Suatu sore, Dion memandang kosong ke langit-langit kamar. “Aku gagal ya, Din?” suaranya serak, hampir tak terdengar.
Aku menunduk, menahan air mata. “Kamu nggak gagal, Yon. Cuma lagi diuji.” Dia menarik napas berat. “Ujian ini terasa panjang banget.” Aku mengangguk pelan. “Tapi kita nggak akan berhenti di tengah jalan, kan?” Aku dan Dion mencoba melamar pekerjaan ke banyak perusahaan. Aku sendiri, meski sudah memiliki pengalaman dan pendidikan, selalu ditolak karena statusku sebagai ibu rumah tangga. Mereka bilang, “Maaf Bu, kami mencari kandidat yang lebih fleksibel, belum menikah.” Aku hanya bisa menelan rasa kecewa itu dan pulang. Kadang aku menangis sendirian, membiarkan air mata menetes di dapur saat Dinda sedang tidur. Suatu malam, Dion menatapku dari ruang tamu. “Kamu tadi dari mana?” “Dari wawancara. Ditolak lagi.” Dia menghela napas panjang. “Sabar ya, Din. Mungkin belum waktunya.” Aku tersenyum getir. “Kalau waktu terus lewat, siapa yang mau tunggu kita, Yon?” Dion, di sisi lain, lebih pasif. Dia melamar pekerjaan, tapi tidak sekeras aku. Kadang dia hanya duduk menatap ponsel, membuka email, kadang mengantar lamaran, tapi tidak ada semangat yang sama seperti yang kulakukan. Aku mulai merasa memikul segalanya sendiri. Aku mencoba berbagai cara. Aku menyuruh Dion menjadi ojek online. “Daripada menunggu panggilan kerja yang tak pasti, mending coba ini,” kataku. Dia menolak. “Aku nggak punya SIM,” katanya. Aku menatapnya lama, menahan marah dan kecewa. Aku ingin berteriak, tapi tidak ingin pertengkaran makin dalam. “Bisa bikin SIM, Yon,” kataku akhirnya dengan nada pelan tapi tajam. Dion menunduk, suaranya lirih. “Aku Cuma malu, Din. Aku nggak biasa ngojek.” Aku menarik napas panjang. “Malu nggak bisa beli beras jauh lebih sakit, Yon.” Dia terdiam, menatap lantai tanpa kata. Akhirnya, aku mencoba berjualan gorengan. Risoles, tempe mendoan, dan beberapa jajanan pasar. Hari pertama hanya laku dua bungkus. Hari kedua hampir tidak ada yang terjual. Aku pulang dengan wajah letih, tapi tetap mencoba tersenyum saat Dinda menyambutku. “Bunda beli apa?” tanyanya ceria. “Bunda beli senyum kamu,” jawabku, menahan air mata yang sudah mengintai. Dion yang duduk di pojok ruang tamu memperhatikan tanpa banyak bicara. “Lumayan jualannya?” tanyanya pelan. Aku menggeleng, menatap gorengan sisa di tangan. “Nggak banyak. Tapi aku coba lagi besok.” Dia mengangguk pelan, seolah ingin berkata sesuatu, tapi memilih diam. Diam yang dingin. Hari-hari berlalu dengan perjuangan yang sama. Setiap pagi aku bangun, menyiapkan Dinda, menyiapkan sarapan seadanya, lalu berangkat ke pasar untuk berjualan. Sore hari aku pulang, menghitung uang, memastikan ada cukup untuk makan malam. Dion kadang ikut, kadang tidak. Dia sering pergi keluar rumah untuk menghindari pertengkaran atau mungkin rasa frustrasinya sendiri. Aku sering merasa sendirian, meski Dion ada di rumah. Aku ingin berbicara, ingin curhat, tapi dia tidak menjadi teman cerita. Aku memendam semua rasa itu, menahan kecewa, menahan sakit hati. Malam itu aku duduk di dapur, menatap gorengan sisa yang mulai dingin. Dinda sudah tidur, rumah sunyi, dan Dion belum pulang. Hanya suara jam dinding yang terdengar… tik… tok… tik… tok… Aku menatap pintu yang masih tertutup rapat, berharap suara langkah Dion terdengar tapi yang datang justru bunyi motor berhenti di depan rumah, disusul suara tawa yang asing.Hari pertama Dion bekerja di kantor barunya terasa panjang. Aku menyiapkan sarapan lebih awal, walau mata masih berat karena semalam hampir tak bisa tidur. Ada rasa aneh sejak telepon semalam perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti firasat kecil yang berbisik bahwa sesuatu akan berubah.Dion tampak rapi dengan kemeja biru muda dan sepatu hitam mengilap. Dinda menatapnya sambil mengunyah roti.“Ayah kerja di mana sekarang?” tanyanya polos.“Di kantor besar, Sayang. Nanti kalau kamu rajin belajar, bisa main ke sana.”Aku tersenyum. “Jangan terlalu lama kerja ya, Yon. Badan kamu belum terbiasa.”Dion menatapku, sedikit menunduk. “Iya, Din. Aku janji nggak akan lupa pulang.”Hari itu aku sibuk berjualan. Pelanggan mulai datang satu per satu, kebanyakan tetangga sekitar yang penasaran dengan gorengan buatan “pendatang baru”. Aku mengiyakan, berusaha ramah, tersenyum meski pikiran melayang ke Dion.Kadang aku membayangkan bagaimana suasana kantornya apakah ia diterima dengan baik, atau just
Udara pagi di Bukittinggi terasa sejuk, lembut menyentuh kulit. Kabut tipis masih menari di antara pepohonan ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di depan rumah kontrakan kecil berwarna krem pucat. Rumah itu sederhana, tapi bagi kami, ini awal dari babak baru. Aku menggenggam tangan Dinda yang duduk di pangkuanku, sementara Dion sibuk menurunkan beberapa kardus berisi barang dari bagasi.“Din, kita mulai lagi dari sini, ya,” katanya sambil tersenyum, meski peluh sudah membasahi keningnya.Aku tersenyum, menatap matanya yang lelah tapi penuh semangat. “Iya, Yon. Yang penting kita bareng, itu sudah cukup.”Dinda berlari kecil ke halaman, tertawa melihat kupu-kupu kecil yang hinggap di bunga liar. Suara tawanya menenangkan hati, seperti pengingat bahwa di balik semua perjuangan, selalu ada alasan untuk tersenyum. Rumah baru kami memang kecil, tapi halaman depannya luas. Di sanalah nanti aku berencana menjemur gorengan dan menata meja jualan sederhana.Setelah semua barang tersusun se
Pagi itu terasa berat dan sunyi. Cahaya matahari menembus tirai jendela, tapi tidak mampu mengusir rasa cemas yang menempel di dadaku. Aku menatap tumpukan dokumen yang baru dibawa dari kantor pusat Dion. Persyaratan tambahan itu tercetak jelas, tapi kata-katanya begitu menantang dan membuat jantungku berdebar.Dion duduk di seberangku, wajahnya serius. “Din… kita harus lihat ini baik-baik. Aku nggak mau ada yang kelewat,” katanya sambil menggeser dokumen ke arahku. Aku mengangguk, menelan ludah. Setiap kata terasa berat, setiap syarat menuntut kesiapan yang belum pasti.Aku membaca dokumen itu perlahan. Beberapa syarat administratif mudah, tapi ada beberapa syarat yang benar-benar menantang. Relokasi ke kota lain, adaptasi cepat dengan sistem kerja baru, Dion menarik napas panjang. “Din… aku tahu ini berat. Tapi ini kesempatan yang nggak bisa dilewatkan. Kita cuma harus rencanakan semuanya dengan hati-hati.” Aku menatapnya, mataku berkaca-kaca. “Aku takut, Dion. Aku takut gagal, tak
Detik-detik terasa lambat. Aku menahan napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mendengar apa yang akan dikatakan. Suara di telepon melanjutkan penjelasan: “Pak Dion diterima untuk posisi manajerial di kantor cabang kami. Namun, ada beberapa persyaratan tambahan yang harus dipenuhi segera. Kami ingin memastikan Ibu dan keluarga bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini.” Aku menutup mata sejenak, mencoba mencerna. Persyaratan tambahan? Aku merasakan campuran lega, cemas, dan kebingungan. Dion menatapku, wajahnya sedikit terkejut. “Din… ini… ini kesempatan besar,” katanya perlahan, suaranya penuh harap. Aku menghela napas panjang. “Iya… tapi aku takut kita nggak siap. Kita baru mulai stabil sedikit. Kalau pindah… semuanya berubah.” Dion menepuk pundakku. “Kita hadapi sama-sama. Aku janji, Din, aku akan pastikan semuanya berjalan baik.” Aku tersenyum tipis, mencoba menenangkan diri. Tapi ada rasa takut yang tak bisa dihilangkan. Semua perubahan membawa ketidakpastian, dan ket
Aku menatap Dion yang masih memegang ponsel, ekspresinya sulit kubaca. Tangan kecil Dinda menggapai kakiku. “Bunda, Ayah kenapa?” tanyanya polos. Aku menunduk, mengusap kepalanya. “Ah, nggak apa-apa, Nak. Hanya telepon biasa,” jawabku sambil tersenyum tipis, meski jantungku berdegup kencang. Dion menutup telepon dan menatapku serius. “Din… itu dari kantor yang kemarin aku lamar. Mereka minta ketemu besok pagi untuk wawancara.” Kataku tersenyum lega, tapi bersamaan itu ada rasa cemas yang merayap. Ini bisa menjadi awal perubahan untuk keluarga kami. Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri. “Bagus… ini kesempatan besar, Dion. Tapi kita harus siap. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi besok.” Dion menarik napas panjang. “Aku tahu. Aku harus siap, dan aku nggak mau kamu sendirian lagi menanggung semuanya din. ” Malam itu, setelah Dinda tidur, aku duduk menulis di buku harian: “Hari ini ada kabar yang bisa menjadi titik balik. Tapi aku tahu, kesempatan datang bersamaan dengan tanggu
Keesokan paginya, udara terasa hangat dan sedikit lembap. Aku bangun lebih awal, menyiapkan Dinda sarapan, memastikan tas berisi dagangan siap dibawa. Dion sudah duduk di ruang tamu, menatap langit pagi dari jendela. “Din… hari ini kita harus lebih fokus,” katanya pelan. Aku mengangguk, mencoba menahan rasa lelah yang menumpuk. Dinda tersenyum riang. “Bunda, ayo jualan!” katanya sambil menggenggam tanganku. Senyum polosnya menjadi pengingat, meski hatiku penuh kekhawatiran, bahwa aku harus bertahan demi dia. Aku menyiapkan risoles, tempe mendoan, dan kue jajanan lain sambil menata beberapa bungkusan untuk menitip ke warung. Dion ikut membantu membungkus, tampak canggung tapi tulus. “Din, ini kita bagi-bagi dagangan ke beberapa warung. Aku ikut temani,” katanya. Aku tersenyum tipis. “Iya, ayo. Semoga hari ini lebih lancar.” Sepanjang pagi, kami berkeliling ke beberapa warung. Beberapa menolak karena sudah penuh, beberapa menerima dengan senyum. Aku belajar menerima penolakan tanpa