Pagi itu, matahari baru saja menembus jendela kamar. Aku bangun lebih awal dari biasanya. Dinda masih terlelap, tapi aku sudah memikirkan apa yang harus kulakukan hari ini.
Aku menatap wajah kecil Dinda yang tenang. “Tidurlah, sayang… Bunda mau berjuang lagi hari ini,” bisikku lembut sambil membenarkan selimutnya. Dari dapur, terdengar suara sendok beradu dengan cangkir. “Pagi, Din,” suara Dion terdengar pelan. “Pagi,” jawabku tanpa menoleh, mencoba menyembunyikan rasa lelah yang belum hilang. “Kamu nggak istirahat dulu?” tanyanya. Aku tersenyum samar. “Nggak bisa. Hidup nggak nunggu kita siap, kan?” Dion duduk di ruang tamu, menatap ponselnya tanpa berkata apa-apa. Kadang aku merasa frustrasi. Aku ingin dia menjadi partner sejati dalam perjuangan ini, tapi dia lebih banyak diam, atau menghindar. Aku menahan rasa kecewa itu, karena aku tahu, dia juga sedang berjuang, meski caranya berbeda. “Dion,” panggilku akhirnya, mencoba mencairkan suasana. “Hm?” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Kamu udah coba kirim lamaran ke tempat yang kemarin aku bilang?” “Udah… tapi belum ada balasan,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. Aku mengangguk, meski di dalam hati ingin berteriak, ‘Terus tunggu sampai kapan?’ Tapi aku diam. Hari ini aku memutuskan mencoba lagi menjual gorengan. Risoles, tempe mendoan, dan beberapa kue jajanan pasar kubawa ke warung dekat pasar. Aku berharap hari ini laku lebih banyak. Dion menatapku saat aku menyiapkan wadah gorengan. “Kamu yakin kuat sendirian?” “Aku harus kuat,” jawabku tegas. Dia terdiam sejenak, lalu menatapku dengan tatapan canggung. “Aku bisa bantu bungkusin.” Aku tersenyum kecil. “Terima kasih… setidaknya aku nggak merasa benar-benar sendiri pagi ini.” Saat aku menata dagangan, beberapa orang lewat, tapi hanya sedikit yang membeli. Aku menarik napas panjang. Penolakan demi penolakan ini membuat hati lelah, tapi aku tak punya pilihan lain. Aku harus terus mencoba. “Bu, gorengannya berapa?” tanya seorang ibu. “Seribu lima ratus, Bu,” jawabku cepat dengan senyum sopan. “Wah, mahal ya,” katanya lalu pergi. Aku menatap dagangan yang masih penuh. “Mahal? Tapi ini bahkan belum cukup buat minyak goreng,” gumamku lirih, nyaris seperti berbicara dengan diri sendiri. Lalu aku menatap langit, mencoba meyakinkan diri, “Nggak apa-apa, besok pasti lebih baik.” ‘Dina, coba jual lebih jauh ke gang sebelah,’ saran Dion tiba-tiba. Aku terkejut. Kata-kata itu jarang keluar darinya, tapi aku mencoba menahannya. Aku menatapnya sekilas. “Kamu mau ikut?” tanyaku dengan nada tenang. “Enggak, aku di sini aja. Takut ganggu.” Aku menarik napas dalam. “Kalau kamu ikut, nggak akan ganggu, malah mungkin bantu.” Dia tersenyum samar. “Lain kali, ya.” Aku hanya mengangguk, lalu beranjak dengan perasaan campur aduk antara lega dan kecewa. Dari luar, suara anak-anak kecil terdengar riang. Aku menatap ke arah jendela. “Dulu kita sering ketawa kayak gitu, ya,” kataku pelan. Dion menatapku sebentar. “Iya… dulu.” Aku tersenyum getir. “Semoga nanti kita bisa ketawa lagi.” “Semoga,” jawabnya singkat. Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Pagi berangkat berjualan, siang menghitung uang, sore kembali pulang. Dion kadang ikut, kadang tidak. Kadang dia pergi ke tempat lain, katanya untuk menghindari pertengkaran atau mencari ide pekerjaan. Aku tidak tahu pasti. Suatu sore, aku bertanya, “Kamu tadi ke mana?” “Ke rumah teman, katanya ada lowongan.” “Dapat?” tanyaku berharap. “Belum. Tapi katanya nanti dikabarin.” Aku hanya mengangguk. Kata “nanti” sekarang terdengar seperti doa yang tak kunjung dijawab. Aku mulai memikirkan strategi lain. Aku mencoba menawarkan pesanan risoles untuk tetangga, menitipkan beberapa gorengan di warung lain. Lambat tapi pasti, ada sedikit pemasukan yang masuk. Uang itu tidak banyak, tapi cukup untuk membeli beras, sayur, dan susu Dinda. Aku menghitung uang di meja kecil. “Lima puluh delapan ribu…” gumamku. Dion melirik. “Lumayan, Din.” “Lumayan buat makan dua hari,” jawabku dengan senyum samar. Dia mengangguk pelan. “Aku janji, nanti aku juga bantu cari penghasilan.” “Janji kamu selalu indah, Dion. Aku cuma butuh buktinya,” kataku lembut tapi tegas. Malam hari, ketika Dinda tidur, aku duduk menulis di buku harian lamaku, “Aku cuma ingin semuanya terasa ringan,” tulisku pelan. Dion lewat dan berhenti di depan pintu. “Kamu nulis apa?” “Cuma curhat sama buku. Dia lebih sabar dari manusia,” jawabku datar. Dion mendekat, menatapku lama. “Aku tahu kamu capek.” “Kalau kamu tahu, kenapa nggak peluk aku aja?” bisikku dalam hati. Hari ini laku sedikit. Tidak seberapa, tapi cukup untuk membuat Dinda makan. Kadang aku merasa lelah, tapi aku harus tetap bertahan. Ini bukan tentang ego, bukan tentang harga diri, tapi tentang bertahan hidup. Aku menutup buku harian itu perlahan. Dion duduk di sampingku. “Din, kamu hebat.” Aku menatapnya. “Aku nggak butuh dibilang hebat. Aku cuma pengen kita berjuang bareng.” Dia terdiam, lalu menatapku dengan mata redup. “Aku akan coba lagi besok, aku janji.” Aku tersenyum kecil. “Itu aja udah cukup buat malam ini.” Aku menatap Dion yang duduk di ruang tamu. Kadang aku ingin bertanya, ‘Kamu kenapa diam terus? Kamu tidak ingin membantu?’ Tapi aku menahan diri. Aku tahu, jika aku memaksanya, pertengkaran pasti terjadi. Aku sudah belajar cukup banyak tentang cara menahan emosi demi rumah tangga.Hari pertama Dion bekerja di kantor barunya terasa panjang. Aku menyiapkan sarapan lebih awal, walau mata masih berat karena semalam hampir tak bisa tidur. Ada rasa aneh sejak telepon semalam perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti firasat kecil yang berbisik bahwa sesuatu akan berubah.Dion tampak rapi dengan kemeja biru muda dan sepatu hitam mengilap. Dinda menatapnya sambil mengunyah roti.“Ayah kerja di mana sekarang?” tanyanya polos.“Di kantor besar, Sayang. Nanti kalau kamu rajin belajar, bisa main ke sana.”Aku tersenyum. “Jangan terlalu lama kerja ya, Yon. Badan kamu belum terbiasa.”Dion menatapku, sedikit menunduk. “Iya, Din. Aku janji nggak akan lupa pulang.”Hari itu aku sibuk berjualan. Pelanggan mulai datang satu per satu, kebanyakan tetangga sekitar yang penasaran dengan gorengan buatan “pendatang baru”. Aku mengiyakan, berusaha ramah, tersenyum meski pikiran melayang ke Dion.Kadang aku membayangkan bagaimana suasana kantornya apakah ia diterima dengan baik, atau just
Udara pagi di Bukittinggi terasa sejuk, lembut menyentuh kulit. Kabut tipis masih menari di antara pepohonan ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di depan rumah kontrakan kecil berwarna krem pucat. Rumah itu sederhana, tapi bagi kami, ini awal dari babak baru. Aku menggenggam tangan Dinda yang duduk di pangkuanku, sementara Dion sibuk menurunkan beberapa kardus berisi barang dari bagasi.“Din, kita mulai lagi dari sini, ya,” katanya sambil tersenyum, meski peluh sudah membasahi keningnya.Aku tersenyum, menatap matanya yang lelah tapi penuh semangat. “Iya, Yon. Yang penting kita bareng, itu sudah cukup.”Dinda berlari kecil ke halaman, tertawa melihat kupu-kupu kecil yang hinggap di bunga liar. Suara tawanya menenangkan hati, seperti pengingat bahwa di balik semua perjuangan, selalu ada alasan untuk tersenyum. Rumah baru kami memang kecil, tapi halaman depannya luas. Di sanalah nanti aku berencana menjemur gorengan dan menata meja jualan sederhana.Setelah semua barang tersusun se
Pagi itu terasa berat dan sunyi. Cahaya matahari menembus tirai jendela, tapi tidak mampu mengusir rasa cemas yang menempel di dadaku. Aku menatap tumpukan dokumen yang baru dibawa dari kantor pusat Dion. Persyaratan tambahan itu tercetak jelas, tapi kata-katanya begitu menantang dan membuat jantungku berdebar.Dion duduk di seberangku, wajahnya serius. “Din… kita harus lihat ini baik-baik. Aku nggak mau ada yang kelewat,” katanya sambil menggeser dokumen ke arahku. Aku mengangguk, menelan ludah. Setiap kata terasa berat, setiap syarat menuntut kesiapan yang belum pasti.Aku membaca dokumen itu perlahan. Beberapa syarat administratif mudah, tapi ada beberapa syarat yang benar-benar menantang. Relokasi ke kota lain, adaptasi cepat dengan sistem kerja baru, Dion menarik napas panjang. “Din… aku tahu ini berat. Tapi ini kesempatan yang nggak bisa dilewatkan. Kita cuma harus rencanakan semuanya dengan hati-hati.” Aku menatapnya, mataku berkaca-kaca. “Aku takut, Dion. Aku takut gagal, tak
Detik-detik terasa lambat. Aku menahan napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mendengar apa yang akan dikatakan. Suara di telepon melanjutkan penjelasan: “Pak Dion diterima untuk posisi manajerial di kantor cabang kami. Namun, ada beberapa persyaratan tambahan yang harus dipenuhi segera. Kami ingin memastikan Ibu dan keluarga bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini.” Aku menutup mata sejenak, mencoba mencerna. Persyaratan tambahan? Aku merasakan campuran lega, cemas, dan kebingungan. Dion menatapku, wajahnya sedikit terkejut. “Din… ini… ini kesempatan besar,” katanya perlahan, suaranya penuh harap. Aku menghela napas panjang. “Iya… tapi aku takut kita nggak siap. Kita baru mulai stabil sedikit. Kalau pindah… semuanya berubah.” Dion menepuk pundakku. “Kita hadapi sama-sama. Aku janji, Din, aku akan pastikan semuanya berjalan baik.” Aku tersenyum tipis, mencoba menenangkan diri. Tapi ada rasa takut yang tak bisa dihilangkan. Semua perubahan membawa ketidakpastian, dan ket
Aku menatap Dion yang masih memegang ponsel, ekspresinya sulit kubaca. Tangan kecil Dinda menggapai kakiku. “Bunda, Ayah kenapa?” tanyanya polos. Aku menunduk, mengusap kepalanya. “Ah, nggak apa-apa, Nak. Hanya telepon biasa,” jawabku sambil tersenyum tipis, meski jantungku berdegup kencang. Dion menutup telepon dan menatapku serius. “Din… itu dari kantor yang kemarin aku lamar. Mereka minta ketemu besok pagi untuk wawancara.” Kataku tersenyum lega, tapi bersamaan itu ada rasa cemas yang merayap. Ini bisa menjadi awal perubahan untuk keluarga kami. Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri. “Bagus… ini kesempatan besar, Dion. Tapi kita harus siap. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi besok.” Dion menarik napas panjang. “Aku tahu. Aku harus siap, dan aku nggak mau kamu sendirian lagi menanggung semuanya din. ” Malam itu, setelah Dinda tidur, aku duduk menulis di buku harian: “Hari ini ada kabar yang bisa menjadi titik balik. Tapi aku tahu, kesempatan datang bersamaan dengan tanggu
Keesokan paginya, udara terasa hangat dan sedikit lembap. Aku bangun lebih awal, menyiapkan Dinda sarapan, memastikan tas berisi dagangan siap dibawa. Dion sudah duduk di ruang tamu, menatap langit pagi dari jendela. “Din… hari ini kita harus lebih fokus,” katanya pelan. Aku mengangguk, mencoba menahan rasa lelah yang menumpuk. Dinda tersenyum riang. “Bunda, ayo jualan!” katanya sambil menggenggam tanganku. Senyum polosnya menjadi pengingat, meski hatiku penuh kekhawatiran, bahwa aku harus bertahan demi dia. Aku menyiapkan risoles, tempe mendoan, dan kue jajanan lain sambil menata beberapa bungkusan untuk menitip ke warung. Dion ikut membantu membungkus, tampak canggung tapi tulus. “Din, ini kita bagi-bagi dagangan ke beberapa warung. Aku ikut temani,” katanya. Aku tersenyum tipis. “Iya, ayo. Semoga hari ini lebih lancar.” Sepanjang pagi, kami berkeliling ke beberapa warung. Beberapa menolak karena sudah penuh, beberapa menerima dengan senyum. Aku belajar menerima penolakan tanpa