja sarapan bersama Xaba," sahutnya. Batari pergi meninggalkan Xabier untuk melanjutkan tugasnya.Di meja mak
Rasa kesal Andalaska mengalir hingga tangannya mengepal. "Jadi kamu memilih dia dibanding mama?"Xabier menyentuh kening lalu memijit perlahan."Sebaiknya mama tidak usah berada di sini," lanjut Andalaska menahan amarah."Ma... mama baru saja keluar dari rumah sakit, dokter bilang kendalikan emosi dan pikiran mama supaya mama tidak dilanda rasa cemas dan takut terus-menerus.""Tidak usah mengajari mama, Xabi. Mama sudah biasa mengatasi diri mama sendiri. Kita sedang membahas tentang perempuan desa itu," tunjuknya ke sembarang arah.Xabier meremas rambut belakangnya, menggaruk pipinya, ia merasa kesulitan berbincang baik-baik dengan Andalaska.Membiarkan Andalaska tinggal bersama Xinda juga bukanlah jalan yang tepat, relasi mereka kurang baik semenjak Andalaska tahu Xinda berperan dalam pertemuannya dengan Groban.Apalagi melepaskan Andalaska tinggal sendiri di suatu tempat dengan kondisi emosi yang kurang stabil, tidaklah aman."Mama, nanti selesai aku kerja, kita bicarakan kembali, y
Bantingan pintu mobil menandakan kekesalan mendalam pemilik mobil. Serafina menggenggam erat kemudi dengan pandangan tajam ke arah depan.Bunyi ponsel membuyarkan kebekuan hatinya. Nama pemanggil yang tertera di ponselnya semakin membuat hati Serafina dirundung rasa jengkel."Mau apa? Sudah aku bilang, jangan pernah hubungi aku lagi!" pekik Serafina melampiaskan rasa kesal tertahan di restoran milik Xabier tadi. Nafasnya tersengal akibat kuat suara yang dikeluarkan."Hei, slow sayang. Kamu menyalurkan kemarahan karena gagal mendapatkan keinginan kamu usai menemui Xabier. Aku selalu kamu jadikan tempat sampah emosimu," cibiran itu terdengar memuakkan di pendengaran Serafina.Perempuan itu melihat ke kiri dan ke kanan memastikan si penelepon ada di dekatnya."Jangan macam-macam, kamu menguntit?"Tawa sumbang terdengar dari seberang."Kamu terlalu obsesi dengan pria yang sudah jelas jadi suami orang. Aku datang menawarkan cinta, malah kamu abaikan. Memang benar, kaya, cantik, dan pintar,
Ponsel Andalaska berbunyi nyaring di atas meja rias membuyarkan keresahannya mengenai Batari. Ia sampai lupa dengan masalah sendiri yang terjadi beberapa hari lalu."Halo Jeng Yessi, lama kita tidak berbincang," sapa Andalaska ramah pada teman baiknya, ibu kandung Serafina. "Jeng... maaf, saya tidak bisa lama-lama, ingin mengabarkan kalau Serafina sekarang ada di rumah sakit, kritis." Terdengar suara tangis Yessi yang memilukan."Kenapa? Ada apa, Jeng?" Andalaska turut cemas mendengarnya."Kecelakaan tunggal." Yessi menyebut nama sebuah rumah sakit. Andalaska ikut panik dan mengatakan akan datang ke rumah sakit.Tanpa berpamitan, Andalaska menggunakan mobil dan meminta pada supir Batari mengantarkan ke rumah sakit yang dituju.Secara bersamaan, Batari keluar dari kamarnya untuk mengambil minum dan makanan kecil. Ia gegas keluar lalu menghampiri Jaka."Pak Jaka, Nyonya Andalaska pergi ke mana?""Oh, tadi kalau saya tidak salah dengar ke rumah sakit, Bu Tari. Tapi untuk apa tidak jelas
"Kak Tari, apakah kak Xabier ada rencana mempertemukan aku dan mama dalam waktu dekat?" Xinda menghubungi Batari melalui telepon usai jam makan malam.Batari berpikir sejenak sebelum mengatakan sesuatu."Halo, Kak Tari.""Ah, ya mbak Xinda.""Soalnya beberapa hari lagi aku akan ke Jakarta. Apakah pulang dari Jakarta saja, ya?""Berapa lama penelitian di sana, Mbak?""Paling cepat dua minggu, Kak."Batari ragu mengusulkan idenya, akhirnya ia berkata, "Sebaiknya mbak Xinda saja yang langsung menanyakan pada Pak Xabier.""Kenapa?""Beberapa hari ini Pak Xabier pulang selalu malam dan pergi pagi-pagi. Selain soal restoran, Pak Xabier ke rumah sakit membesuk Serafina," ungkap Batari agak sulit berkata-kata. "Ada apa dengan Serafina?"Batari menceritakan apa yang diketahuinya tentang keadaan kesehatan Serafina dengan rasa gundah yang menyelimuti hatinya."Oke, kak Tari. Nanti aku akan menghubungi kak Xabier."Panggilan dari Xinda terputus. Seminggu belakangan, sejak Serafina mengalami kece
"Mengapa mendadak, Bu?""Tidak mendadak," jawab Batari singkat membela keinginanya."Bisa kita bicarakan nanti sore, setelah aku pulang?" pinta Xabier, ia masih ragu untuk memberi izin pada istrinya."Tidak bisa, Pak. Belum tentu sore Bapak pulang, seperti seminggu ini selalu larut." Kalimat yang terlontar malah membuat Batari bertambah sedih.Xabier menggaruk-garuk kepalanya sambil mendesis, tentu saja ia tidak ingin jauh dari istri dan anaknya."Mau berapa hari di sana?""Bisa dua atau tiga hari.""Tidak bisakah lebih cepat supaya aku bisa temani ke sana?"Sejenak Batari merasa senang, Xabier tidak ingin jauh darinya. Saat akan merespon, Xabier lebih dulu melanjutkan kalimatnya."Ibu tahu 'kan di sini masih ada yang harus aku urus, mama, Serafina, Xinda, dan restoran," jelas Xabier dengan nada memohon.Batari terhenyak, ia mempertanyakan apakah egois meninggalkan suami yang sedang dalam rentetan masalah. Namun, ia pun harus memikirkan kesehatan jiwa dan mentalnya sendiri.Kecemburua