"Tolong… tolong…"
Perempuan itu menepis tangan beberapa pria yang hendak menyentuhnya. "Diam, atau saya bunuh!" Salah satu dari mereka mengancam dengan tatapan tajam ke arah gadis yang sedang mereka rundung. Wajah sang gadis berubah ketakutan. "Ah, tidak… jangan…" Suaranya melengking, lirih, panik. Para preman itu tertawa terbahak-bahak, puas seolah hari ini milik mereka. Namun, saat salah satu tangan mulai terangkat hendak menyentuh pundaknya BRAK! Sebuah tangan kekar menahan gerakan itu. Seorang pria berdiri di hadapan gadis tersebut, melindungi tubuhnya tanpa ragu. Gadis itu menatap pria itu sejenak senyuman tipis muncul di wajahnya, nyaris tak terlihat. Namun dengan cepat, ia mengubah ekspresinya menjadi penuh ketakutan. "Tolong aku…" lirihnya pelan, sambil bersembunyi di balik pria itu. Pertarungan tak terhindarkan. Satu melawan empat. Namun pria itu bergerak cepat. Akurat. Pukulan dan tendangannya menghantam tanpa ampun. Dalam hitungan detik, keempat preman itu tumbang, merintih kesakitan di atas tanah. Gadis itu masih berdiri di belakangnya, matanya menyimak setiap gerakan dengan saksama. Lincah. Tenang. Terlatih. Ternyata… pria di hadapannya bukan orang biasa. Dia… jago bertarung. Sama seperti dirinya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Arya, suaranya lembut, penuh perhatian. Nayla mengangkat wajahnya, menatap lekat wajah Arya dari jarak dekat. Ia mengangguk kecil, meski sorot matanya masih menyimpan ketakutan. "Bukankah kamu gadis yang kemarin di cafe?" Arya menatapnya, sedikit mengernyit, mencoba mengingat. Nayla memiringkan kepala, senyum tipis mengembang. "Kamu mengingatnya?" __ “Terima kasih sudah menolongku… dan terima kasih juga karena mau menerima ajakanku minum kopi bersama. Aku sungguh berutang padamu,” ucap Nayla lembut. Mereka duduk di sebuah restoran elegan, tepat di seberang kantor milik keluarga Arya. Suasana itu tenang, seakan mendukung permainan peran yang tengah Nayla mainkan. Arya mengangguk pelan. Wajahnya tampan dan tegas nyaris tak bercela. Namun siapa sangka, di balik ketegasannya, Arya ternyata memiliki kelemahan: mudah luluh pada pesona wanita cantik. Dan itu… adalah celah yang Nayla butuhkan untuk menyusup ke dalam hatinya. Ternyata, semua itu hanyalah bagian dari skenario yang telah dirancang dengan sangat rapi. Riko-lah dalang di balik insiden "penyelamatan" itu. Ia menyewa empat preman bayaran dan mengatur peran mereka dengan sempurna terlihat meyakinkan, brutal, dan cukup mencolok untuk memancing perhatian Arya. Segalanya disusun agar Arya tergerak, mendekat, dan… akhirnya bertindak sebagai pahlawan. Awal perkenalan yang tampak kebetulan, padahal sesungguhnya penuh perhitungan. Sebuah panggung kecil yang diciptakan demi satu hal: membuat Nayla masuk ke dalam kehidupan Arya secara perlahan tapi pasti. "Pria bodoh," gumam Nayla dalam hati sambil menatap mata Arya. Wajahnya tersenyum manis, lembut, nyaris polos… tapi dalam hatinya, ia tertawa. Menertawakan betapa mudahnya pria itu terpikat oleh permainan kecilnya. Setelah beberapa detik hening, Nayla membuka obrolan baru dengan suara pelan dan ragu. “Maaf kalau aku sudah membuang waktu Anda. Aku lupa… kalau Anda sudah menikah.” Arya buru-buru menggeleng. “Tidak, tidak! Tenang saja. Dia orang yang sangat pengertian… Dia tahu seperti apa diriku. Jadi, kamu tak perlu merasa bersalah.” Jawaban itu seperti musik indah di telinga Nayla. Ia menunduk sopan, tapi dalam hatinya… “Ternyata semudah ini memasuki hidupmu…” Senyum samar kembali muncul di bibirnya, penuh kepuasan. Percakapan mereka mengalir hangat, ringan… bahkan sesekali tawa kecil terdengar dari bibir Arya. Nayla memperhatikan dengan cermat setiap lirikan, senyum, dan nada suara pria itu. Ia tahu. Arya mulai tertarik padanya. Tak sia-sia segala usaha yang telah ia jalani. Lesung pipi buatan yang tampak alami, hidung yang lebih ramping, wajah yang kini tirus sempurna semuanya hasil dari proses yang tak mudah. Dibentuk, dipoles, hingga tak ada yang menyangka bahwa wajah cantiknya adalah hasil operasi. Bukan kecantikan palsu… tapi senjata. Paman nya telah merancang semuanya dengan teliti. Dari pendidikan etika hingga meja operasi. Dan Nayla… sangat sadar bahwa dirinya adalah pion sekaligus ratu dalam permainan ini. Dan kini, raja sedang melangkah ke dalam perangkap. Obrolan mereka yang semula hangat harus terhenti saat ponsel Arya berdering pelan. Ia melihat layarnya sejenak, lalu berdiri sambil meminta izin, “Maaf, aku harus angkat ini sebentar.” Nama sang istri tertera jelas di layar. Nayla mengangguk pelan, tersenyum manis seolah tak terganggu, padahal sorot matanya mengikuti punggung kekar pria itu dengan saksama. Begitu Arya menjauh, senyum misterius terangkat di wajahnya. Dingin, penuh perhitungan. “Babak selanjutnya… dimulai,” bisiknya dalam hati. POV Nayla Pecundang itu sepertinya sudah selesai dengan teleponnya. Aku yakin yang menelepon tadi istrinya dari cara bicaranya yang manis, nada suaranya penuh perhatian. Tak heran kalau perempuan itu tergila-gila padanya. Terlalu mudah percaya pada pria seperti itu. Cih. Begitu polos. Begitu mudah dibodohi oleh wajah tampan dan sikap hangat palsu. Tunggu saja... Aku akan menggantikan posisimu. Maaf, ini bukan tentang dirimu. Kau memang bukan target balas dendamku. Tapi sayangnya, kau menikah dengan anak dari pembunuh keluargaku. Dan itu berarti... Suamimu adalah milikku sekarang. "Maaf, menunggu lama ya?" Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum dan mengangguk pelan. "Sepertinya aku sudah terlalu lama mengambil waktumu," lanjutku sambil merapikan tas. "Aku juga ada jadwal pemotretan. Mungkin... kita bisa bicara lagi nanti kalau takdir mempertemukan kita lagi." Wajahnya terlihat kecewa, tapi aku tak peduli. Itu memang bagian dari rencanaku: membuatnya penasaran, membuatnya mencari. "Kalau boleh... minta nomor ponselmu?" tanyanya, sedikit memohon. Aku menggeleng pelan. "Jika memang takdir menginginkannya, aku akan memberikannya saat kita bertemu lagi. Permisi." Aku berbalik, melangkah pergi dengan senyum kecil di sudut bibir. Langkah awal berhasil. *** "Bagus, Nayla. Bagus... kamu berhasil membuat pria itu penasaran padamu." Suara itu terdengar jelas di telingaku. Ya, sejak tadi aku memakai earphone kecil yang terhubung langsung dengan Kak Riko. Aku tak membalas. Hanya tersenyum percaya diri, melangkah keluar dari restoran dengan dagu terangkat. Langkahku ringan, tapi penuh tujuan. “Sudah ya, Kak. Aku mau pemotretan dulu,” ucapku setelah duduk di dalam mobil. Aku melepas earphone, mematikannya, lalu menyimpannya ke dalam tas. Setibanya di gedung tempat pemotretan, aku berjalan masuk dengan langkah ringan meski suasana sudah cukup ramai. Beberapa orang tampak menunggu. “Ya ampun, ini dia artis besar kita! Habis dari mana sih?” Gerutu bosku begitu melihatku. Dialah yang membayarku dengan harga fantastis tentu saja, semua berkat koneksi pamanku. “Kamu tahu nggak Tiara?” tanya perias sambil terus merapikan riasanku, berusaha mengajakku mengobrol santai. Aku mengerutkan dahi, malas menanggapi. Untuk apa membicarakan seseorang yang tak penting bagiku? “Dia perempuan beruntung yang berhasil mendapatkan hati Arya Mahendra. Putra dari Surya Mahendra, tahu kan? Yang jelas dia bukan orang biasa.” Ucapannya sukses membuat mataku membulat seketika. “Kamu mengenalnya?” tanyaku, mulai penasaran sambil tetap menatap cermin. Perias itu mengangguk cepat, suaranya penuh semangat. “Siapa sih yang nggak kenal Tiara? Dia itu anak dari seorang jenderal, lho. Bukan siapa-siapa sebenarnya cuma anak manja yang beruntung bisa lahir di keluarga itu. Makanya bisa nikah sama Arya Mahendra.” Aku hanya tersenyum tipis, menahan emosi yang mulai bergolak di dada. Jadi... ini perempuan yang harus kulewati?Prok. Prok. Prok. Suara tepuk tangan menggema di seluruh studio. Lampu sorot menyorot panggung utama, tempat Nayla kini duduk anggun sebagai bintang tamu di salah satu stasiun televisi nasional. Sosoknya terlihat sempurna tenang, cerdas, dan memikat. Aura ketenangan dan pesona misteriusnya memikat perhatian siapa pun yang menonton. Di bangku penonton VIP, duduk seorang pria dengan tatapan tajam namun penuh kekaguman: Riko. Ia tampak santai, tapi matanya tak pernah lepas dari sosok Nayla di atas panggung. Dia bukan hanya kakak angkat. Bukan hanya pelindung. Riko telah menyimpan sesuatu sejak lama sebuah rasa yang tak pernah ia tunjukkan secara terang-terangan pada siapapun, Dingin, tertutup, dan seringkali terlihat tak peduli, namun hanya satu orang yang berhasil mengguncang lapisan es itu sejak dulu: Nayla. Menjaga gadis itu sejak kecil adalah tugas… sekaligus kutukan manis yang ia terima tanpa keluh. Ia tahu semakin lama ia bersamanya, semakin dalam rasa yang tumbuh. Tapi Nay
"Berapa kali Mama dan Papa bilang, Arya? Kenapa kamu nggak pernah dengar, sih? Apa susahnya menerima Tiara? Kenapa sekarang kamu tiba-tiba ingin dilayani segala?" omel Surya, sang Papa, dengan nada kesal dan heran melihat sikap putranya yang berubah. "Ya wajar dong, Pa!" bantah Arya, emosinya mulai naik. "Aku juga pengin ngerasain gimana rasanya dilayani istri sendiri. Bahkan pasangan miskin aja bisa dirajakan sama istrinya! Kenapa aku nggak bisa, padahal hartaku segunung?!" Ia menghela napas keras, menahan rasa jengkel yang memuncak. "Dia cuma bisa main ponsel, ke salon, dandan... itu aja. Aku muak, Pa. Perempuan seperti itu terlalu sering aku temui. Cantik, iya tapi kosong." Surya dan Vita saling berpandangan. Dalam hati, mereka tak sepenuhnya menyalahkan Arya. Ada benarnya juga apa yang dikatakan putra mereka. Tapi... mau bagaimana lagi? Kenyataan yang mereka hadapi adalah: perempuan yang dinikahkan dengan Arya bukan gadis biasa, melainkan anak jenderal manja, penuh tuntuta
Setelah seminggu mencoba mengakrabkan diri dengan Tiara yang memang tak memiliki teman ataupun sahabat Nayla akhirnya diterima dengan senang hati oleh gadis itu sebagai sahabatnya. Kini mereka sedang berada di sebuah restoran bintang lima. Tiara memesan ruangan VIP hanya untuk bisa mengobrol berdua dengan Nayla. Nayla cukup terkejut dan takjub dengan perlakuan itu, namun ia berusaha tidak memperlihatkannya. “Kenapa kamu melakukan semua ini, Tiara? Kita kan cuma akan ngobrol biasa, bukan membahas rahasia dunia,” tanya Nayla sambil tertawa kecil, bernada bercanda. Mendengar itu, Tiara ikut tertawa kecil. “Kamu tahu sendiri, kan? Aku nggak punya teman, apalagi sahabat. Jadi, aku benar-benar senang waktu kamu membalas pesanku dan mau jadi sahabatku,” jawabnya dengan senyum tulus yang tergambar di wajahnya. “Masa sih, Tiara? Kamu cantik, baik, dan... kamu anak jenderal. Siapa sih yang nggak mau berteman sama kamu?” tanya Nayla, namun kali ini nada suaranya sedikit menelisik ia ingi
Riko menatap tajam ke arah dua pria yang masih berdiri kaku. Langkahnya mantap, penuh wibawa, tubuhnya tegap seperti seorang komandan yang siap menghukum pasukan pemberontak. Kedua pria bertato itu gemetar. Ternyata mereka benar-benar salah orang. Salah sasaran. "Maaf, Bos! Maaf banget!" ucap salah satu dari mereka tergesa-gesa, wajahnya pucat pasi. Yang sebelumnya tersungkur di lantai kini bangkit dengan panik, langsung membungkuk dalam-dalam sambil memohon ampun. "Kami nggak tahu, Bos... sumpah, kami nggak tahu itu orangmu!" tambah yang satu lagi, suaranya parau penuh ketakutan. Riko tak menjawab mereka. Ia hanya menghentikan langkahnya, berdiri diam di tengah-tengah ruangan—auranya cukup membuat semua orang menahan napas. Lalu, suara lembut memecah ketegangan. "Kak?" tanya Nayla, bingung. Matanya menatap Riko, mencoba membaca sesuatu dari sorot matanya. Riko menoleh perlahan. Wajah yang tadinya setegas batu kini berubah. Pandangannya hangat, teduh… seolah hanya untu
"Di balas!" serunya kegirangan saat melihat akun Instagram-nya mendapat balasan dari seseorang yang baru saja ia kenal.Arya, pria itu, menoleh dengan ekspresi datar, heran melihat istrinya."Ada apa?" tanyanya bingung."Ini loh, Mas... Aku tadi ke salon, terus ketemu sama model yang lagi populer banget itu. Dan tahu nggak? Aku beruntung banget, dia yang nyapa aku duluan!" katanya bersemangat. "Terus aku coba cari IG-nya, iseng-iseng aku chat... dan ternyata dibalas! Yeay!" Ia bersorak sambil terus mengetik balasan dengan penuh antusias, tak menoleh sedikit pun kearah suaminya."Siapa nama IG-nya emang? Modelnya terkenal?" tanya Arya, sedikit penasaran."Namanya Nayla Velinora, Mas!" jawab istrinya dengan antusias.Ia lalu mendekat ke arah suaminya, memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan sosok model terkenal itu.Begitu melihat wajah perempuan di layar, mata Arya mendadak menyempit. wajah nya terkejutan tak sempat ia sembunyikan."Namanya... Nayla?" lirih Arya pelan, hampir se
Pukul delapan malam, pemotretan akhirnya selesai. Nayla berjalan lelah menuju mobil, langkahnya terasa berat namun tetap anggun. Begitu duduk di kursi pengemudi, ia menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya dan langsung menekan nomor satu-satunya orang yang ia anggap keluarga Riko. "Kak Riko, sudah cari tahu soal istrinya Arya Mahendra?" tanyanya pelan. Nada suaranya terdengar letih, tapi ada bara tak padam dalam setiap katanya. Bagi Nayla, balas dendam ini bukan sekadar rencana. Ini adalah alasan ia dilahirkan. Membalaskan rasa sakit kedua orang tuanya adalah misi hidupnya. Ia tak peduli jika akhirnya harus kehilangan nyawa selama keadilan untuk keluarganya ditegakkan, semua akan setimpal. Ia tahu betul siapa yang ia hadapi. Surya Mahendra bukan orang sembarangan. Selain rentenir kelas kakap, pria itu memiliki banyak cabang bisnis gelap yang dilindungi oleh para aparat. Polisi pun sering kali memilih bungkam, bahkan menutup-nutupi semua bukti kejahatan yang seharusnya membuk