Lalu Dinda lahir.
Anak kecil itu membawa cahaya baru yang membuat hidup kami terasa lebih lengkap. Setiap tangisan pertamanya, setiap senyum mungil, membuat semua rasa lelah terbayar. Aku memutuskan berhenti bekerja saat dia berusia lima bulan. Aku ingin menjadi ibu yang hadir, bukan sekadar pemberi uang. Aku ingin melihat setiap tawa pertamanya, setiap langkahnya yang masih goyah. “Lihat deh, yon, Dinda udah bisa miring!” seruku dengan mata berbinar. Dion menghampiri, wajahnya dipenuhi tawa. “Anak kita cepat banget tumbuh ya… kayaknya baru kemarin kamu ngeluh pegal hamil besar.” Aku tersenyum, menyentuh tangan kecil Dinda. “Aku capek sih, tapi semua ini… rasanya worth it.” Dion mengangguk pelan. “Kamu ibu yang hebat, Din.” Dion selalu menemaniku di rumah. Dia kadang humoris, kadang keras kepala, tapi ada saat-saat ketika egonya meleleh hanya untuk melihat Dinda tersenyum. Aku merasa aman, merasa hidup kami cukup indah, meski sederhana. Namun, aku tidak bisa menipu diri sendiri. Aku tahu kehidupan tidak selalu manis. Kadang aku melihat Dion lelah, kadang terlihat murung, tapi aku menahan diri untuk tidak bertanya terlalu banyak. Aku ingin menikmati masa bahagia ini, sebelum semuanya berubah. Aku menatap Dion yang duduk di ruang tamu, sesekali tersenyum kecil pada Dinda. Aku tahu, di balik senyum itu, ada tanggung jawab yang dia pikul. Dia anak pertama, tulang punggung keluarga. Aku tahu dia ingin membantu adik-adiknya, tapi juga ingin memastikan aku dan Dinda cukup. “Yon, kamu nggak apa-apa?” tanyaku suatu malam. Dia tersenyum samar. “Nggak apa-apa, cuma mikirin kerjaan dikit.” Aku mengangguk pelan. “Kalau capek, istirahat. Aku nggak mau kamu tumbang.” Dia menatapku sejenak lalu berkata lirih, “Kamu juga, Din. Jangan kuat sendirian terus.” Hari-hari awal pernikahan kami adalah campuran kebahagiaan, lelah, dan cinta sederhana yang nyata. Aku merasa kuat, karena aku memiliki Dion, memiliki Dinda, dan memiliki keluarga yang mendukung. Malam itu, saat Dinda tidur di sebelahku, aku menulis di buku harian lamaku: "Aku bahagia. Aku memiliki keluarga kecil yang hangat, cinta yang tulus, dan mimpi yang sederhana. Aku tahu akan ada hari-hari sulit nanti, tapi aku percaya kita bisa melewati semuanya bersama." Dan aku menutup buku itu, menatap Dion dan Dinda, tersenyum dalam hati. “Terima kasih, Tuhan,” bisikku pelan. “Kalau nanti badai datang, semoga aku masih bisa mengingat rasa ini.” Awal yang manis memang begitu singkat. Tapi momen itu cukup untuk memberiku kekuatan, meski nanti hidup membawa badai yang tak pernah ku duga. Aku masih ingat hari itu, ketika sakit Dion mulai menunjukkan dirinya dengan cara yang paling brutal. Usus buntunya bukan sekadar rasa nyeri biasa itu rasa sakit yang meremukkan tubuh dan pikiran. Malam-malam panjang kami habiskan di rumah sakit, menunggu operasi, menunggu kabar, menunggu harapan yang kian tipis. Aku menggenggam tangannya erat. “Semua akan baik-baik saja,” kataku, meski hatiku bergetar hebat. Dion menatapku, matanya penuh rasa sakit dan lelah. “Aku tahu kamu kuat, Din. Jangan khawatirkan aku terlalu banyak.” Aku menelan air mata. “Aku nggak bisa nggak khawatir. Kamu suami, bukan objek yang bisa aku biarkan menderita sendirian.” “Kalau aku sembuh nanti,” Dion berbisik pelan, “aku janji bakal kerja lebih keras. Aku nggak mau kamu capek sendirian.” Aku menggeleng pelan, menatapnya dengan mata basah. “Aku nggak butuh kamu sempurna, Yon. Aku cuma mau kamu sehat.” Operasinya berjalan lancar, tapi waktu pemulihannya panjang. Tiga bulan yang terasa seperti selamanya. Dion tidak bisa bekerja, hanya terbaring, kadang humoris, kadang keras kepala. Dan setelah tiga bulan itu, perusahaan tempatnya bekerja memberhentikannya. Aku tak bisa menggambarkan rasa hampa yang kurasakan. Semua tabungan kami habis, emas yang kubawa turun ke toko emas, satu persatu terjual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kadang aku merasa dunia ini begitu kejam, mempermainkan mereka yang bekerja keras dan jujur.Hari pertama Dion bekerja di kantor barunya terasa panjang. Aku menyiapkan sarapan lebih awal, walau mata masih berat karena semalam hampir tak bisa tidur. Ada rasa aneh sejak telepon semalam perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti firasat kecil yang berbisik bahwa sesuatu akan berubah.Dion tampak rapi dengan kemeja biru muda dan sepatu hitam mengilap. Dinda menatapnya sambil mengunyah roti.“Ayah kerja di mana sekarang?” tanyanya polos.“Di kantor besar, Sayang. Nanti kalau kamu rajin belajar, bisa main ke sana.”Aku tersenyum. “Jangan terlalu lama kerja ya, Yon. Badan kamu belum terbiasa.”Dion menatapku, sedikit menunduk. “Iya, Din. Aku janji nggak akan lupa pulang.”Hari itu aku sibuk berjualan. Pelanggan mulai datang satu per satu, kebanyakan tetangga sekitar yang penasaran dengan gorengan buatan “pendatang baru”. Aku mengiyakan, berusaha ramah, tersenyum meski pikiran melayang ke Dion.Kadang aku membayangkan bagaimana suasana kantornya apakah ia diterima dengan baik, atau just
Udara pagi di Bukittinggi terasa sejuk, lembut menyentuh kulit. Kabut tipis masih menari di antara pepohonan ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di depan rumah kontrakan kecil berwarna krem pucat. Rumah itu sederhana, tapi bagi kami, ini awal dari babak baru. Aku menggenggam tangan Dinda yang duduk di pangkuanku, sementara Dion sibuk menurunkan beberapa kardus berisi barang dari bagasi.“Din, kita mulai lagi dari sini, ya,” katanya sambil tersenyum, meski peluh sudah membasahi keningnya.Aku tersenyum, menatap matanya yang lelah tapi penuh semangat. “Iya, Yon. Yang penting kita bareng, itu sudah cukup.”Dinda berlari kecil ke halaman, tertawa melihat kupu-kupu kecil yang hinggap di bunga liar. Suara tawanya menenangkan hati, seperti pengingat bahwa di balik semua perjuangan, selalu ada alasan untuk tersenyum. Rumah baru kami memang kecil, tapi halaman depannya luas. Di sanalah nanti aku berencana menjemur gorengan dan menata meja jualan sederhana.Setelah semua barang tersusun se
Pagi itu terasa berat dan sunyi. Cahaya matahari menembus tirai jendela, tapi tidak mampu mengusir rasa cemas yang menempel di dadaku. Aku menatap tumpukan dokumen yang baru dibawa dari kantor pusat Dion. Persyaratan tambahan itu tercetak jelas, tapi kata-katanya begitu menantang dan membuat jantungku berdebar.Dion duduk di seberangku, wajahnya serius. “Din… kita harus lihat ini baik-baik. Aku nggak mau ada yang kelewat,” katanya sambil menggeser dokumen ke arahku. Aku mengangguk, menelan ludah. Setiap kata terasa berat, setiap syarat menuntut kesiapan yang belum pasti.Aku membaca dokumen itu perlahan. Beberapa syarat administratif mudah, tapi ada beberapa syarat yang benar-benar menantang. Relokasi ke kota lain, adaptasi cepat dengan sistem kerja baru, Dion menarik napas panjang. “Din… aku tahu ini berat. Tapi ini kesempatan yang nggak bisa dilewatkan. Kita cuma harus rencanakan semuanya dengan hati-hati.” Aku menatapnya, mataku berkaca-kaca. “Aku takut, Dion. Aku takut gagal, tak
Detik-detik terasa lambat. Aku menahan napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mendengar apa yang akan dikatakan. Suara di telepon melanjutkan penjelasan: “Pak Dion diterima untuk posisi manajerial di kantor cabang kami. Namun, ada beberapa persyaratan tambahan yang harus dipenuhi segera. Kami ingin memastikan Ibu dan keluarga bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini.” Aku menutup mata sejenak, mencoba mencerna. Persyaratan tambahan? Aku merasakan campuran lega, cemas, dan kebingungan. Dion menatapku, wajahnya sedikit terkejut. “Din… ini… ini kesempatan besar,” katanya perlahan, suaranya penuh harap. Aku menghela napas panjang. “Iya… tapi aku takut kita nggak siap. Kita baru mulai stabil sedikit. Kalau pindah… semuanya berubah.” Dion menepuk pundakku. “Kita hadapi sama-sama. Aku janji, Din, aku akan pastikan semuanya berjalan baik.” Aku tersenyum tipis, mencoba menenangkan diri. Tapi ada rasa takut yang tak bisa dihilangkan. Semua perubahan membawa ketidakpastian, dan ket
Aku menatap Dion yang masih memegang ponsel, ekspresinya sulit kubaca. Tangan kecil Dinda menggapai kakiku. “Bunda, Ayah kenapa?” tanyanya polos. Aku menunduk, mengusap kepalanya. “Ah, nggak apa-apa, Nak. Hanya telepon biasa,” jawabku sambil tersenyum tipis, meski jantungku berdegup kencang. Dion menutup telepon dan menatapku serius. “Din… itu dari kantor yang kemarin aku lamar. Mereka minta ketemu besok pagi untuk wawancara.” Kataku tersenyum lega, tapi bersamaan itu ada rasa cemas yang merayap. Ini bisa menjadi awal perubahan untuk keluarga kami. Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri. “Bagus… ini kesempatan besar, Dion. Tapi kita harus siap. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi besok.” Dion menarik napas panjang. “Aku tahu. Aku harus siap, dan aku nggak mau kamu sendirian lagi menanggung semuanya din. ” Malam itu, setelah Dinda tidur, aku duduk menulis di buku harian: “Hari ini ada kabar yang bisa menjadi titik balik. Tapi aku tahu, kesempatan datang bersamaan dengan tanggu
Keesokan paginya, udara terasa hangat dan sedikit lembap. Aku bangun lebih awal, menyiapkan Dinda sarapan, memastikan tas berisi dagangan siap dibawa. Dion sudah duduk di ruang tamu, menatap langit pagi dari jendela. “Din… hari ini kita harus lebih fokus,” katanya pelan. Aku mengangguk, mencoba menahan rasa lelah yang menumpuk. Dinda tersenyum riang. “Bunda, ayo jualan!” katanya sambil menggenggam tanganku. Senyum polosnya menjadi pengingat, meski hatiku penuh kekhawatiran, bahwa aku harus bertahan demi dia. Aku menyiapkan risoles, tempe mendoan, dan kue jajanan lain sambil menata beberapa bungkusan untuk menitip ke warung. Dion ikut membantu membungkus, tampak canggung tapi tulus. “Din, ini kita bagi-bagi dagangan ke beberapa warung. Aku ikut temani,” katanya. Aku tersenyum tipis. “Iya, ayo. Semoga hari ini lebih lancar.” Sepanjang pagi, kami berkeliling ke beberapa warung. Beberapa menolak karena sudah penuh, beberapa menerima dengan senyum. Aku belajar menerima penolakan tanpa