Share

BAB 4

Author: amatir
last update Last Updated: 2025-10-20 17:01:04

Aku belajar bertahan. Aku belajar memutar otak agar bisa menghasilkan uang demi kebutuhan sehari-hari. Aku belajar menahan rasa lelah dan kecewa, karena ada Dinda yang selalu membutuhkan senyumku, ada Dion yang meski diam tapi tetap suamiku.

Malam hari, ketika Dinda tidur, aku duduk sendiri di kamar, menatap Dion yang sering hanya menatap layar ponsel. Aku menulis di buku harian.

“Aku merasa sendirian, meski kau ada di sini. Aku ingin kau menjadi teman bicara, tapi aku harus menunggu. Aku lelah, tapi aku harus bertahan. Untuk Dinda, untuk kita, dan untuk diriku sendiri.”

Aku menatap Dinda lagi, wajah kecilnya yang polos. Aku berjanji pada diri sendiri, meski dunia menekan, aku akan terus bertahan. Karena cinta tidak selalu soal bahagia, kadang cinta adalah bertahan saat segalanya terasa berat.

Suatu malam Dion berkata pelan tanpa menatapku, “Kamu hebat, Din. Aku tahu aku sering bikin kamu kecewa.”

Aku menatapnya, tersenyum hambar. “Aku nggak butuh hebat, Yon. Aku Cuma butuh kamu hadir.”

Dia menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku sedang berusaha.”

Aku hanya menjawab lirih, “Aku tahu. Tapi jangan lama-lama berusaha sendirian di dalam diam.”

Hari-hari itu, aku belajar arti kesabaran yang sebenarnya. Bukan sabar menunggu tanpa melakukan apa-apa, tapi sabar menanggung semua yang harus ditanggung, sambil terus mencari jalan. Aku belajar bahwa menjadi seorang ibu dan istri bukan hanya soal cinta, tapi soal keberanian menghadapi kenyataan yang keras.

Aku sering terjaga larut malam, memikirkan bagaimana cara menyeimbangkan semuanya. Ada kalanya aku menangis sendirian di kamar mandi, menahan suara agar Dinda tidak bangun. Aku merasa tubuhku letih, tapi hatiku tetap harus tegak. Kadang aku menatap Dion yang sedang tidur, berharap dia bisa merasakan tekanan yang kurasakan, tapi aku tahu dia juga menanggung beban sendiri.

Aku mencoba mengatur strategi baru. Beberapa hari, aku mengurangi jenis gorengan dan mencoba jualan kue basah. Kadang laku, kadang tidak. Setiap rupiah yang berhasil kuhasilkan terasa sangat berharga. Dion kadang membantu, tapi lebih sering dia diam di pojok rumah, menatap ponsel atau menonton televisi. Diamnya kadang menenangkan, kadang membuatku bertanya-tanya apakah dia peduli atau tidak.

Suatu pagi, aku mendapati Dion termenung di depan rumah, menatap jalanan yang lengang. Aku menghampiri, tapi dia hanya tersenyum samar. “Pagi, Yon. Mau sarapan?” tanyaku pelan.

Dia mengangguk, tapi tidak banyak bicara. Aku mencoba tidak menekan, mencoba memahami bahwa dia juga sedang menyesuaikan diri dengan kenyataan yang keras ini.

Namun tekanan itu tetap terasa. Kadang aku ingin menjerit, ingin meluapkan semua emosi yang terpendam. Tapi melihat Dinda, melihat senyum polosnya, aku menahan semuanya. Semua air mata dan lelah harus kubawa sendiri. Aku harus kuat.

Dion pun terlihat mulai menahan diri dari pertengkaran. Diamnya kadang terasa menenangkan, kadang membuatku kesal karena seolah kami tinggal dalam rumah yang sama tapi berjauhan. Kami seperti dua orang yang memikul dunia sendiri-sendiri, tapi tetap saling membutuhkan.

Malam itu, aku menulis lagi di buku harian,

“Semoga besok lebih baik. Semoga aku masih punya kekuatan untuk tersenyum. Semoga Dion bisa melihatku, bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai teman yang juga butuh.”

Terkadang aku bertanya pada diri sendiri, sampai kapan kondisi ini akan berlanjut. Aku takut jika lelahku mencapai puncak, aku tak bisa lagi menahan diri. Aku takut jika suatu hari Dion merasa putus asa, dan semua usaha kami selama ini hancur begitu saja.

Aku mencoba menenangkan hati dengan membayangkan masa depan yang lebih baik. Suatu hari nanti, kami akan melalui ini semua. Suatu hari nanti, Dion akan menemukan pekerjaan baru, aku akan lebih kuat, dan Dinda akan tumbuh dengan senyum yang lebih lebar. Bayangan itu memberi sedikit cahaya di tengah kegelapan yang kami alami.

Tetapi di balik itu semua, aku tetap merasa gentar. Aku tahu badai belum usai. Tantangan yang lebih besar mungkin menunggu di depan. Bahkan ketika Dion tidur di sampingku, aku terkadang menatapnya, bertanya-tanya apakah dia bisa menanggung semua ini bersamaku.

Suatu hari, aku mendengar Dion berbisik di ruang tamu, hampir tak terdengar, “Aku nggak mau kamu capek sendirian, Din. Tapi aku juga nggak tahu harus mulai dari mana.”

Aku menunduk, air mata menetes perlahan. Aku ingin memeluknya, ingin mengatakan bahwa kami masih bisa melewati ini. Tapi kata-kata tak keluar, hanya keheningan yang mengisi rumah itu.

Dan malam itu, aku menatap Dinda yang tertidur pulas, berharap esok hari akan lebih ringan. Namun di sudut hatiku, rasa cemas tetap ada. Aku tahu perjuangan kami masih panjang. Aku tahu, kesabaran dan keberanian masih harus diuji berkali-kali.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PELITA DI TENGAH GELAP   BAB 17

    Hari pertama Dion bekerja di kantor barunya terasa panjang. Aku menyiapkan sarapan lebih awal, walau mata masih berat karena semalam hampir tak bisa tidur. Ada rasa aneh sejak telepon semalam perasaan yang sulit dijelaskan. Seperti firasat kecil yang berbisik bahwa sesuatu akan berubah.Dion tampak rapi dengan kemeja biru muda dan sepatu hitam mengilap. Dinda menatapnya sambil mengunyah roti.“Ayah kerja di mana sekarang?” tanyanya polos.“Di kantor besar, Sayang. Nanti kalau kamu rajin belajar, bisa main ke sana.”Aku tersenyum. “Jangan terlalu lama kerja ya, Yon. Badan kamu belum terbiasa.”Dion menatapku, sedikit menunduk. “Iya, Din. Aku janji nggak akan lupa pulang.”Hari itu aku sibuk berjualan. Pelanggan mulai datang satu per satu, kebanyakan tetangga sekitar yang penasaran dengan gorengan buatan “pendatang baru”. Aku mengiyakan, berusaha ramah, tersenyum meski pikiran melayang ke Dion.Kadang aku membayangkan bagaimana suasana kantornya apakah ia diterima dengan baik, atau just

  • PELITA DI TENGAH GELAP   BAB 16

    Udara pagi di Bukittinggi terasa sejuk, lembut menyentuh kulit. Kabut tipis masih menari di antara pepohonan ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di depan rumah kontrakan kecil berwarna krem pucat. Rumah itu sederhana, tapi bagi kami, ini awal dari babak baru. Aku menggenggam tangan Dinda yang duduk di pangkuanku, sementara Dion sibuk menurunkan beberapa kardus berisi barang dari bagasi.“Din, kita mulai lagi dari sini, ya,” katanya sambil tersenyum, meski peluh sudah membasahi keningnya.Aku tersenyum, menatap matanya yang lelah tapi penuh semangat. “Iya, Yon. Yang penting kita bareng, itu sudah cukup.”Dinda berlari kecil ke halaman, tertawa melihat kupu-kupu kecil yang hinggap di bunga liar. Suara tawanya menenangkan hati, seperti pengingat bahwa di balik semua perjuangan, selalu ada alasan untuk tersenyum. Rumah baru kami memang kecil, tapi halaman depannya luas. Di sanalah nanti aku berencana menjemur gorengan dan menata meja jualan sederhana.Setelah semua barang tersusun se

  • PELITA DI TENGAH GELAP   BAB 15

    Pagi itu terasa berat dan sunyi. Cahaya matahari menembus tirai jendela, tapi tidak mampu mengusir rasa cemas yang menempel di dadaku. Aku menatap tumpukan dokumen yang baru dibawa dari kantor pusat Dion. Persyaratan tambahan itu tercetak jelas, tapi kata-katanya begitu menantang dan membuat jantungku berdebar.Dion duduk di seberangku, wajahnya serius. “Din… kita harus lihat ini baik-baik. Aku nggak mau ada yang kelewat,” katanya sambil menggeser dokumen ke arahku. Aku mengangguk, menelan ludah. Setiap kata terasa berat, setiap syarat menuntut kesiapan yang belum pasti.Aku membaca dokumen itu perlahan. Beberapa syarat administratif mudah, tapi ada beberapa syarat yang benar-benar menantang. Relokasi ke kota lain, adaptasi cepat dengan sistem kerja baru, Dion menarik napas panjang. “Din… aku tahu ini berat. Tapi ini kesempatan yang nggak bisa dilewatkan. Kita cuma harus rencanakan semuanya dengan hati-hati.” Aku menatapnya, mataku berkaca-kaca. “Aku takut, Dion. Aku takut gagal, tak

  • PELITA DI TENGAH GELAP   BAB 14

    Detik-detik terasa lambat. Aku menahan napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mendengar apa yang akan dikatakan. Suara di telepon melanjutkan penjelasan: “Pak Dion diterima untuk posisi manajerial di kantor cabang kami. Namun, ada beberapa persyaratan tambahan yang harus dipenuhi segera. Kami ingin memastikan Ibu dan keluarga bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini.” Aku menutup mata sejenak, mencoba mencerna. Persyaratan tambahan? Aku merasakan campuran lega, cemas, dan kebingungan. Dion menatapku, wajahnya sedikit terkejut. “Din… ini… ini kesempatan besar,” katanya perlahan, suaranya penuh harap. Aku menghela napas panjang. “Iya… tapi aku takut kita nggak siap. Kita baru mulai stabil sedikit. Kalau pindah… semuanya berubah.” Dion menepuk pundakku. “Kita hadapi sama-sama. Aku janji, Din, aku akan pastikan semuanya berjalan baik.” Aku tersenyum tipis, mencoba menenangkan diri. Tapi ada rasa takut yang tak bisa dihilangkan. Semua perubahan membawa ketidakpastian, dan ket

  • PELITA DI TENGAH GELAP   BAB 13

    Aku menatap Dion yang masih memegang ponsel, ekspresinya sulit kubaca. Tangan kecil Dinda menggapai kakiku. “Bunda, Ayah kenapa?” tanyanya polos. Aku menunduk, mengusap kepalanya. “Ah, nggak apa-apa, Nak. Hanya telepon biasa,” jawabku sambil tersenyum tipis, meski jantungku berdegup kencang. Dion menutup telepon dan menatapku serius. “Din… itu dari kantor yang kemarin aku lamar. Mereka minta ketemu besok pagi untuk wawancara.” Kataku tersenyum lega, tapi bersamaan itu ada rasa cemas yang merayap. Ini bisa menjadi awal perubahan untuk keluarga kami. Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri. “Bagus… ini kesempatan besar, Dion. Tapi kita harus siap. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi besok.” Dion menarik napas panjang. “Aku tahu. Aku harus siap, dan aku nggak mau kamu sendirian lagi menanggung semuanya din. ” Malam itu, setelah Dinda tidur, aku duduk menulis di buku harian: “Hari ini ada kabar yang bisa menjadi titik balik. Tapi aku tahu, kesempatan datang bersamaan dengan tanggu

  • PELITA DI TENGAH GELAP   BAB 12

    Keesokan paginya, udara terasa hangat dan sedikit lembap. Aku bangun lebih awal, menyiapkan Dinda sarapan, memastikan tas berisi dagangan siap dibawa. Dion sudah duduk di ruang tamu, menatap langit pagi dari jendela. “Din… hari ini kita harus lebih fokus,” katanya pelan. Aku mengangguk, mencoba menahan rasa lelah yang menumpuk. Dinda tersenyum riang. “Bunda, ayo jualan!” katanya sambil menggenggam tanganku. Senyum polosnya menjadi pengingat, meski hatiku penuh kekhawatiran, bahwa aku harus bertahan demi dia. Aku menyiapkan risoles, tempe mendoan, dan kue jajanan lain sambil menata beberapa bungkusan untuk menitip ke warung. Dion ikut membantu membungkus, tampak canggung tapi tulus. “Din, ini kita bagi-bagi dagangan ke beberapa warung. Aku ikut temani,” katanya. Aku tersenyum tipis. “Iya, ayo. Semoga hari ini lebih lancar.” Sepanjang pagi, kami berkeliling ke beberapa warung. Beberapa menolak karena sudah penuh, beberapa menerima dengan senyum. Aku belajar menerima penolakan tanpa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status